Mohon tunggu...
Fatma Elly
Fatma Elly Mohon Tunggu... -

fatma elly, umur 63 th. 20-11-1947. ibu rumah tangga tapi senang juga menulis. pendidikan akademi hubungan internaional.untag. jakarta.islam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Khayal dan Realitas

11 Agustus 2010   10:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:07 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERILAKU itupun diawali di atas cinta. Penyelewengan terjadi. Kemurniannya diubah dalam selera khayal. Janji-janji mimpi yang dibuat sang durjana. Dan inilah gambarannya:

“Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain tipuan belaka.” (QS 4:120)

Begitulah. Mereka menyembah selain Allah. Dan dengan menyembah berhala itu, mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka.

“Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka, yang dilaknati Allah dan syaitan itu mengatakan: “Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya).” (QS 4:117-118)

Dan semakin angkara, jahat dan sombong-lah si syaitan itu, ketika ia menyatakan:

“……………………….., dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS 4:119)

LALU BERILUSILAH mereka di atas mimpi. Dan mimpi itu adalah mimpi syahwat. Desakan-desakan dan kesenangan hidup! Yang membawa dan menyuruh mereka pada kejahatan.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 12:53)

DINISBAHKANLAH semua itu di atas seksualitas! Bahkan, instink bayi yang baru dilahirkan, melekatkan bibirnya di puting susu ibunya, karena hidayah Allah kepadanya oleh Kebesaran Kasih Sayang-Nya dan keperkasaan kekuasaan-Nya, dianggapnya sebagai libido seksualis! Desakan kelamin! Desakan seks!

Dinyatakanlah; seksualitas tidak dimulai pada masa puber saja, tapi jauh di masa kanak-kanak. Di sekitar usia tiga tahunan! Malah pada saat bayi menyusu, menghisap jempol atau pada saat si anak merasa cemburu pada sang ayah oleh cintanya pada sang ibu. Sesuatu yang dikatakan sebagai Odiepus Complex!

Desakan itupun semakin melonjak-lonjak. Rasa cinta pada ibu dan kecemburuan pada sang ayah, membuat si anak semakin nekat. Semakin ingin membunuh sang ayah! Pesaing yang sangat tangguh dan tak dapat disainginya, karena kelemahan dan ketidakberdayaan di atas status lemah kanak-kanaknya.

Bergantung, memerlukan, membutuhkan, mendambakan perlindungan dan penjagaan sang ayah.

KEINGINAN DI ATAS CINTA, desakan-desakan, naluri hawa nafsu seksual, keinginan mendapatkan dan merealisir rasa cintanya pada sang ibu, yang tak tertahankan dan harus terpuaskan, membuatnya lalu membunuh sang ayah tersebut.

Baginya, sang ayah harus mati. Baru segala permasalahan keinginan nafsu, gejolak jiwa, cinta dan kesenangan, tidak akan mengalami rintangan lagi. Tidak akan terhalangi lagi. Karena sang penghalang..sudah mati! Dan harus mati! Seorang perkasa yang memberikan perlindungan dari segala macam mara bahaya yang menakutkan. Memberikan materi berupa rezki. Pemelihara dan penjaga di atas ketidakberdayaan seorang manusia yang lemah, di atas kekuatannya yang tak tertandingkan!

Sehingga berilusilah dia. Berimaginasi. Berkhayal dan berpengharapan di antara rasa takut dan harapnya, rasa cinta dan kagumnya, di tengah tekanan penderitaan desakan keinginan-keinginannya sendiri. Yang dirasakan dan ditahannya sedemikian rupa, dan tak dapat di realisasikan. Dan sang ayah tersebut, sang tuhan tersebut, harus mati dan dibunuh. Tidak boleh lagi diberikan hak hidup di atas realitas pengalaman cinta dan keinginan yang dimilikinya itu, yang mendapat gangguan dan terhalangi karena adanya sang ayah sebagai penghalang!! Sebagai saingan dan musuh!

TAK PELAKLAH, pada saat ilmu mulai digali dan dikembangkan, setelah fase agama di abad pertengahan yang telah membuat mereka muak dan benci, maka fase pencerahan dan seterusnya di abad 19, dimana sains/ilmu pengetahuan telah mengungkap rahasia alam semesta. Misteri terkuak dengan pemuan ilmiah. Fisika menemukan inti materi dalam atom, balok fondasi alam semesta. Biologi mengungkapkan bahwa kehidupan adalah hasil evolusi akibat pertarungan abadi untuk hidup (survival of the fittest). Kecerdasan (bahkan ruh) dijelaskan dengan hubungan saraf dan rangkaian reaksi kimia dalam sistem neural kita.

Sedang Sains kata Teilhard, telah menjadi “worship of matter”, agama materi.

Darwin, Karl Marx, Sigmund Freud membunuh tuhan, dan Nietsche dengan bangga turun dari bukit menyanyikan lagu Zarathusta: “Got is gestorben”. Tuhan sudah mati!”.

YA. DARI SANA-LAH nanti, ilusi dan delusi itu mulai dibentuk dan terbentuk. Di atas dan di dalam ketidakberdayaan sang manusia lemah terhadap segala sesuatu yang menimpa! Seperti juga ketidakberdayaan sang anak dalam usia dininya itu, yang meganggap sang ayah sebagai sesuatu yang perkasa dan maha melindungi, yang pada akhirnya nanti membentuk imajinasi sebagai sang tuhan, sosok ilahi yang memberikan kepuasan dan perlindungan, namun tetap jua harus dimatikan. Harus dibunuh! Karena Dialah penyebab penghalang terhadap keinginan-keinginan!

SEDANG sang manusia dewasa, yang melihat bencana-bencana kehidupan membawa kesengsaraan dan penderitaan, di mana akhir klimaknya terjadi kematian, renggutan jiwa atas raga sang diri secara paksa, yang lalu memandang dan menganggap bahwa hal itu sebagai suatu irasionalitas dari sebuah tragedi kehidupan! Dimana pada saat mereka belum bisa mengatasinya, maka perjuangan ke arah melepaskan diri dari keterpasungan dan keterkungkungan itu, harus tetap dilakukan!

LALU BERAMAI-RAMAILAH mereka mulai mengolah akal dan pikir. Menjungkirbalikkan semua yang mereka anggap khayal. Ilusi dan delusi tersebut. Gagasan yang dianggapnya bertentangan dengan realitas. Suatu kepercayaan yang tetap dipegang teguh, meskipun bertentangan dengan semua bukti yang ada.

Kemudian sang raja psikoanalisa, Sigmund Freud, memandang sifat kompulsif dari kepercayaan delusi, muncul dari dasar kebenaran tak sadar! Serta memandang agama tidak hanya sebagai “mass compulsive neurosis”, tapi juga “mass delusional psychosis”!

PETA KRITERIAPUN ditentukan. Dijabarkan.

Perhatikan dan cermatilah bentangan ini:

Das Es; adalah sesuatu yang dianggap sebagai yang tidak sadar. Dan tidak mungkin disadari. Yang terdiri dari tenaga hidup berupa desakan-desakan, naluri, nafsu. Di mana kesemuanya hanya tertuju untuk memuaskan kebutuhan hidup. Mencari kepuasan dan kesenangan.

Das Ich adalah yang dapat disadari. Diwakili oleh akal dan pikiran. Dimana desakan menyesuaikan diri pada keadaan sebenarnya, dan yang karena itu berfungsi sebagai pengendali desakan-desakan dan nafsu-nafsu.

Uber Ich, bentuk yang lebih tinggi dari Das Ich. Yang merupakan pengawas dari Das Ich. Mengadakan kritik, mempunyai fungsi kata hati.

Sedang Bahagian Sadar: ialah bagian dimana kita menyadari sesuatu karena pengamatan.

Bawah Sadar: Hal-hal yang telah disadari kemudian disimpan dahulu. Tetapi setiap waktu dapat disadari lagi (daya ingatan, reproduksi, assosiasi)

Kompleks terdesak: logikanya; manusia tidak boleh menuruti hawa nafsunya saja. Agama, kebudayaan, adat istiadat, kebiasaan, menentukan ukuran-ukuran untuk kelakuan manusia.

Ada kemungkinan sesuatu hasrat, kesan atau pikiran yang tidak sesuai dengan ukuran hidup itu, timbul. Namun, karena dianggap tidak pantas, ditekan kembali. Didesak sampai ketidaksadar.

Kekuatan-kekuatan tertentu; menahan, mengalangi yang didesak itu, jangan sampai timbul lagi. Das Ich dan Ueber-Ich merupakan sensor yang tidak mengizinkan sadarnya kembali.

Hilang dari alam sadar, tidak berarti musnah. Tetap masih punya kekuatan untuk timbul lagi. Dan dengan jalan samaran, selalu mencoba keluar lagi.

Umpamanya saja, jika ada kekeliruan kecil; salah ucap, salah tulis, salah baca, dll. Atau dalam mimpi. Dimana waktu tidur kesadaran kita berkurang dan pengawasan sensor biarpun masih ada, menjadi lemah. Sehingga hal-hal yang terdesak dapat keluar.

Dan seterusnya sublimering. Penyaluran terbaik dimana tenaga-tenaga yang tertahan dapat dikeluarkan, tetapi dengan menempuh jalan yang lain, yang dapat diterima masyarakat.

Umpama, seorang yang punya desakan kuat untuk menyiksa dan membunuh, memilih pekerjaan tukang daging atau pemotong hewan. Atau seseorang yang mencintai tapi kandas dalam percintaannya, mengeluarkan desakan rasa cintanya dengan memilih pekerjaan jadi juru rawat. Dan seterusnya.

WALHASIL, secara garis besarnya, psikoanalisa sebagaimana yang dirumuskan Sigmund Freud itu, seolah-olah, bila digambarkan secara fisik, dalam relung akal si pasien terdapat berbagai mikroba yang sangat kecil. Yang menggeragoti kepribadiannya. Meracuni pandangan dan kecenderungan emosinya. Menelikung perilaku dan aktivitas-aktivitasnya. Seakan-akan, mikroba-mikroba itu menjadikannya terpuruk dalam angan-angan dan cita-citanya. Menjadikannya tenggelam dalam buaian mimpi dan khayalan. Bahkan, terkadang, mikroba-mikroba tersebut mengubah dirinya menjadi seorang kriminal yang bengis dalam sejumlah tindakan kejahatan.

Sehingga terpetik suatu fenomena..bahwa manusia itu tidak mampu melawan kekuatan kejahatan instink gelap yang menekan dirinya. Mendominasi dirinya! Baik dari Id maupun dari Superego! (Id; energi psikis yang selalu cenderung pada perkara haram (kesenangan semata). Sedang Superego; kaedah moral dan nilai-nilai sosial).

SEMENTARA ITU Al Qur’an menginformasikan, bahwa manusia dihiaskan dengan kecintaan-kecintaan. Berupa kesenangan hidup di dunia.
Antara lain:

“Dijadikan indah pada pandangan (manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari apa yang demikian itu?. Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya……….” (QS 3:14-15)

JELAS, dalam gambaran ayat tersebut, kesenangan hidup di dunia dibanding akhirat, jauh lebih baik akhirat. Karena di akhirat bisa mendapatkan surga dengan sungai-sungainya. Sesuatu yang tentu terisi dengan segala keserbaindahan dan kekekalannya. Dimana indera tidak bisa membayangkan, tidak dapat menggambarkan secara pasti mutlak.

Di ayat itu pula terdapat gambaran untuk membandingkan, agar manusia bisa memilih! Diberi kebebasan pilihan menurut apa yang diinginkannya.

Sementara itu, yang buruk, jelas. Yang baikpun, jelas. Begitupula yang benar dan sesat. Semua terlihat jelas dalam studi banding atas apa yang diketahui dan dilihat dalam realitas kehidupan di tengah perilaku manusianya itu!

”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 2:256) (ambil juga pelajaran dari QS 18:29, QS 10:99)

SEDANG MANUSIA sebagai makhluk paling sempurna bentuk tubuhnya dari makhluk lainnya, (QS 95:4) yang diberikan akal serta sarana biologis, fisiologis, psikologis serta petunjuk Dienul Islam dan contoh teladan terbaik Rasulnya SAW. (QS 3:19, QS 5:3, QS 33:21), merasa tidak ditekan ataupun tertekan. Tidak dipaksa di dalam dan untuk melakukan pemilihan tersebut. Baik oleh apa yang dinamakan kekuatan instink gelap Id maupun Superego. Sebagaimana gambaran di atas!

Al Qur’an menginformasikan tentang adanya tiga struktur jiwa di dalam diri manusia. Yaitu nafsu yang cenderung dan menyuruh kepada kesenangan-kesenangan. Kesalahan-kesalahan. Perbuatan dosa. Melakukan yang haram serta berbuat kejahatan. ( QS 12:53 di atas).

Di samping juga ada nafsu/jiwa yang bersifat mengontrol. Menyesali diri atas perbuatan buruk yang dilakukan dan sekaligus menegurnya:

“dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri.” (QS 75:2).

AKAL SEHAT yang selalu berpikir dan merenung di atas kefungsiannya yang diperankan dengan baik, sebagai gambaran dari nurani atau fitrah diri yang selalu ingin berada dan mencari kebenaran/ agama/Dien Allah (QS 7:172, QS 30:30, QS 51:20-21, QS 30: 8-9, 17:36, 3:19, 5:3) maka suatu saat, dengan kesadaran diri selaku manusia atau insan yang mulia, (QS 17:70) paham dan mengerti serta ingin mencari rida Allah dalam tujuan perjalanan kehidupannya, melakukan aspek ketaatan atas segala perintah dan aturan-Nya di atas landasan keikhlasannya menjalani aspek agamanya dengan lurus, (QS 98:5), akhirnya akan membawanya pada jiwa yang tenang. (Q S 89: 27-30) Yang kemudian mendapat penghargaan dari Allah, dengan dipersilahkan-Nya masuk ke dalam surga-Nya.

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yag puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS 89:27-30)

YANG KITA PERTANYAKAN; KENAPA HAL ITU bisa terjadi? I

Seperti kita ketahui, di dalam Al Qur’an jelas terlihat, bahwa manusia diberi potensi untuk meluruskan jiwanya di atas kepemilihan bebasnya itu!

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)

TERNYATA, KESADARAN diri dan kemauan kuatlah yang mendasari seseorang untuk memilih jalan yang baik dari jalan yang buruk. Jalan ketakwaan dari pada kefasikan. Bukan pengaruh bawah sadar atau sebagainya itu, yang membuatnya dapat melihat dan mengetahui serta membedakan. Mengikuti apa yang baik dan menguntungkan bagi dirinya tersebut!

JADI, bukan kegilaan sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian psikolog modern, semacam Sigmund Freud dan kawan-kawannya itu, terhadap pilihan seseorang terhadap agama. Apalagi tuduhan tadi, lahirnya dari orang yang titik pandang dan analisanya di latar belakangi oleh keateisan!
Ketidakpercayaan terhadap agama.
Di saat suatu agama di abad pertengahan, dengan institusi gereja dan para pendetanya, telah begitu mengecewakan mereka! Di mana ilmu yang mereka temukan, bertentangan dengan apa yang dimiliki para petinggi agama tersebut.

Hingga terjadilah pembunuhan terhadap para ilmuwan mereka. Seperti Galileo..1633, ketika ia dipaksa untuk menyerah pada inkuisisi.

Galileo menjadi korban yang paling sering diperingati dalam peperangan antara sains dan agama.

Sebaliknya dari itu, islam mengangkat tinggi-tinggi ilmu pengetahuan. Dan mereka yang memilikinya dibedakan beberapa derajat di ketinggian atas manusia lainnya. Meski tentu saja, dengan persyaratan iman sebagai barometer keselarasan, keserasian dan keharmonisasiannya.

“………………, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat……….” (QS 58:11)

SEMENTARA ITU, Einstein menyatakan; bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh. Agama tanpa ilmu pengetahuan buta!

LALU, bilamana kemudian, menurut sebahagian ahli Ilmu Psikologi Modern dikatakan bahwa orang ber-agama jiwanya mengalami gangguan dan tidak-normal, alias gila, apakah ini benar?

Bukankah malah sebaliknya, di balik analisa sadar dan bawah sadarnya itu, tidakkah kita menemukan orang-orang yang menjadi terganggu jiwanya?

Bahkan, pada bulan Mei 1975, seorang psikolog Amerika yang bernama Gicub Morino melakukan bunuh diri pada usia 70 tahun.

Kenapa beberapa psikolog di Barat melakukan bunuh diri, padahal mereka mengklaim sebagai orang-orang yang paling memahami jiwa manusia? mampu menerapi dan memperbaikinya?

KELEMAHAN KEIMANAN dan ketidak-pengetahuan mereka tentang Allah Subhanahu wata’ala, barangkali adalah penyebab hilangnya kepercayaan psikiater tersebut terhadap dirinya sendiri. Ditandai dengan hancurnya nilai-nilai akhlak dan sifat luhur di kalangan mereka!

Sementara Islam dengan makna akhlak yang baik, mencerminkan dan memperlihatkan perilaku bertanggung-jawab di dalam peri kehidupan yang ditempuh dan dijalaninya. Di atas konsekuensi iman dari agama yang diyakini dan dianutnya itu.

LALU BAGAIMANA pula, jika Freud masih membandal dan berpendapat, bahwa dalam perjalanan pemerintahan akal di masa depan, kepercayaan agama harus dikesampingkan?
Bahwa dalam jangka lama, akal dan pengalaman harus menaklukkan agama beserta seluruh kontradiksinya?

Akal atau sains harus menaklukkan imajinasi (ilusi).
Dan berpendapat; Hanya sains yang sanggup memberikan pengetahuan tentang realitas eksternal, dalam pandangan Freud.
Hanya akal (logos) yang dapat menjadi pembimbing.

LALU salahkah penulis, kalau pada awal tulisan ini, telah menginformasikan bahwa: “Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain tipuan belaka.?” (QS 4:120)

YA. MEREKA TERTIPU. Tertipu oleh syetan di atas khayal mereka, karena telah menafikan dan meniadakan realitas metafisika di atas fisika thok! yang mereka anggap sebagai sesuatu yang bisa diyakini dan dipercaya keberadaannya karena bisa diindera. Bisa dibuktikan dengan metode ilmiah.

Sehingga melupakan yang lainnya, yang juga merupakan suatu realitas!

Jangankan Allah sebagai Dzat gaib dan tak dapat dicerna atau dicerap indera penglihatan atau pendengaran dan sebagainya lagi (QS 6:103), maka jiwa atau ruh, serta udara pun, tak bisa mereka cerap dan buktikan lewat indera penglihatan atau pendengaran!

Sehingga akibat ketidakberhasilan mengobati penyakit kejiwaan itu dengan terapi psiko analisanya, psikolog yang lainpun mulai kembali menerapi dan mengobatinya dengan terapi keagamaan. Seperti Thomas Agosin, William James, David Larson, dsbnya..

Bahkan, terapi para sufi yang jiwanya tenang karena selalu mengingat Allah, (QS 13:28) lebih manjur dan membawa jiwa tersebut pada ketenangan diri!

DAN JIWAPUN tidak mengalami stress yang berkepanjangan. Yang membuatnya jadi gila, dalam kegoncangannya yang merawankan! Bahkan, tega melakukan bunuh diri. Berlaku zalim dan bodoh terhadap diri sendiri, sebagaimana yang telah dilakukan oleh psikolog yang tegang dan frustrasi dengan diri dan kehidupannya itu. Di atas peradaban yang menghimpitnya!

WALLAHU A’LAM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun