Pengedalian karbon juga dilakukan dengan metode pendekatan berbasis pasar domestik diantaranya pasar karbon domestik, penerapan nilai atau harga karbon, pajak karbon, serta emission trading scheme (Soejachmoen, 2019). Indonesia perlu menerapkan pendekatan pasar dan penerapan kebijakan dan mekanisme fiskal lain di dalam negeri. Penerapan keduanya akan sangat membantu pencapaian NDC. Hal ini dapat terjadi melalui :
- Pasar karbon yang memungkinkan terjadinya aliran reduksi emisi dari pihak yang over-performend dalam menurunkan emisi ke pihak yang under-performed dan harus memiliki target kewajiban penurun emisinya.
- Pasar karbon memungkingkan terjadinya aliran dana antar para pihak maupun antara para pihak dan Pemerintah tergantung pada jenis dan mekanisme yang diterapkan.
- Penerapan kebijakan fiskal yang dapat dimulai dengan adanya internalisasi biaya eksternalitas dari berbagai komoditas yang diatur
- Penerapan pajak dengan cara earmaking sehingga dana yang terkumpul dari pajak ini dapat dialokasikan untuk mendanani kegiatan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.
Guna memastikan penurunan emisi dapat tercapai dibutuhkan yang mengikat berupa batasan emisi GRK yagn dikenal sebagai cap. Tanpa adanya cap tidak akan tercipta permintaan dan penyediaan reduksi emisi GRK sebagai basis dari terjadinya pasar karbon.
 Hal ini juga akan menjadi basis dalam penerapan kebijakan fiskal yang tepat (Soejachmoen, 2019). Skema perdagangan emisi atau Emission Trading Scheme (ETS) adalah satu upaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang diatur dengan perjanjian internasional sebagaimana tertuang dalam Protokol Kyoto (Hindardo & Suriandiredja, 2019).
Mekanisme berbasis pasar untuk pengurangan emisi karbon yang saat ini berkembang di dunia berdasarkan transaksinya digolongkan sebagai berikut:
- Crediting atau Carbon Crediting adalah jenis transaksi pasar berdasarkan atas hasil penurunan emisi yang telah disertifikasi dalam bentuk kredit karbon, satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton karbon dioksida.
- Cap and Trade atau biasa disebut trading adalah pembatasan emisi Gas Rumah Kaca pada satu entitas tertentu, bisa di tingkat instalasi ataupun organisasi.
- Carbon Tax atau pajak karbon adalah model implementation mekanisme berbasis pasar yang biasanya diimplementasikan di dalam suatu wilayah hukum yang ditentukan, bisa negara, wilayah atau sektor tertentu (Hindardo & Suriandiredja, 2019).
Hindardo & Suriandiredja (2019) mengatakan bahwa Skema Karbon Nusantara (SKN) adalah mekanisme berbasis pasar yang sedianya ditujukan untuk melakukan fasilitasi pengembangan kegiatan sertifikasi pengurangan emisi dan pasar karbon secara domestik di Indonesia. Sedangkan penurunan emisi digolongkan menjadi dua yakni Penurunan emisi dengan biaya sedang dan Penurunan emisi dengan biaya tinggi.
- Penurunan emisi dengan biaya sedang, terutama target 29% penurunan emisi unconditional atau denga biaya sendiri maka penurunan emisi jenis ini dapat dipertimbangkan kebijakan berikut:
- Implementasi pajak karbon, terutama pada sektor-sektor tertentu yang sudah cukup siap seperti transportasi mobil dan kendaraan pribadi.
- Implementasi perdagangan karbon domestik, baik berupa trading maupun crediting sehingga diharapkan akan memberikan insentif dan subsidi silang antara aktor yang terlibat.
- Penurunan emisi dengan biaya tinggi, yang digolongkan dalam conditional target, akan bagus apabila Indonesia bisa memanfaatkan beberapa peluang sebagai berikut.
- Implementasi teknologi tinggi atau kegiatan berbiaya tinggi untuk menurunkan emisi dengan memanfaatkan bantuan internasional berupa dana hibah dengan skema non pasar.
- Implementasi teknologi tinggi atau kegiatan berbiaya tinggi untuk menurunkan emisi dengan memanfaatkan skema perdagangan karbon international atau transfer intertasional hasil mitigasi (ITMO/Intertational Transfer Mitigasi Outcome)
Menurut Brojonegoro & Rudiyanto (2019) intervensi kebijakan yang dapat dilakukan dalam kerangka pembangunan rendah karbon adalah pertama, meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Kedua, meningkatkan produktivitas pertanian, intensifikasi pertanian dan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam. Ketiga, meningkatkan kontribusi Energi Baru Terbarukan (EBT) pada bauran energi; efisiensi energi; konservasi energi; biofuel untuk transport; dan penghapusan subsidi BBM.Â
Keempat, memastikan upaya reforestasi, pencegahan deforestasi, restorasi lahan dan gambut, implementasi RTRW, memoratorium kelapa sawit dan hutan primer dapat berhasil dan berkelanjutan. Murdiyarso & Adiwibowo (2019) mengatakan cara paling efektif mengendalikan emisi adalah meningkatkan produktivitas dan memperbaiki sistem hidrologi lahan gambut yang sudah terlanjur dikeringkan, melalui pembasahan ulang. Menerapkan cara ini dapat menurunkan tingkat kerentanan kebakaran serta penurunan emisi gas rumah kaca.
PARIWISATA BERKUALITAS DAN BERKELANJUTAN
Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali dari prinsipnya diantaranya partisipasi, keikutsertaan stakeholder, kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan serta promosi (Pratiwi dan Ruspianda, 2023). Berdasarkan jurnal (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2012) yang berpedoman pada UNWTO mengemukakan bahwa dalam Pembangunan Berkelanjutan terdapat pedoman yaitu :Â
- Sumberdaya lingkungan merupakan kunci dalam pembangunan kepariwisataan yang optimal, menjaga ekologi serta membantu mengkonservasikan keanekaragaman hayati.
- Menghormati keragaman budaya dan komunitas tuan rumah, melestarikan pusaka buatan dan kehidupan budaya masa kini, nilai nilai tradisional, dan berkontribusi terhadap pemahaman antar budaya dan toleransi;
- Memastikan keberlangsungan jangka panjang, yang bermanfaat pada sosio ekonomi kepada stakeholder yang terdistribusi secara berkeadilan, termasuk lapangan kerja dan peluang komunitas tuan rumah serta pelayanan sosial dan berkontribusi terhadap penghapusan kemiskinan.
Terwujudnya pariwisata berkelanjutan dan berkualitas adalah proses yang berkesinambungan sehingga diperlukan pemantauan, mengenalkan tindakan pencegahan dan tindakan korektif. Pariwisata berkelanjutan harus menjaga tingkat kepuasan wisatawan yang tinggi serta mampu menjamin pengalaman yang penuh makna bagi wisatawan, menumbuhkan kesadaran tentang isu-isu keberlanjutan dan mempromosikan praktek-praktek pariwisata berkelanjutan.Â
Konsep ini sangat ideal untuk negara berkembang serta dapat digunakan untuk menghadapi tantangan era globalisasi ke depan yang memperhatikan aspek sosial, buda, ekonomi, politik. Pembangunan pariwisata berkelanjutan perlu didukung dengan aturan terkait kebijakan pengembangan pariwisata yang partisipatif dengan melibatkan masyarakat (Musaddad dkk, 2019).