Mohon tunggu...
Fatya Maulani Firmansyah
Fatya Maulani Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

Merupakan seorang mahasiswi yang tengah menyelesaikan studi Strata-1 pada Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antinomi Hukum dalam Konteks Filsafat Hukum: Antara Nilai Kepastian dan Nilai Keadilan Berdasarkan Aliran Positivisme

26 November 2024   21:22 Diperbarui: 26 November 2024   21:24 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Kontradiksi Nilai Kepastian Hukum dan Nilai Keadilan

Hukum merupakan manifestasi eksternal dari keadilan, sementara keadilan adalah inti autentik dan esensi dari hukum itu sendiri. Tujuan tertinggi dari hukum adalah mencapai keadilan, yang berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsinya, yang pada gilirannya menciptakan ketertiban dan kedisiplinan. Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang sangat erat. Sebenarnya, hukum tanpa keadilan hanya akan menjadi kosong atau tidak bermakna. Menggabungkan hukum dengan keadilan adalah suatu keharusan yang tidak bisa dipisahkan.

Keadilan hukum dalam kehidupan manusia dapat dirasakan secara langsung, sehingga keadilan tersebut memiliki proses dalam sistem hukum yang menghasilkan kebahagiaan hidup sebagai hasil dari penerapan keadilan hukum. Hal ini karena untuk mencapai kepastian hukum, keadilan harus ditegakkan terlebih dahulu dalam hukum itu sendiri, yang pada akhirnya membuatnya menjadi sesuatu yang sangat subjektif dan bersifat individual.[9] 

Kontradiksi antara nilai kepastian dan nilai keadilan mengacu pada situasi di mana kedua prinsip dasar dalam sistem hukum ini saling bertentangan dan sulit dipadukan dengan sempurna. Keduanya memainkan peran yang sangat penting dalam tatanan hukum, namun dalam penerapannya sering kali muncul dilema. Keadilan menekankan perlakuan yang adil, sementara kepastian hukum mengacu pada penerapan aturan yang konsisten dan tidak berubah.

Kepastian hukum dan keadilan dapat dipandang seperti dua sisi mata uang, karena keduanya harus ada untuk mencapai keadaan yang damai. Keadilan tidak dapat tercapai jika kepastian tidak dipenuhi, karena subjek hukum tertentu dapat dihukum tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu apakah tindakan yang dianggap pelanggaran atau kejahatan benar-benar merupakan suatu delik. Dengan kata lain, apa yang pasti dalam hukum belum tentu memberikan keadilan. Begitu pula, jika hanya keadilan yang ditegakkan tanpa memperhatikan apakah itu memberikan kepastian hukum, hal tersebut dapat merusak nilai keadilan itu sendiri. Menekankan nilai keadilan saja tidak otomatis menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu, hukum yang pasti harus pula adil, dan hukum yang adil harus memberikan kepastian. Inilah situasi antinomi antara kedua nilai tersebut, karena pada tingkat tertentu, nilai kepastian dan keadilan harus mampu memberikan kepastian hak setiap orang secara adil, sekaligus memberikan manfaat darinya.[10]

Misalnya, dalam sebuah kasus di mana seseorang mencuri karena sangat terdesak oleh kebutuhan hidup, sebuah keputusan yang didasarkan semata-mata pada aturan hukum yang kaku bisa memberikan hukuman yang berat. Namun, jika keadilan lebih diutamakan dengan mempertimbangkan alasan di balik tindakannya, maka hukuman tersebut bisa lebih ringan atau ada pendekatan rehabilitatif. Namun, jika setiap kasus seperti ini diperiksa dengan cara yang berbeda-beda, maka akan muncul ketidakpastian hukum di masyarakat, karena hukum tidak diterapkan dengan cara yang konsisten.

2. Perspektif aliran positivisme hukum dalam menyikapi ketegangan antara kepastian dan keadilan dalam penegakan hukum.

  • Perspektif Positivisme Hukum

Seiring dengan penyebaran pengaruh positivisme di dunia sains secara umum, disiplin hukum pun turut menghadapi hal yang serupa. Para penganut positivisme, ketika mempelajari hukum, memandang hukum hanya sebagai fenomena sosial.[11] Kaum positivisme pada umumnya hanya mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula positivisme hanya mengenal satu jenis hukum, yakninya positivisme hukum. 

Secara sederhana, aliran positivisme ini memberikan penjabaran mengenai kaidah-kaidah positif yang berlaku umum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia itu sendiri dianut sebuah istilah yakninya ius consitutum, yakninya hukum yang ada dan berlaku. Disinilah paham positivisme menempatkan posisinya sebagai bagian dari kaidah hukum yang ada dan sedang berlaku tersebut. 

Theo Hujibers memberikan 3 prinsip dasar terhadap positivisme hukum diantaranya:[12]

  • Hanya yang tampil dalam pengalaman dapat disebut benar;
  • Hanya apa yang sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan dapat disebut benar. Itu berarti bahwa tidak semua pengalaman data disebut benar, tetapi hanya pengalaman yang mendapati kenyataan.
  • Hanya melalui ilmu-ilmu pengetahuan dapat ditentukan apakah sesuatu yang dialam merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.

Dalam aliran positivisme, hukum muncul sebagai produk yang jelas dari suatu sumber kekuasaan politik yang sah. Dalam hal ini, hukum terutama diwujudkan sebagai perintah-perintah eksplisit yang telah dirumuskan dengan jelas untuk menjamin kepastian, seperti peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional di suatu negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan aliran ini berfokus pada norma-norma positif yang berasal dari legislatif dalam ranah normatif positif.[13]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun