Mohon tunggu...
P.Aulia Rochman
P.Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penulis - Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menimbang Tanpa Ambang: Potensi dan Risiko Penghapusan Presidential Threshold di Pilpres 2029

11 Januari 2025   06:18 Diperbarui: 11 Januari 2025   14:39 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Thor Deichmann from Pixabay 

 

Pendahuluan

Bayangkan sebuah kompetisi olahraga tanpa klasifikasi berat badan. Semua peserta, dari yang ringan hingga yang berbobot besar, bertarung di lapangan yang sama. Begitu pula gambaran demokrasi Indonesia jika presidential threshold dihapuskan. Tidak ada lagi ambang batas pencalonan, dan peluang untuk bertarung di Pilpres terbuka lebar bagi siapa saja. Apakah ini akan melahirkan persaingan yang lebih sehat, atau justru menciptakan kekacauan?

Keputusan untuk menghapus presidential threshold telah menjadi perdebatan sengit di dunia politik Indonesia. Bagi sebagian pihak, kebijakan ini adalah langkah maju yang memungkinkan munculnya calon-calon independen dan memperkuat demokrasi. Namun, di sisi lain, kekhawatiran tentang fragmentasi suara, kampanye negatif, dan polarisasi masyarakat terus menghantui.

Dengan Pemilihan Presiden 2029 yang semakin dekat, isu ini semakin relevan. Dalam konteks politik saat ini, di mana polarisasi dan kampanye berbasis SARA pernah menjadi catatan kelam Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres sebelumnya, kita perlu melihat bagaimana kebijakan ini memengaruhi stabilitas politik dan ketahanan nasional.

Tulisan ini akan mengulas penghapusan presidential threshold dari sudut pandang ketahanan nasional. Dengan memahami peluang dan tantangan yang ada, kita dapat melihat apakah langkah ini benar-benar membawa demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik atau justru menimbulkan kerawanan baru.

Latar Belakang dan Masalah

Presidential threshold mulai diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan ini menetapkan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh setidaknya 20% kursi di DPR atau 25% suara sah secara nasional yang berhak mencalonkan presiden. Tujuan awal dari kebijakan ini adalah untuk menyederhanakan kontestasi politik, mencegah terlalu banyak calon yang dapat memecah suara, dan memastikan stabilitas pemerintahan melalui dukungan legislatif yang kuat.

Namun, seiring waktu, presidential threshold mulai menuai kritik. Banyak pihak menilai kebijakan ini justru membatasi demokrasi dan memonopoli hak pencalonan oleh partai-partai besar. Kritik ini semakin menguat ketika partai-partai kecil dan calon independen sulit bersaing karena terbentur aturan ambang batas yang tinggi. Dalam beberapa kasus, presidential threshold bahkan dianggap sebagai penghalang munculnya pemimpin alternatif yang memiliki potensi besar tetapi kurang didukung oleh partai besar.

Konteks sosial-politik saat ini juga memunculkan dinamika baru. Polarisasi masyarakat yang tajam, seperti yang terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, telah mengungkapkan risiko dari sistem politik yang terlalu terpusat pada kekuatan partai besar. Di tengah maraknya diskusi mengenai inklusivitas demokrasi, beberapa pihak mulai mendorong penghapusan presidential threshold sebagai langkah untuk membuka ruang lebih luas bagi calon independen dan partai kecil.

Dalam konteks ketahanan nasional, Hanita (2021) menjelaskan bahwa stabilitas politik adalah salah satu pilar utama yang harus dijaga dalam menghadapi perubahan kebijakan. Penghapusan presidential threshold membawa dinamika baru yang tidak hanya berpotensi memperkuat demokrasi, tetapi juga meningkatkan risiko instabilitas jika tidak dikelola dengan baik. Ini selaras dengan kebutuhan akan strategi mitigasi untuk mengantisipasi dampak negatif dari fragmentasi suara dan polarisasi politik.

Namun, pertanyaan kunci tetap muncul: apakah penghapusan presidential threshold benar-benar akan memperkuat demokrasi, atau justru membawa risiko baru bagi stabilitas politik dan ketahanan nasional? Artikel ini akan mengupas peluang dan tantangan dari kebijakan ini, serta implikasinya bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Analisis Dampak

Penghapusan presidential threshold membawa peluang besar sekaligus risiko yang signifikan terhadap demokrasi dan stabilitas politik Indonesia. Berikut adalah analisis dampaknya:

Potensi Positif

  1. Demokrasi yang Lebih Inklusif
    Dengan dihapusnya presidential threshold, lebih banyak calon presiden dari berbagai latar belakang, baik independen maupun dari partai kecil, dapat maju dalam kontestasi. Hal ini membuka ruang bagi keberagaman ide dan visi, yang dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik.

  2. Kesempatan Munculnya Pemimpin Baru
    Penghapusan batas ini memungkinkan munculnya figur-figur potensial yang inovatif, yang sebelumnya terhalang oleh dominasi partai besar. Kandidat dengan rekam jejak luar biasa di bidang tertentu, seperti teknologi, pendidikan, atau sosial, bisa memiliki peluang lebih besar untuk memimpin tanpa harus tergantung pada koalisi besar.

Risiko yang Mengintai

  1. Fragmentasi Suara dan Polarisasi Masyarakat
    Dengan banyaknya calon, suara pemilih bisa terpecah-pecah, yang berisiko meningkatkan polarisasi di masyarakat. Pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017 menunjukkan bahwa polarisasi politik dapat memicu konflik horizontal yang mengancam persatuan nasional.

  2. Kampanye Negatif dan Ancaman SARA
    Dalam kontestasi yang lebih terbuka, risiko kampanye negatif berbasis isu SARA meningkat. Ini terbukti dari dinamika Pilpres 2019, di mana isu agama dan rasial sering kali digunakan untuk menyerang lawan politik.

  3. Potensi Deadlock Antara Eksekutif dan Legislatif
    Tanpa presidential threshold, calon presiden yang menang tidak dijamin memiliki dukungan kuat di legislatif. Ini meningkatkan risiko kebuntuan politik yang dapat menghambat jalannya pemerintahan. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa fragmentasi parlemen sering kali menjadi sumber ketidakstabilan politik.

Penulis saat tugas presentasi di Kampus Salemba, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia. Dokpri
Penulis saat tugas presentasi di Kampus Salemba, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia. Dokpri

Fakta Pendukung

  • Pilkada DKI Jakarta 2017: Polarisasi masyarakat yang tajam akibat isu SARA menjadi pelajaran penting tentang risiko kampanye negatif.
  • Pilpres 2019: Dominasi narasi berbasis identitas menunjukkan bagaimana politik dapat memecah masyarakat.
  • Studi Kasus Internasional: Beberapa negara yang mengadopsi sistem tanpa ambang batas menunjukkan peningkatan jumlah calon presiden, tetapi juga mengalami fragmentasi politik yang memperburuk stabilitas pemerintahan.

Dengan mempertimbangkan peluang dan tantangan tersebut, penghapusan presidential threshold harus diiringi dengan langkah mitigasi yang kuat untuk memastikan transisi demokrasi tetap terkendali dan mendukung ketahanan nasional.

Strategi Mitigasi

Agar penghapusan presidential threshold tidak membawa risiko besar bagi stabilitas politik dan ketahanan nasional, diperlukan strategi mitigasi yang terencana dan menyeluruh. Berikut adalah langkah-langkah strategis yang dapat diambil:

1. Penguatan Lembaga Pengawasan

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki peran sentral dalam memastikan proses pemilu berjalan dengan adil dan bebas dari pelanggaran. Dengan meningkatnya potensi kampanye negatif dan penyebaran hoaks akibat banyaknya calon presiden, Bawaslu perlu meningkatkan pengawasan, terutama terhadap konten di media sosial.

  • Penegakan Hukum yang Tegas: Sanksi hukum bagi pelaku kampanye hitam dan penyebar berita bohong harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
  • Peningkatan Kapasitas Teknologi: Penggunaan teknologi untuk memantau konten daring dapat membantu mendeteksi pelanggaran lebih dini.

2. Edukasi Politik Masyarakat

Masyarakat yang memiliki literasi politik tinggi cenderung lebih bijak dalam menghadapi berbagai narasi politik, termasuk yang bersifat provokatif. Upaya edukasi politik harus menjadi prioritas untuk mencegah politisasi SARA.

  • Kampanye Literasi Politik: Pemerintah, NGO, dan institusi pendidikan perlu bekerja sama untuk menyelenggarakan program literasi politik melalui seminar, media sosial, dan materi edukatif.
  • Penguatan Pendidikan Pemilih: Masyarakat harus diberi pemahaman tentang pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan kapabilitas calon, bukan berdasarkan sentimen primordial.

3. Kolaborasi Tokoh Masyarakat

Tokoh agama, adat, dan masyarakat memiliki pengaruh besar dalam menjaga harmoni sosial. Dalam menghadapi potensi kerawanan akibat polarisasi politik, peran mereka harus diberdayakan.

  • Edukasi Melalui Forum Lokal: Diskusi dan ceramah yang mengedepankan pentingnya persatuan dapat menjadi media yang efektif.
  • Kolaborasi dengan Pemerintah: Pemerintah perlu melibatkan tokoh masyarakat dalam kampanye harmoni sosial untuk mencegah konflik horizontal.

Dengan menguatkan pengawasan, meningkatkan literasi politik, dan memberdayakan tokoh masyarakat, risiko yang muncul akibat penghapusan presidential threshold dapat diminimalkan. Strategi ini tidak hanya memastikan pemilu yang demokratis tetapi juga memperkuat stabilitas nasional sebagai fondasi demokrasi yang sehat.

Hanita (2021) menekankan pentingnya kolaborasi antara institusi negara dan masyarakat sipil dalam menjaga harmoni sosial. Dalam hal ini, Bawaslu sebagai pengawas pemilu harus mengedepankan langkah strategis yang tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga pendidikan masyarakat tentang pentingnya stabilitas politik bagi ketahanan nasional. Selain itu, optimalisasi peran aparat keamanan, sebagaimana dibahas oleh Sianturi & Hanita (2020), dapat mendukung proses pemilu yang damai dan bebas dari ancaman yang berpotensi memecah belah masyarakat.

Keterkaitan Emosional

Bayu, seorang mahasiswa tingkat akhir, akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali di Pilpres 2029. Awalnya, ia merasa bersemangat menyambut momen tersebut, tetapi antusiasmenya berubah menjadi kebingungan saat daftar calon presiden diumumkan. Ada lebih dari sepuluh kandidat dengan berbagai latar belakang, mulai dari politisi senior hingga aktivis muda. Bayu bingung harus memilih siapa. Semua kandidat tampak berjanji membawa perubahan, tetapi dia sulit membedakan mana yang benar-benar kompeten dan mana yang sekadar menjual janji.

Di tengah kebingungannya, Bayu mengikuti sebuah seminar literasi politik di kampusnya. Dari seminar itu, ia belajar bagaimana membaca rekam jejak kandidat, memahami program kerja yang realistis, dan mengabaikan kampanye negatif berbasis isu SARA. Ia juga diajarkan untuk lebih kritis terhadap informasi di media sosial dan hanya mengandalkan sumber terpercaya.

Dengan pengetahuan yang didapat, Bayu mulai menganalisis kandidat secara objektif. Ia tidak lagi terpengaruh oleh narasi emosional, tetapi berfokus pada kapasitas dan visi masing-masing kandidat. Pada hari pemilihan, Bayu merasa yakin dengan pilihannya, percaya bahwa suaranya adalah bagian dari upaya membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.

Kisah Bayu adalah gambaran pentingnya literasi politik, terutama bagi generasi muda. Di tengah persaingan yang lebih terbuka akibat penghapusan presidential threshold, literasi politik menjadi tameng yang melindungi masyarakat dari manipulasi informasi dan keputusan yang keliru.

Kesimpulan

Penghapusan presidential threshold menawarkan peluang besar untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Dengan membuka ruang bagi lebih banyak calon, langkah ini dapat meningkatkan inklusivitas politik dan memungkinkan munculnya pemimpin-pemimpin baru yang inovatif. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga membawa risiko signifikan, seperti fragmentasi suara, polarisasi masyarakat, serta meningkatnya kampanye negatif berbasis isu SARA. Potensi deadlock antara eksekutif dan legislatif juga menjadi ancaman yang perlu diwaspadai.

Melalui strategi mitigasi seperti penguatan lembaga pengawasan, edukasi politik masyarakat, dan kolaborasi dengan tokoh masyarakat, risiko-risiko tersebut dapat diminimalkan. Dengan demikian, transisi menuju demokrasi yang lebih terbuka tetap terkendali dan mendukung ketahanan nasional.

Sebagai warga negara, kita semua memiliki peran penting dalam menjaga demokrasi yang sehat. Mari berpartisipasi aktif dengan menjadi pemilih yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab. Pahami visi, misi, dan rekam jejak setiap calon sebelum menentukan pilihan. Suara kita adalah bagian dari perjuangan membangun Indonesia yang lebih inklusif, stabil, dan berdaya saing di masa depan.

Saatnya kita bersama-sama menciptakan demokrasi yang tidak hanya kuat dalam teori, tetapi juga kokoh dalam praktik. Pilihan ada di tangan kita.

Penulis saat mengiktui FGD. Dokpri
Penulis saat mengiktui FGD. Dokpri

"Penghapusan presidential threshold bukan hanya tentang membuka ruang demokrasi, tetapi juga tentang keberanian menghadapi risiko yang menyertainya. Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga demokrasi tetap sehat, stabil, dan inklusif. Sebab, masa depan bangsa ada di tangan pilihan yang bijak dan suara yang cerdas." 

Daftar Pustaka

  1. Badan Pengawas Pemilu. (2019). Laporan pengawasan Pemilu 2019. Jakarta: Badan Pengawas Pemilu.
  2. Budiardjo, M. (2018). Dasar-dasar ilmu politik (Edisi ke-5). Jakarta: Gramedia.
  3. Hanita, M. (2021). Ketahanan Nasional: Teori, Adaptasi, dan Strategi. UI Publishing.
  4. Kompas. (2017). Polarisasi masyarakat pada Pilkada DKI 2017: Tinjauan sosiologis. Harian Kompas.
  5. Liddle, R. W. (2021). Leadership and culture in Indonesian politics. Indonesia Quarterly, 49(3), 22-36.
  6. LIPI. (2020). Fragmentasi politik di Indonesia pasca-reformasi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
  7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
  8. Sianturi, B. H., & Hanita, M. (2020). Optimalisasi Peran Polri dalam Penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua. Jurnal Keamanan Nasional, 6(1), 73-94.
  9. Supriyanto, W. (2020). Media sosial dan kampanye politik berbasis SARA di Indonesia. Jurnal Komunikasi Politik Indonesia, 7(2), 45-58.
  10. UGM. (2021). Dinamika politik Indonesia dalam Pilpres: Kajian akademis. Jurnal Ketahanan Nasional, 27(1), 56-78.
  11. Wahid, A. (2020). Demokrasi dan stabilitas politik: Sebuah refleksi. Jurnal Sosial dan Politik Indonesia, 13(4), 121-135.
  12. Wicaksono, T. (2019). Mengelola konflik dalam kontestasi politik lokal. Jurnal Ketahanan Sosial, 15(3), 89-103.
  13. Zainuddin, A. (2021). Strategi mitigasi polarisasi politik dalam Pilkada: Studi kasus DKI Jakarta. Jurnal Studi Politik Lokal, 10(2), 23-47.
  14. Zubair, M. (2021). Potensi independen dalam Pilpres tanpa ambang batas. Jurnal Demokrasi Indonesia, 9(3), 44-59.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun