Hening, aku menggigit bibir. Tepuk tangan tunggal terdengar darinya, yang perlahan menjadi riuh. Aku mendongak, mereka semua tersenyum padaku. Hal itu segera disusul teriakan, "Hidup, Aikon!"
Air mataku luruh, tapi aku tertawa. Berterima kasih juga pada mereka yang tetap menerima peri cacat sepertiku.
Sang raja datang mendekat, pertama-tama menepuk bahu Azzon.
"Kau juga hebat, putraku," seru raja. Aku kaget. Jadi Azzon pangeran muda? Astaga, selama ini aku terlalu apatis dan baru ingat bahwa raja memiliki anak lelaki yang sejak kecil dilatih di luar kerajaan. Pantas saja di beberapa ceritanya dia seperti kenal dekat dengan Ayahku.
Mengabaikan keterkejutanku, raja mendekat. Seperti yang dilakukannya pada putranya, raja menepuk bahuku. "Terima kasih, Aikon. Perjuanganmu akan abadi. Kamu adalah pahlawan peri dan dunia ini."
Aku menunduk haru. Tak lama raja berseru pada kaum peri. "Mulai hari ini Aikon digelari Putri Kerajaan Vakon sebagai ucapan terima kasih atas sikap patriotismenya!"
Semua peri bertepuk tangan. Air mataku banjir. Menangis haru. Meski sayapku tak lagi mengepak, tapi ini setara dengan membayar lunas penjajahan seabad lebih. Senyum para peri telah kembali. Merdeka!
Note: Sebuah cerpen random dari tahun 2021.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H