Mohon tunggu...
fathul geograf
fathul geograf Mohon Tunggu... Editor - Suka Menulis

Agar saya tetap dapat berkarya dan memperbaiki karya saya, maka mohon komentarnya dan like.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Digitalisasi Pengawasan KPK, Optimalisasi Peran dalam Penanggulangan Korupsi pada Sumber Daya Alam

9 September 2024   10:15 Diperbarui: 9 September 2024   10:45 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Sumber : Penulis

 

Korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) di Indonesia telah terjadi di berbagai wilayah dan sektor, dengan dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan ekonomi. Penambangan ilegal, terutama batu bara dan emas, adalah salah satu bentuk korupsi yang sering terjadi di Indonesia. Wilayah Kalimantan misalnya, banyak tambang ilegal yang beroperasi tanpa izin resmi, sering kali dengan dukungan dari pejabat lokal yang menerima suap. 

Pada wilayah Sumatera, kasus serupa melibatkan eksploitasi hutan untuk pertambangan. Menurut laporan KPK pada tahun 2022, kerugian ekonomi akibat penambangan ilegal diperkirakan mencapai lebih dari Rp 20 triliun per tahun, selain dampak lingkungan yang luas seperti deforestasi dan pencemaran air.[4]

Korupsi terkait pengelolaan hutan di Papua juga melibatkan praktik-praktik seperti penjualan izin penguasaan hutan yang tidak sah dan pengabaian peraturan lingkungan. Kasus ini sering melibatkan alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit atau pertambangan, yang mengakibatkan kerusakan hutan hujan tropis yang sangat penting untuk keanekaragaman hayati dan mitigasi perubahan iklim. Data dari Greenpeace menunjukkan bahwa dalam periode 2017-2021, kerugian ekonomi akibat kerusakan hutan di Papua mencapai sekitar Rp 15 triliun, termasuk dampak pada masyarakat adat.[5]

Selanjutnya seperti Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, korupsi dalam pengelolaan sumber daya air melibatkan penyalahgunaan wewenang dalam proyek-proyek irigasi dan pengadaan infrastruktur. Praktek korupsi ini sering kali melibatkan penyelewengan dana dan penyimpangan dalam pelaksanaan proyek, yang mengakibatkan kerugian signifikan bagi perekonomian lokal dan kerusakan pada sistem pengairan. 

Laporan BPK pada tahun 2023 mencatat kerugian finansial akibat korupsi di sektor ini mencapai Rp 10 triliun, dengan dampak luas pada sektor pertanian dan kehidupan masyarakat.[6] 

Berdasarkan penelitian Litbang KPK tahun 2010 hingga 2019, serta penelitian dari berbagai pihak yang mendukung rencana aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), potensi tingkat korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam telah mencapai angka triliunan rupiah. Misalnya, dalam sektor pertambangan, terdapat kekurangan pembayaran pajak di kawasan hutan yang mencapai Rp 15,9 triliun per tahun di Kalimantan, Sumatera dan Papua. KPK juga mencatat potensi penerimaan perizinan yang mencapai sekitar Rp 28,5 triliun, serta adanya kelemahan dalam sistem kontrol penerimaan negara.[7]

Data dari Jaga.id[8] mengungkapkan sejumlah permasalahan dalam sektor pertambangan batubara. Salah satu masalah utama adalah akurasi NPWP dan data pendukung, terutama data produksi, dalam perhitungan potensi pajak. Selain itu, terdapat permasalahan terkait multitafsir peraturan perpajakan, serta pengelolaan dan pemanfaatan data perpajakan, pengawasan wajib pajak, dan analisis potensi pajak.

Menurut Kartodihardjo dkk[9] terdapat 7.519 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak, hanya 84% yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sementara sisanya tidak teridentifikasi. Jumlah perusahaan yang memiliki NPWP, hanya 88% yang melaporkan SPT tahunan mereka. Pada tahun 2017, KPK juga mencatat jumlah tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) sebesar Rp 25,5 triliun.

Sektor perkebunan kelapa sawit, ditemukan potensi pajak yang tidak dipungut pemerintah sebesar Rp 18,13 triliun dari potensi pajak Rp 40 triliun, pemerintah hanya berhasil memungut Rp 21,87 triliun akibat rendahnya kepatuhan Wajib Pajak, yaitu 6,3% untuk WP Orang Pribadi dan 46,3% untuk WP Badan.[10] Sedangkan sektor kelautan, potensi Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai Rp 70 triliun per tahun, namun penerimaan negara hanya sebesar Rp 230 miliar per tahun.[11] Perizinan di sektor kehutanan, Litbang KPK pada tahun 2013 menemukan adanya uang suap atau pemerasan yang berkisar antara Rp 688 juta hingga Rp 22,6 miliar per perusahaan per tahun, tergantung pada apakah perusahaan tersebut sedang mengurus perpanjangan izin atau tidak. 

Selama periode 2003-2014, terdapat potensi 77% hingga 81% produksi kayu bulat yang tidak tercatat, menyebabkan kerugian negara antara Rp 5,24 triliun hingga Rp 7,24 triliun per tahun. Konversi hutan melalui Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), potensi kerugian negara mencapai antara Rp 49,8 triliun hingga Rp 66,6 triliun per tahun dalam periode yang sama. Selama 15 tahun dari 1998 hingga 2013, diperkirakan Perum Perhutani kehilangan aset tegakan hutannya sebesar Rp 998 miliar per tahun akibat pelaksanaan Peraturan Menteri BUMN No.100/2002 mengenai pengukuran kinerja BUMN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun