Kaum Mankon adalah pelakunya. Mereka mutasi dari manusia. Wajahnya mengerikan. Tubuhnya hanya sebesar remaja manusia, tapi bertenaga kuat. Mereka telah mencuri teknologi yang paling muktahir dan menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang siapapun. Mereka juga berhasil menciptakan alat-alat pembuat bom lantas melemparkannya pada kami.
Mereka kaum yang tak diinginkan di dunia. Itulah sebabnya mereka berulah, akan menghancurkan semua makhluk yang diawali dari bangsa kami. Bukan hanya Kerajaan Vakon yang dalam bahaya, tapi juga dunia. Aku mengetahuinya bukan hanya dari cerita mulut ke mulut, tapi sudah ada buku yang membahasnya.
Pasukan peri perang tinggal di wilayah Kerajaan Vakon, memperjuangkan tanah air dan bangsa. Sementara peri perempuan dan anak-anak tinggal di pengungsian yang tersembunyi, bangsa semut berbaik hati meminjamkan sarang daunnya.
Sesekali aku ikut perang. Menyamar agar Ayah tak tahu. Beliau melarang. Jujur aku lebih sering di laboratorium daripada perpustakaan. Mencoba menciptakan ramuan-ramuan. Hanya ikut perang ketika berhasil menciptakan racikan baru. Bahkan pernah menaburi ramuan lupa diri pada Mankon yang bekerja di balik mesin besar. Durasinya 300 sekon, tapi hasilnya ampuh, Mankon malah menyerang kaumnya sendiri. Para peri tak tahu apa penyebabnya. Aku diam-diam melakukan semua.
Sore ini seperti biasa aku menyusup di tengah perang. Seorang Mankon mencoba membabat pohon tempat bersarangnya peri perang yang mengawasi wilayah-wilayah kami dan pasukan peri perang berusaha mencegah. Terjadilah baku hantam yang tidak seimbang. Aku diam-diam akan menaburi ramuan mati sekaligus menjadikan Mankon sebagai kelinci percobaan. Dengan lihai sayapku mengepak. Berada di arena perang melatih kelincahan sayap.
Jujur ini aksi berbahaya, bermodal nekat dan strategi hingga akhirnya misi berhasil. Lima sekon pertama Mankon terdiam ketika ramuan mati menyentuh kulit berbintilnya. Pergerakan terjeda. Semua peri bingung. Tak lama tubuh Mankon itu menggelepar-gelepar, dia menjerit lantas terbanting di tanah. Hingga akhirnya mulutnya mengeluarkan busa. Meninggal seketika. Pasukan peri yang bersiaga dengan busur panah terdiam sejenak dan setelahnya bersorak senang.
Aku tersenyum, tapi memudar saat bersitatap dengan Ayah dari kejauhan. Beliau sepertinya tahu aksiku dilihat dari gesturnya yang menatapku tak percaya. Aku mati kutu.
Berujar maaf, tapi sia-sia karena satu sekon berikutnya sebuah bom datang di tengah girangnya pasukan peri. Tubuh Ayah dibanting angin ledakan bom. Bergegas kuhampiri dirinya yang terkulai di atas tanah berangin debu. Terbatuk-batuk. Matanya berair. Aku menggigit bibir memegangi tangannya.
"Larangan adalah perintah, mungkin pikirmu begitu. Namun, Ayah bangga padamu, Aikon. Bangga. Lanjutkan perjuanganmu," lirih Ayah terbata.
Aku menangis karena itu kalimat dukungan pertama yang sangat kutunggu dari Ayah. Hanya saja aku tak menyangka bahwa itu juga kalimat terakhirnya sebelum tiada.
***