Mohon tunggu...
fatma ariyanti
fatma ariyanti Mohon Tunggu... Buruh - Citizen

Point of view orang ke-3

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siapa yang Ingin Kau Bunuh Selanjutnya

7 Maret 2024   12:14 Diperbarui: 7 Maret 2024   14:05 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Dirinya mirip puisi panjang. Matanya terpejam, bibirnya beku dan dadanya kembang kempis naik turun. Tapi di ranjang rumah sakit yang dingin itu, wajahnya syahdu dan bisu. Hanya saja...dadanya tidak lagi naik turun.

Aku duduk, orang-orang berdiri dan berpanik ria. Kedua telapak tanganku mengepal di atas paha. Bayangan tubuhku memantul di lantai kotor yang penuh lumpur. Kakiku menggelantung layaknya tali yang diikat di ujung tebing, berat.

Seseorang menepuk bahuku, aku mendongak dan melihat bibirnya bergerak. Dahinya berkerut dan pupilnya berlari dari kanan ke kiri, telapak tangannya terasa bergetar di bahuku. Tetapi aku mematung tak karuan. Apa yang orang ini coba katakan? Pikirku. 

Aku tak mendengar apapun selain suara mirip speaker konslet, nguing-nguing di telinga. Seperti deru mesin kereta api pada relnya yang karatan. Rupanya itu adalah monitor yang berada di dekat ranjang. Tetapi telingaku masih terasa panas, seperti digigit semut-semut dungu. Mereka mengerubungiku dengan bisu. Aku menggertakkan gigi dan memegang telingaku yang perih seperti kesetrum listrik. Sialan! Tahik kalian semua! Menyingkir dari hadapanku!

Api-api di sekitar membara seperti obor festival. Tak sudi lagi mengorek nyawaku diantara mimpi brutal pada malam-malam sebelumnya. Orang-orang asing tak tahu malu itu membuka mulut semakin lebar. Telingaku pecah. Bicara dengan jelas!

Kuangkat kedua tanganku yang bergetar. Aku membungkam telinga dengan susah payah seolah berdarah-darah. Hentikan!

Mereka menundukkan badan dan menggerak-gerakkan tubuhku yang kurus seperti mayat hidup.

"Kenapa cuma dia yang mati?! Kenapa?!"

Aku terkesiap mendengar salah satu dari mereka yang berteriak melewati kerongkongan dan paru-paruku yang kelewat habis masa waktunya. Pupil mataku mengecil, jari-jariku hampir putus. Tanganku yang berada di telinga kupaksa turun perlahan. Aku memang mayat hidup, rupanya.

Suara berdenging datang lagi, seolah memaksa memenuhi saraf-saraf neuron otak. Kulirik dia sesaat yang masih terbaring di ranjang. Namun selimut putih asing itu tanpa izin menutupi seluruh tubuhnya. Monitor telah berhenti, tapi suara memekik ini masih berada di kupingku yang rusak dan bernanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun