Mohon tunggu...
fathul geograf
fathul geograf Mohon Tunggu... Editor - Suka Menulis

Agar saya tetap dapat berkarya dan memperbaiki karya saya, maka mohon komentarnya dan like.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Digitalisasi Pengawasan KPK, Optimalisasi Peran dalam Penanggulangan Korupsi pada Sumber Daya Alam

9 September 2024   10:15 Diperbarui: 9 September 2024   10:45 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Sumber : Penulis

Nama: Fathul Bari, M.Pd

Pembukaan

Indonesia, sebagai negara yang kaya sumber daya alam (SDA), menghadapi tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan dan integritas pengelolaan SDA. Kekayaan ini seharusnya menjadi aset utama pembangunan, namun seringkali korupsi yang terjadi memperburuk kerusakan lingkungan, merusak ekosistem dan memperbesar kesenjangan sosial. 

Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat penting untuk memastikan pengelolaan SDA yang baik, transparan dan akuntabel. Meskipun KPK telah melakukan berbagai upaya, tantangan besar tetap ada, termasuk keterlibatan aktor berkuasa dan jaringan korupsi yang kompleks. Oleh karena itu, optimalisasi peran KPK dalam pemberantasan korupsi di sektor SDA sangat krusial untuk menjamin pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Lingkungan hidup menjadi salah satu dari sembilan target utama dalam pembangunan nasional tahun 2015-2019. Berdasarkan buku I RPJMN, terdapat tiga target utama yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Pertama, terkait dengan ekonomi, yaitu meningkatkan ketahanan air. Kedua, terkait lingkungan, yakni melalui rehabilitasi hutan dengan target 750 ribu hektar. Ketiga, terkait dengan peningkatan produksi perikanan dan kelautan.[1] Hal ini tentu memiliki keterkaitan dengan keberlanjutan Sumberdaya Alam.

Korupsi di sektor SDA menjadi masalah serius yang menghambat pembangunan di Indonesia, merugikan keuangan negara dan berdampak negatif terhadap lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. Sebagai upaya memberantas korupsi di sektor ini, KPK telah mengembangkan berbagai strategi dan alat seperti Monitoring Centre for Prevention (MCP) dan Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA). Esai ini akan membahas bagaimana optimalisasi peran KPK melalui MCP dan JAGA dapat memperkuat upaya pemberantasan korupsi di sektor SDA.

 

Pembahasan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memainkan peran penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam (SDA), yang berdampak merugikan bagi ekonomi, lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. 

Melalui alat seperti Monitoring Centre for Prevention (MCP), KPK memantau dan mengevaluasi pengelolaan SDA secara real-time, mengidentifikasi potensi risiko korupsi dan memberikan rekomendasi kebijakan. Korupsi di sektor ini tidak hanya menyebabkan hilangnya pendapatan negara, tetapi juga mendorong eksploitasi berlebihan yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat lokal.

Selain itu, KPK berperan sebagai pengawas independen, memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan SDA serta memberikan edukasi pencegahan korupsi. Pada sektor SDA, KPK juga memfasilitasi kerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah, swasta, dan internasional untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Melalui kolaborasi ini, KPK dapat memperluas jangkauan pengawasan dan meningkatkan efektivitas penindakan. 

Inisiatif seperti Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA) yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam pelaporan dan pengawasan, memperkuat partisipasi publik dalam memerangi korupsi. KPK juga berperan dalam mengembangkan sistem dan teknologi informasi yang mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan SDA. Melalui pendekatan sistemik ini, KPK berusaha menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi, memastikan bahwa sumber daya alam dikelola untuk kepentingan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Pada tahun 2019, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK melakukan Kajian Pengelolaan Ruang Laut untuk mengidentifikasi masalah, termasuk area rawan korupsi dalam penyusunan tata ruang laut, perizinan dan pengelolaan pulau-pulau kecil. Kajian ini mencakup penyusunan rencana zonasi kawasan strategis nasional, proses pemberian izin lokasi di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, serta pengelolaan pulau-pulau kecil. Hasil kajian ini mengungkapkan berbagai masalah terkait perencanaan ruang laut, perizinan pemanfaatan perairan, dan pengelolaan pulau-pulau kecil.[2]

Celah korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) seringkali terletak pada kelemahan sistem perizinan, pengawasan yang tidak memadai dan kurangnya transparansi. Sektor SDA, dengan nilai ekonominya yang besar, menjadi sasaran korupsi ketika izin eksploitasi dikeluarkan tanpa evaluasi ketat, ada suap dalam pengurusan izin atau perubahan peraturan dan pengawasan pelaksanaan eksploitasi tidak efektif. 

Kurangnya transparansi dalam pelaporan dan pengelolaan keuangan hasil eksploitasi SDA, membuka ruang untuk penyalahgunaan wewenang dan penggelapan dana, sementara sistem pemantauan dampak lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang tidak memadai sering membuat pelanggaran tidak terdeteksi, memperburuk dampak negatif korupsi pada lingkungan dan masyarakat.

Menurut laporan yang dipublikasikan di situs Jaga.id[3], ada beberapa masalah dalam tata kelola dan pengawasan sektor mineral dan batubara. Pertama, permasalahan terkait penataan perizinan di sektor minerba, khususnya terkait perbedaan data Izin Usaha Pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah. 

Kedua, rencana perpanjangan sejumlah PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) berpotensi tidak sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, terutama terkait luasan wilayah kerja. Ketiga, sistem monitoring produksi dan penjualan batubara belum optimal.

Tindak pidana korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) seringkali berakar dari celah-celah yang ada sejak awal proses perizinan. Pada tahap ini, manipulasi data dan penyalahgunaan wewenang dapat terjadi, seperti penerbitan izin yang tidak sesuai dengan ketentuan atau adanya permintaan suap untuk mempermudah proses perizinan. 

Ketidakjelasan dalam regulasi, lemahnya transparansi, dan kurangnya sistem informasi yang akurat memperburuk situasi ini, sehingga memudahkan terjadinya praktik korupsi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki akses atau kekuasaan dalam pemberian izin.

Pada tahap pelaksanaan dan pengawasan, celah korupsi dapat muncul dari lemahnya kontrol dan audit yang dilakukan. Kurangnya pengawasan yang ketat terhadap implementasi proyek-proyek SDA serta penyimpangan dalam penggunaan dana dan sumber daya dapat memicu korupsi. Pengawasan bisa dilakukan oleh berbagai pihak, seperti instansi pemerintah terkait, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat umum. 

Namun, seringkali pengawasan ini tidak efektif karena adanya konflik kepentingan, kekurangan sumber daya, atau ketidakmampuan aparat pengawas. Oleh karena itu, memperkuat mekanisme pengawasan dan memastikan keterlibatan berbagai pihak yang independen adalah kunci untuk menutup celah-celah tersebut.

 

Korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) di Indonesia telah terjadi di berbagai wilayah dan sektor, dengan dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan ekonomi. Penambangan ilegal, terutama batu bara dan emas, adalah salah satu bentuk korupsi yang sering terjadi di Indonesia. Wilayah Kalimantan misalnya, banyak tambang ilegal yang beroperasi tanpa izin resmi, sering kali dengan dukungan dari pejabat lokal yang menerima suap. 

Pada wilayah Sumatera, kasus serupa melibatkan eksploitasi hutan untuk pertambangan. Menurut laporan KPK pada tahun 2022, kerugian ekonomi akibat penambangan ilegal diperkirakan mencapai lebih dari Rp 20 triliun per tahun, selain dampak lingkungan yang luas seperti deforestasi dan pencemaran air.[4]

Korupsi terkait pengelolaan hutan di Papua juga melibatkan praktik-praktik seperti penjualan izin penguasaan hutan yang tidak sah dan pengabaian peraturan lingkungan. Kasus ini sering melibatkan alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit atau pertambangan, yang mengakibatkan kerusakan hutan hujan tropis yang sangat penting untuk keanekaragaman hayati dan mitigasi perubahan iklim. Data dari Greenpeace menunjukkan bahwa dalam periode 2017-2021, kerugian ekonomi akibat kerusakan hutan di Papua mencapai sekitar Rp 15 triliun, termasuk dampak pada masyarakat adat.[5]

Selanjutnya seperti Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, korupsi dalam pengelolaan sumber daya air melibatkan penyalahgunaan wewenang dalam proyek-proyek irigasi dan pengadaan infrastruktur. Praktek korupsi ini sering kali melibatkan penyelewengan dana dan penyimpangan dalam pelaksanaan proyek, yang mengakibatkan kerugian signifikan bagi perekonomian lokal dan kerusakan pada sistem pengairan. 

Laporan BPK pada tahun 2023 mencatat kerugian finansial akibat korupsi di sektor ini mencapai Rp 10 triliun, dengan dampak luas pada sektor pertanian dan kehidupan masyarakat.[6] 

Berdasarkan penelitian Litbang KPK tahun 2010 hingga 2019, serta penelitian dari berbagai pihak yang mendukung rencana aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), potensi tingkat korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam telah mencapai angka triliunan rupiah. Misalnya, dalam sektor pertambangan, terdapat kekurangan pembayaran pajak di kawasan hutan yang mencapai Rp 15,9 triliun per tahun di Kalimantan, Sumatera dan Papua. KPK juga mencatat potensi penerimaan perizinan yang mencapai sekitar Rp 28,5 triliun, serta adanya kelemahan dalam sistem kontrol penerimaan negara.[7]

Data dari Jaga.id[8] mengungkapkan sejumlah permasalahan dalam sektor pertambangan batubara. Salah satu masalah utama adalah akurasi NPWP dan data pendukung, terutama data produksi, dalam perhitungan potensi pajak. Selain itu, terdapat permasalahan terkait multitafsir peraturan perpajakan, serta pengelolaan dan pemanfaatan data perpajakan, pengawasan wajib pajak, dan analisis potensi pajak.

Menurut Kartodihardjo dkk[9] terdapat 7.519 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak, hanya 84% yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sementara sisanya tidak teridentifikasi. Jumlah perusahaan yang memiliki NPWP, hanya 88% yang melaporkan SPT tahunan mereka. Pada tahun 2017, KPK juga mencatat jumlah tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) sebesar Rp 25,5 triliun.

Sektor perkebunan kelapa sawit, ditemukan potensi pajak yang tidak dipungut pemerintah sebesar Rp 18,13 triliun dari potensi pajak Rp 40 triliun, pemerintah hanya berhasil memungut Rp 21,87 triliun akibat rendahnya kepatuhan Wajib Pajak, yaitu 6,3% untuk WP Orang Pribadi dan 46,3% untuk WP Badan.[10] Sedangkan sektor kelautan, potensi Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai Rp 70 triliun per tahun, namun penerimaan negara hanya sebesar Rp 230 miliar per tahun.[11] Perizinan di sektor kehutanan, Litbang KPK pada tahun 2013 menemukan adanya uang suap atau pemerasan yang berkisar antara Rp 688 juta hingga Rp 22,6 miliar per perusahaan per tahun, tergantung pada apakah perusahaan tersebut sedang mengurus perpanjangan izin atau tidak. 

Selama periode 2003-2014, terdapat potensi 77% hingga 81% produksi kayu bulat yang tidak tercatat, menyebabkan kerugian negara antara Rp 5,24 triliun hingga Rp 7,24 triliun per tahun. Konversi hutan melalui Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), potensi kerugian negara mencapai antara Rp 49,8 triliun hingga Rp 66,6 triliun per tahun dalam periode yang sama. Selama 15 tahun dari 1998 hingga 2013, diperkirakan Perum Perhutani kehilangan aset tegakan hutannya sebesar Rp 998 miliar per tahun akibat pelaksanaan Peraturan Menteri BUMN No.100/2002 mengenai pengukuran kinerja BUMN.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama periode 2010-2017 terdapat 115 kasus korupsi di sektor sumber daya alam, dengan sektor perkebunan menyumbang kasus terbanyak sebanyak 52 kasus, diikuti kehutanan dengan 43 kasus dan pertambangan dengan 20 kasus. Selain itu, survei ICW (2017) menunjukkan bahwa responden menganggap korupsi paling sering terjadi saat mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) (56%), berurusan dengan polisi (50%), dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah (48%), urusan pengadilan (45%), implementasi anggaran pemerintah (44%), masuk universitas (27%), perawatan kesehatan masyarakat (27%), serta administrasi publik (25%).[12]

Penegakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam bidang sumber daya alam (SDA) melibatkan kerjasama dengan berbagai lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan dan Direktorat Jenderal Pajak. KPK berfungsi sebagai lembaga yang fokus pada pemberantasan korupsi dan seringkali bekerja sama dengan Polri dalam penyidikan dan penangkapan pelaku korupsi, serta dengan Kejaksaan dalam proses penuntutan di pengadilan.

 Direktorat Jenderal Pajak juga berperan penting dalam pelacakan aliran dana dan penghindaran pajak yang terkait dengan praktik korupsi dalam sektor SDA. Kolaborasi ini penting untuk memastikan bahwa semua aspek penegakan hukum berjalan efektif dan saling melengkapi.

Mantan Wakil Pimpinan KPK, Busyro Muqodas, mengungkapkan bahwa di sektor hulu, kekuatan pelaku korupsi besar karena adanya pertemuan antara oligarki, kartel politik dan kekuatan korporasi.[13] Penegakan hukum di sektor SDA seringkali menghadapi tantangan berupa keberpihakan penegak hukum kepada korporasi besar atau pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. 

Korporasi besar sering kali memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan keputusan dan kebijakan, sehingga penegak hukum, termasuk Polri dan Kejaksaan, bisa saja terpengaruh oleh tekanan atau konflik kepentingan yang menyebabkan ketidakadilan dalam proses hukum. Mengatasi masalah ini, penting bagi lembaga penegak hukum untuk menjaga independensi dan integritas mereka, serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses hukum yang mereka jalankan.

Optimalisasi peran KPK dalam memberantas korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) dapat dicapai dengan memperkuat kelembagaan, meningkatkan koordinasi antar lembaga, dan mengimplementasikan inovasi dalam pencegahan serta penindakan korupsi. KPK perlu meningkatkan kapasitas SDM, mengembangkan teknologi informasi untuk pengawasan dan memperkuat kerja sama dengan lembaga terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kerja sama internasional dengan lembaga seperti Transparency International dan UNODC juga penting, mengingat korupsi sering melibatkan jaringan global. Selain itu, partisipasi masyarakat harus ditingkatkan melalui pelaporan korupsi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan terkait SDA, dengan memanfaatkan inisiatif seperti Monitoring Centre for Prevention (MCP) dan Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA) untuk memantau dan meningkatkan transparansi pengelolaan SDA.

Korupsi memberikan ancaman signifikan di berbagai bidang, termasuk Sustainable Development Goals (SDGs) dan sistem High-Performance Computing (HPC). Pada konteks SDGs, korupsi merusak keadilan dan pertumbuhan ekonomi, serta menghambat pencapaian SDG 16.[14] Sedangkan di ranah HPC, Silent Data Corruptions (SDC) secara diam-diam merusak data, menantang mekanisme penanganan kesalahan tradisional, dan memerlukan langkah-langkah proaktif untuk deteksi dan mitigasi guna memastikan integritas digital.[15] Dampak korupsi yang luas mempengaruhi sektor-sektor global dan membutuhkan upaya kolaboratif untuk diatasi secara efektif. Memahami sifat korupsi dalam konteks ini sangat penting untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam mengatasi dan mencegah dampak negatifnya.

Korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) melibatkan pejabat pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat, dengan bentuk-bentuk umum seperti penyalahgunaan izin, suap perizinan dan penggelapan dana eksploitasi, yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. 

Maka untuk mengatasi masalah ini, KPK menggunakan Monitoring Centre for Prevention (MCP) untuk mengumpulkan dan menganalisis data tata kelola, mengidentifikasi risiko korupsi dan memberikan rekomendasi kebijakan. Selain itu, Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA) melibatkan masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan korupsi, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan SDA.

Pusat Pemantauan Pencegahan (MCP) memainkan peran penting dalam upaya pencegahan korupsi, seperti yang disorot dalam berbagai penelitian. MCP, yang dibentuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan lembaga lain, berfokus pada bidang-bidang seperti perencanaan, penganggaran, pengadaan dan pengawasan internal untuk memerangi korupsi.[16] KPK, dilengkapi dengan kekuatan luar biasa, menggunakan metode investigasi canggih seperti penyadapan dan audit forensik untuk mengungkap praktik korupsi dan mendapatkan kembali kepercayaan publik.[17] Selain itu, di tingkat Eropa, Jaringan Pencegahan Kejahatan Eropa (EUCPN) berkontribusi pada strategi pencegahan kejahatan dan praktik yang baik, menekankan pentingnya strategi multitahun untuk tujuan pencegahan kejahatan jangka panjang.[18] Melalui MCP, meningkatkan koordinasi dan menerapkan praktik terbaik, jaringan dapat secara efektif memerangi korupsi dan mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola.

Meskipun MCP dan JAGA memiliki potensi besar dalam memberantas korupsi di sektor SDA, terdapat tantangan seperti keterbatasan infrastruktur teknologi dan kurangnya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, KPK perlu terus meningkatkan kolaborasi dengan lembaga pemerintah lainnya dan mengedukasi masyarakat agar lebih terlibat dalam pencegahan korupsi. Selain itu, pengembangan teknologi yang mendukung MCP dan JAGA harus terus dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika korupsi di sektor SDA.

 

Penutup

Optimalisasi peran KPK dalam pelaksanaan tindak pidana korupsi pada SDA merupakan langkah yang sangat penting untuk memastikan bahwa kekayaan SDA Indonesia dapat dikelola dengan baik, transparan dan akuntabel. Pada upaya ini, KPK perlu terus meningkatkan kapasitasnya, baik dalam hal sumber daya manusia, teknologi informasi, maupun koordinasi dan kerja sama dengan berbagai pihak. 

Selain itu, KPK juga perlu terus mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor SDA, serta memperkuat upaya pencegahan korupsi melalui pendekatan sistemik dan integratif. Adanya langkah optimalisasi peran KPK, diharapkan tindak pidana korupsi pada SDA dapat diminimalisir, sehingga kekayaan SDA Indonesia dapat memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

Menghadapi tantangan korupsi di sektor SDA, optimalisasi peran KPK melalui Monitoring Centre for Prevention (MCP) dan Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA) merupakan langkah strategis yang dapat memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. MCP menyediakan alat yang efektif untuk memantau dan menganalisis potensi korupsi di tingkat daerah, sementara JAGA memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pencegahan korupsi. 

Meskipun masih terdapat tantangan, dengan penguatan kolaborasi dan peningkatan kesadaran masyarakat, KPK dapat lebih efektif dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi sumber daya alam Indonesia dari praktik-praktik korupsi. Optimalisasi peran KPK melalui MCP dan JAGA bukan hanya tentang pemberantasan korupsi, tetapi juga tentang menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat untuk generasi mendatang.

KPK juga perlu membentuk Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk fokus pada aspek sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan izin sumber daya alam, dengan tujuan menyoroti praktik korupsi dan melakukan pembinaan untuk meningkatkan kapasitas dan integritas pejabat terkait. Pendekatan ini akan memastikan SDM mematuhi regulasi dan menerapkan prinsip transparansi serta akuntabilitas dalam proses perizinan. 

Selain itu, KPK sebaiknya diberikan wewenang untuk mengusulkan penutupan wilayah pengelolaan SDA, seperti tambang, untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana korupsi. Melalui adanya wewenang ini, KPK dapat proaktif dalam mengidentifikasi dan menindaklanjuti penyalahgunaan izin serta praktik korupsi, serta mendorong perbaikan sistem perizinan dan pengawasan yang lebih ketat, mendukung pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

  

Referensi

Andrianus, Pattimau. (2024). Analisis Implementasi Monitoring dan Evaluasi dalam Pencegahan Korupsi di Pemerintah Kota Kupang. JURNAL ILMIAH GLOBAL EDUCATION, 5(2):1432-1440. doi: 10.55681/jige.v5i2.2685

Abdul, Kaium, Masud., Jong, Dae, Kim. (2020). International Resistance Networks for Anti-corruption: Multi-stakeholder Mechanisms.  18-. doi: 10.1007/978-3-319-71066-2_56-1

Badan Pemeriksa Keuangan. (2023). Laporan pengelolaan sumber daya air: Kasus dan dampak di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.

Dampak Korupsi terhadap Sektor Sumber Daya Alam di Indonesia. Jakarta: BPS. Transparency International Indonesia. (2023). Indeks Persepsi Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam. Jakarta: TII.

Greenpeace. (2021). Laporan kerusakan hutan Papua: Dampak ekonomi dan sosial 2017-2021. Jakarta: Greenpeace Indonesia.

George, N., Papadimitriou., Dimitris, Gizopoulos., Harish, Dattatraya, Dixit., Sriram, Sankar. (2023). Silent Data Corruptions: The Stealthy Saboteurs of Digital Integrity.  1-7. doi: 10.1109/iolts59296.2023.10224870

Jaga.id, 2014. Laporan Hasil Kajian Optimalisasi Penerimaan Pajak.

Jaga.id, 2019. Kajian Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Jaga.id, 2019. Kajian Pengelolaan Ruang Laut.

Jaga.id 2019. Kajian Pengawasan Mineral dan Batubara

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2022). Laporan tahunan korupsi: Penambangan ilegal di Kalimantan dan Sumatera. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan Kinerja 2022: Penguatan Pengawasan dan Penindakan Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam. Jakarta: KPK.

Kartodihardjo, K. Muhammad, C. dan Syarif, L, M. 2019. Tata Kelola, Korupsi dan Perubahan Iklim. Pembangunan dan Emisi Gas Rumah Kaca. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2016). Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2015). Mencegah Kerugian Negara di Sektor Kehutanan. Sebuah Kajian

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Studi Kasus Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam. Jakarta: KLHK. Yulia, R. (2021).

Nur, Jannah, Al, Baiti., Andri, Soemitra. (2022). Evaluation of Corruption Eradication and Strengthening of Corruption Eradication Prevention in Medan City.   doi: 10.37676/jambd.v1i2.2310

Noel, Klima., Maria, Bislev. (2012). European Crime Prevention Network (EUCPN).  173-174.

Peran Teknologi dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Studi pada Platform MCP dan JAGA. Jurnal Anti Korupsi, 14(2), 145-162. Badan Pusat Statistik. (2023).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun