Dalam penelitian ini, penulis menerapkan pendekatan konseptual (conceptual approach), yang bertujuan untuk menganalisis materi hukum dengan tujuan mengungkap makna yang tersirat dalam terminologi hukum. Pendekatan ini dirancang untuk mendapatkan pemahaman mendalam terhadap istilah-istilah yang sedang diteliti, serta untuk menguji relevansinya dalam teori dan praktek hukum. Oleh karena itu, penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu suatu pendekatan penelitian hukum yang berkutat pada analisis bahan pustaka serta data primer dan sekunder.
- Sumber data
Sebagai penelitian hukum normatif, sumber datanya adalah berasal dari data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran sumber-sumber hukum, baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer adalah semua bahan atau materi hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder berupa bahan atau materi yang berkaitan dan menjelaskan mengenai permasalahan dari bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan literatur terkait penelitian.
- Teknik pengumpulan data
Metode akuisisi data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah melalui pemanfaatan data sekunder atau penelitian kepustakaan, yang mengindikasikan bahwa pendekatan yang diadopsi adalah dengan menghimpun informasi yang terdokumentasi dalam literatur, dokumen, arsip, laporan, dan peraturan hukum yang relevan dengan fokus penelitian.
- Metode analisis data
Analisis data merupakan suatu usaha atau teknik yang digunakan untuk memproses data guna menghasilkan informasi yang memungkinkan pemahaman terhadap karakteristik data tersebut serta dapat memberikan manfaat dalam mencari solusi terhadap berbagai permasalahan, terutama yang terkait dengan bidang penelitian. Metode analisis yang diterapkan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yang melibatkan eksplorasi terhadap peraturan perundang-undangan dan literatur yang kemudian dijabarkan secara deskriptif.
Bab II
Pembahasan
1. Antinomi Hukum dalam Konteks Keadilan dan Kepastian
Antinomi adalah kondisi di mana dua hal yang saling bertentangan namun tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling membutuhkan. Dengan kata lain, antinomi menggambarkan pertentangan antara dua elemen yang pada dasarnya saling bergantung. Istilah antinomi sudah dikenal sejak tradisi hukum Yunani Kuno dengan sebutan "antinomia" untuk menggambarkan adanya konflik dalam hukum. Konsep antinomi dipandang sebagai tema dalam pemikiran filsafat, terutama filsafat hukum, yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Sebelum Kant, David Hume telah memperkenalkan konsep antinomi sebagai pertentangan yang selalu ada dalam setiap prinsip.[1] Menurut Fockema, antinomi dipahami sebagai dua atau lebih aturan yang saling bertentangan, sehingga solusinya harus dicari melalui interpretasi. Antinomi adalah dua hal yang berbeda, namun saling melengkapi. Dalam menghadapi antinomi, aparat penegak hukum harus dapat menciptakan keseimbangan atau keselarasan antara keduanya.[2]
Gagasan mengenai antinomi yang diajukan oleh Hume dan Kant kemudian berkembang dalam teori hukum. Dalam konteks ini, antinomi dipahami sebagai konflik norma dalam suatu peraturan perundang-undangan. Friedmann berpendapat bahwa pertentangan tersebut muncul karena posisi alami hukum yang terletak di antara rasionalitas filsafat dan kebutuhan politik praktis. Kategori-kategori intelektual dalam hukum dibentuk melalui penalaran filsafat yang mendalam dan komprehensif, sementara tujuan keadilan dalam hukum dibangun melalui mekanisme politik yang cenderung bersifat transaksional. Oleh karena itu, hukum tidak berkembang secara alamiah, melainkan merupakan hasil dari berbagai proses internalisasi, intrusi, dan negosiasi kepentingan di antara berbagai faksi dan aktor dalam masyarakat.[3]