1. Penguatan Lembaga Pengawasan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki peran sentral dalam memastikan proses pemilu berjalan dengan adil dan bebas dari pelanggaran. Dengan meningkatnya potensi kampanye negatif dan penyebaran hoaks akibat banyaknya calon presiden, Bawaslu perlu meningkatkan pengawasan, terutama terhadap konten di media sosial.
- Penegakan Hukum yang Tegas:Â Sanksi hukum bagi pelaku kampanye hitam dan penyebar berita bohong harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
- Peningkatan Kapasitas Teknologi: Penggunaan teknologi untuk memantau konten daring dapat membantu mendeteksi pelanggaran lebih dini.
2. Edukasi Politik Masyarakat
Masyarakat yang memiliki literasi politik tinggi cenderung lebih bijak dalam menghadapi berbagai narasi politik, termasuk yang bersifat provokatif. Upaya edukasi politik harus menjadi prioritas untuk mencegah politisasi SARA.
- Kampanye Literasi Politik:Â Pemerintah, NGO, dan institusi pendidikan perlu bekerja sama untuk menyelenggarakan program literasi politik melalui seminar, media sosial, dan materi edukatif.
- Penguatan Pendidikan Pemilih:Â Masyarakat harus diberi pemahaman tentang pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan kapabilitas calon, bukan berdasarkan sentimen primordial.
3. Kolaborasi Tokoh Masyarakat
Tokoh agama, adat, dan masyarakat memiliki pengaruh besar dalam menjaga harmoni sosial. Dalam menghadapi potensi kerawanan akibat polarisasi politik, peran mereka harus diberdayakan.
- Edukasi Melalui Forum Lokal: Diskusi dan ceramah yang mengedepankan pentingnya persatuan dapat menjadi media yang efektif.
- Kolaborasi dengan Pemerintah: Pemerintah perlu melibatkan tokoh masyarakat dalam kampanye harmoni sosial untuk mencegah konflik horizontal.
Dengan menguatkan pengawasan, meningkatkan literasi politik, dan memberdayakan tokoh masyarakat, risiko yang muncul akibat penghapusan presidential threshold dapat diminimalkan. Strategi ini tidak hanya memastikan pemilu yang demokratis tetapi juga memperkuat stabilitas nasional sebagai fondasi demokrasi yang sehat.
Hanita (2021) menekankan pentingnya kolaborasi antara institusi negara dan masyarakat sipil dalam menjaga harmoni sosial. Dalam hal ini, Bawaslu sebagai pengawas pemilu harus mengedepankan langkah strategis yang tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga pendidikan masyarakat tentang pentingnya stabilitas politik bagi ketahanan nasional. Selain itu, optimalisasi peran aparat keamanan, sebagaimana dibahas oleh Sianturi & Hanita (2020), dapat mendukung proses pemilu yang damai dan bebas dari ancaman yang berpotensi memecah belah masyarakat.
Keterkaitan Emosional
Bayu, seorang mahasiswa tingkat akhir, akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali di Pilpres 2029. Awalnya, ia merasa bersemangat menyambut momen tersebut, tetapi antusiasmenya berubah menjadi kebingungan saat daftar calon presiden diumumkan. Ada lebih dari sepuluh kandidat dengan berbagai latar belakang, mulai dari politisi senior hingga aktivis muda. Bayu bingung harus memilih siapa. Semua kandidat tampak berjanji membawa perubahan, tetapi dia sulit membedakan mana yang benar-benar kompeten dan mana yang sekadar menjual janji.
Di tengah kebingungannya, Bayu mengikuti sebuah seminar literasi politik di kampusnya. Dari seminar itu, ia belajar bagaimana membaca rekam jejak kandidat, memahami program kerja yang realistis, dan mengabaikan kampanye negatif berbasis isu SARA. Ia juga diajarkan untuk lebih kritis terhadap informasi di media sosial dan hanya mengandalkan sumber terpercaya.
Dengan pengetahuan yang didapat, Bayu mulai menganalisis kandidat secara objektif. Ia tidak lagi terpengaruh oleh narasi emosional, tetapi berfokus pada kapasitas dan visi masing-masing kandidat. Pada hari pemilihan, Bayu merasa yakin dengan pilihannya, percaya bahwa suaranya adalah bagian dari upaya membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.