Mohon tunggu...
P.Aulia Rochman
P.Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penulis - Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"Brain Rot" di Era Digital: Bagaimana Kita Kehilangan Fokus dan Kritis?

1 Januari 2025   18:30 Diperbarui: 1 Januari 2025   18:35 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar orang dengan otak berbentuk awan digital penuh notifikasi. Sumber: buatan chatgpt

Membuka Tabir "Brain Rot"

Bayangkan ini: Anda duduk di sofa, membuka ponsel, dan mulai menggulir. Satu video lucu lewat, diikuti dengan berita selebriti, lalu sebuah tantangan viral yang tidak masuk akal. Sebelum sadar, dua jam telah berlalu. Apakah ini hanya kebiasaan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam terjadi pada otak Anda?

Fenomena ini sering disebut "brain rot," istilah populer yang menggambarkan degradasi kognitif akibat paparan konten digital berkualitas rendah. Dalam dunia yang serba digital, smartphone di tangan membuat kita rentan terhadap pengaruh ini. Dampaknya jauh lebih serius daripada sekadar buang-buang waktu; ini adalah ancaman nyata bagi kesehatan mental dan daya pikir kita.

Menurut laporan We Are Social 2024, rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam sehari untuk online, dengan media sosial mengambil porsi lebih dari 3 jam. Angka ini menunjukkan tingginya tingkat keterpaparan masyarakat terhadap informasi instan yang sering kali kurang bermutu. Lantas, bagaimana hal ini memengaruhi otak kita?

Mengapa "Brain Rot" Terjadi?

Istilah "brain rot" tidak hanya metaforis tetapi juga mencerminkan perubahan nyata pada otak. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi informasi yang tidak bermutu dapat menghambat kemampuan berpikir kritis dan merusak fokus. Berikut beberapa penyebab utamanya:

1. Overload Informasi

Terlalu banyak informasi membuat otak kesulitan memproses, sehingga fokus dan retensi menurun. Menurut sebuah penelitian oleh MIT, "otak manusia hanya mampu memproses sejumlah informasi secara efektif sebelum mengalami kejenuhan kognitif."

2. Konten Instan

Video pendek, meme, dan artikel cepat menciptakan kebiasaan berpikir dangkal, yang pada akhirnya mengurangi kemampuan untuk memahami informasi kompleks. Generasi muda, khususnya Gen Z, menjadi kelompok yang paling terpengaruh karena pola konsumsi digital mereka didominasi oleh konten instan.

3. Kecanduan Dopamin

Interaksi media sosial melepaskan dopamin, neurotransmitter yang membuat kita merasa senang. Namun, pencarian stimulasi instan ini tidak memberikan manfaat jangka panjang, melainkan menciptakan lingkaran kecanduan. Sebuah studi di Journal of Behavioral Addictions menemukan bahwa "penggunaan media sosial yang berlebihan dapat mengganggu fungsi otak di area prefrontal cortex, yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan kontrol diri."

Sebuah artikel di Kompas.com menyebutkan bahwa "brain rot atau kemerosotan kemampuan otak menjadi kekhawatiran baru akibat konsumsi berlebihan konten online yang tidak berbobot." Hal ini semakin menegaskan bahwa pola konsumsi digital yang tidak terkontrol dapat memiliki dampak jangka panjang terhadap daya pikir.

Dampak pada Kehidupan Sehari-hari

"Brain rot" memengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari produktivitas hingga kesehatan mental. Berikut adalah beberapa dampak nyata yang dapat dirasakan:

1. Penurunan Kualitas Kerja

Konsumsi informasi dangkal mengurangi kemampuan memecahkan masalah. Seorang pekerja yang terus-menerus terganggu oleh notifikasi cenderung kehilangan fokus lebih cepat. Penelitian oleh American Psychological Association menunjukkan bahwa "multitasking digital dapat menurunkan produktivitas hingga 40%."

2. Kesehatan Mental Terganggu

Paparan konten negatif atau tidak bermutu meningkatkan stres dan kecemasan. Menurut jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, "waktu layar yang berlebihan berhubungan dengan tingkat depresi yang lebih tinggi." Efek ini diperburuk oleh kebiasaan membandingkan diri dengan kehidupan "sempurna" yang dipamerkan di media sosial.

3. Isolasi Sosial

Waktu yang dihabiskan di dunia maya sering kali mengurangi interaksi tatap muka yang bermakna. Hal ini dapat memperburuk rasa kesepian. Sebuah survei oleh Pew Research Center menemukan bahwa "generasi muda merasa lebih kesepian dibandingkan generasi sebelumnya, meskipun lebih terkoneksi secara digital."

4. Degradasi Kemampuan Berpikir Kritis

Ketergantungan pada konten instan membuat kemampuan berpikir kritis dan analitis menurun. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Stanford University, lebih dari 80% mahasiswa "gagal membedakan berita yang kredibel dari hoaks ketika dihadapkan pada informasi dari media sosial."

Strategi untuk Mengatasi "Brain Rot"

Untungnya, kita bisa mengambil langkah-langkah untuk melindungi otak dari "brain rot" di era digital. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat Anda coba:

1. Kurasi Konten dengan Bijak

Hanya konsumsi konten dari sumber yang kredibel dan relevan. Unfollow akun yang tidak memberikan manfaat. Sebagai contoh, prioritaskan membaca artikel panjang atau buku dibandingkan konten viral yang dangkal.

2. Latih Fokus

Cobalah teknik seperti Pomodoro untuk membangun kebiasaan fokus yang lebih baik. Latihan ini membantu otak melatih kemampuan memproses informasi mendalam. Meditasi juga dapat menjadi cara efektif untuk meningkatkan konsentrasi.

3. Jadwalkan Istirahat Digital

Lakukan detoks digital dengan mengurangi penggunaan perangkat beberapa jam setiap hari. Tetapkan zona bebas teknologi di rumah, seperti ruang makan atau kamar tidur, untuk mengurangi distraksi.

4. Aktivitas Offline

Habiskan waktu untuk membaca buku, menulis, atau aktivitas kreatif lainnya untuk menstimulasi otak secara positif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa membaca buku fisik dapat meningkatkan empati dan kemampuan berpikir kritis.

5. Tingkatkan Literasi Digital

Pelajari cara mengevaluasi kredibilitas informasi dan bias media. Hal ini penting untuk melindungi diri dari penyebaran hoaks dan informasi yang menyesatkan.

Mengapa Ini Penting?

"Brain rot" bukan sekadar fenomena remaja. Ini adalah isu yang merasuk ke dalam masyarakat modern, menciptakan generasi dengan pola pikir instan dan dangkal. Sebuah studi di Indonesia mengungkapkan bahwa pengguna media sosial rata-rata menghabiskan lebih dari 3 jam sehari untuk scrolling tanpa arah, yang berkontribusi pada penurunan produktivitas nasional.

Jika dibiarkan, degradasi ini dapat memperburuk kemampuan berpikir kritis generasi mendatang. Dengan menyadari dan mengatasi masalah ini, kita dapat melindungi kesehatan mental dan daya pikir kita, serta menciptakan budaya digital yang lebih sehat.

Penutup

Era digital memberikan kita akses tanpa batas ke informasi, tetapi dengan kebebasan itu datang tanggung jawab. Jika kita tidak bijak dalam menggunakan teknologi, "brain rot" bisa menjadi bagian dari hidup kita. Mari kurangi scrolling tanpa arah dan mulai prioritaskan konten yang benar-benar membangun.

Dengan membangun kebiasaan konsumsi digital yang lebih sehat, kita tidak hanya melindungi otak kita tetapi juga memastikan masa depan generasi mendatang lebih cerah. Mari kita mulai perubahan ini hari ini, dengan langkah kecil tetapi berdampak besar.

Referensi

Carr, N. (2011). The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. W. W. Norton & Company.

Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy---and Completely Unprepared for Adulthood. Atria Books.

Small, G., & Vorgan, G. (2008). iBrain: Surviving the Technological Alteration of the Modern Mind. HarperCollins.

Kompas.com. (2024). Mengenal "brain rot": Dampak kecanduan konten receh di medsos. Diakses dari https://www.kompas.com/edu/read/2024/12/29/150000571/mengenal-brain-rot-dampak-kecanduan-konten-receh-di-medsos.

American Psychological Association. (2020). Multitasking and Productivity: Understanding the Cognitive Costs.

Pew Research Center. (2021). The Impact of Digital Media on Social Interaction Among Young Adults.

Stanford University. (2019). Evaluating Credibility in the Age of Misinformation.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun