Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama periode 2010-2017 terdapat 115 kasus korupsi di sektor sumber daya alam, dengan sektor perkebunan menyumbang kasus terbanyak sebanyak 52 kasus, diikuti kehutanan dengan 43 kasus dan pertambangan dengan 20 kasus. Selain itu, survei ICW (2017) menunjukkan bahwa responden menganggap korupsi paling sering terjadi saat mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) (56%), berurusan dengan polisi (50%), dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah (48%), urusan pengadilan (45%), implementasi anggaran pemerintah (44%), masuk universitas (27%), perawatan kesehatan masyarakat (27%), serta administrasi publik (25%).[12]
Penegakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam bidang sumber daya alam (SDA) melibatkan kerjasama dengan berbagai lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan dan Direktorat Jenderal Pajak. KPK berfungsi sebagai lembaga yang fokus pada pemberantasan korupsi dan seringkali bekerja sama dengan Polri dalam penyidikan dan penangkapan pelaku korupsi, serta dengan Kejaksaan dalam proses penuntutan di pengadilan.
 Direktorat Jenderal Pajak juga berperan penting dalam pelacakan aliran dana dan penghindaran pajak yang terkait dengan praktik korupsi dalam sektor SDA. Kolaborasi ini penting untuk memastikan bahwa semua aspek penegakan hukum berjalan efektif dan saling melengkapi.
Mantan Wakil Pimpinan KPK, Busyro Muqodas, mengungkapkan bahwa di sektor hulu, kekuatan pelaku korupsi besar karena adanya pertemuan antara oligarki, kartel politik dan kekuatan korporasi.[13] Penegakan hukum di sektor SDA seringkali menghadapi tantangan berupa keberpihakan penegak hukum kepada korporasi besar atau pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik.Â
Korporasi besar sering kali memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan keputusan dan kebijakan, sehingga penegak hukum, termasuk Polri dan Kejaksaan, bisa saja terpengaruh oleh tekanan atau konflik kepentingan yang menyebabkan ketidakadilan dalam proses hukum. Mengatasi masalah ini, penting bagi lembaga penegak hukum untuk menjaga independensi dan integritas mereka, serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses hukum yang mereka jalankan.
Optimalisasi peran KPK dalam memberantas korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) dapat dicapai dengan memperkuat kelembagaan, meningkatkan koordinasi antar lembaga, dan mengimplementasikan inovasi dalam pencegahan serta penindakan korupsi. KPK perlu meningkatkan kapasitas SDM, mengembangkan teknologi informasi untuk pengawasan dan memperkuat kerja sama dengan lembaga terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kerja sama internasional dengan lembaga seperti Transparency International dan UNODC juga penting, mengingat korupsi sering melibatkan jaringan global. Selain itu, partisipasi masyarakat harus ditingkatkan melalui pelaporan korupsi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan terkait SDA, dengan memanfaatkan inisiatif seperti Monitoring Centre for Prevention (MCP) dan Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA) untuk memantau dan meningkatkan transparansi pengelolaan SDA.
Korupsi memberikan ancaman signifikan di berbagai bidang, termasuk Sustainable Development Goals (SDGs) dan sistem High-Performance Computing (HPC). Pada konteks SDGs, korupsi merusak keadilan dan pertumbuhan ekonomi, serta menghambat pencapaian SDG 16.[14] Sedangkan di ranah HPC, Silent Data Corruptions (SDC) secara diam-diam merusak data, menantang mekanisme penanganan kesalahan tradisional, dan memerlukan langkah-langkah proaktif untuk deteksi dan mitigasi guna memastikan integritas digital.[15] Dampak korupsi yang luas mempengaruhi sektor-sektor global dan membutuhkan upaya kolaboratif untuk diatasi secara efektif. Memahami sifat korupsi dalam konteks ini sangat penting untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam mengatasi dan mencegah dampak negatifnya.
Korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) melibatkan pejabat pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat, dengan bentuk-bentuk umum seperti penyalahgunaan izin, suap perizinan dan penggelapan dana eksploitasi, yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.Â
Maka untuk mengatasi masalah ini, KPK menggunakan Monitoring Centre for Prevention (MCP) untuk mengumpulkan dan menganalisis data tata kelola, mengidentifikasi risiko korupsi dan memberikan rekomendasi kebijakan. Selain itu, Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA) melibatkan masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan korupsi, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan SDA.
Pusat Pemantauan Pencegahan (MCP) memainkan peran penting dalam upaya pencegahan korupsi, seperti yang disorot dalam berbagai penelitian. MCP, yang dibentuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan lembaga lain, berfokus pada bidang-bidang seperti perencanaan, penganggaran, pengadaan dan pengawasan internal untuk memerangi korupsi.[16] KPK, dilengkapi dengan kekuatan luar biasa, menggunakan metode investigasi canggih seperti penyadapan dan audit forensik untuk mengungkap praktik korupsi dan mendapatkan kembali kepercayaan publik.[17] Selain itu, di tingkat Eropa, Jaringan Pencegahan Kejahatan Eropa (EUCPN) berkontribusi pada strategi pencegahan kejahatan dan praktik yang baik, menekankan pentingnya strategi multitahun untuk tujuan pencegahan kejahatan jangka panjang.[18] Melalui MCP, meningkatkan koordinasi dan menerapkan praktik terbaik, jaringan dapat secara efektif memerangi korupsi dan mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola.
Meskipun MCP dan JAGA memiliki potensi besar dalam memberantas korupsi di sektor SDA, terdapat tantangan seperti keterbatasan infrastruktur teknologi dan kurangnya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, KPK perlu terus meningkatkan kolaborasi dengan lembaga pemerintah lainnya dan mengedukasi masyarakat agar lebih terlibat dalam pencegahan korupsi. Selain itu, pengembangan teknologi yang mendukung MCP dan JAGA harus terus dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika korupsi di sektor SDA.