Mohon tunggu...
Farrel Ahmad Syakur
Farrel Ahmad Syakur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Manajemen dan Kebijakan Publik UGM

Mahasiswa fakir ilmu, sugih cinta dan retorika.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengungkap Masa Depan Politik Identitas di Indonesia

18 Januari 2023   10:36 Diperbarui: 18 Januari 2023   14:48 1191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1: Grafik Ms Excel

Pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang diberkahi dengan begitu banyaknya keberagaman yang bertemu dan bersatu dalam kesatuan bangsa Indonesia. Dari sisi demografisnya saja, hasil sensus Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menyebutkan bahwa negara berpopulasi terbesar keempat di dunia ini memiliki setidaknya 1.331 suku bangsa, 2.500 jenis bahasa, dan 6 agama resmi beserta kepercayaan-kepercayaan lokal lainnya (BPS, 2010).

Heterogenitas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tersebut memberi pengaruh ke berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, tak terkecuali dalam aspek perpolitikan masyarakat. Dalam kancah politik dan kekuasaan, identitas seperti agama, etnis, suku, ras, dan identitas-identitas lainnya menjadi suatu hal yang esensial bagi suatu kelompok untuk menaikkan insentif kelompoknya hingga menjadi lebih mendominasi dibanding kelompok lain, terutama dalam konteks masyarakat multikultural (Ihsan, A. Bakir, 2020). Keragaman identitas-identitas yang terbentuk dalam masyarakat multikultural tersebut (agama, etnis, suku) turut mempengaruhi preferensi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya dalam kontestasi pemilihan umum, dan akhirnya menyuburkan sesuatu yang dinamakan politik identitas.

Secara teoritis, definisi dari politik identitas adalah sebuah strategi politik pragmatis yang memfokuskan diri pada penggunaan unsur identitas sebagai alat untuk membedakan antar satu kelompok/golongan dengan yang lain untuk mencapai tujuan politik (Lestari, 2019). 

Politik identitas sendiri memiliki suatu potensi ancaman bagi keberagaman yang ada di dalam negara multikultural seperti Indonesia. Ancaman tersebut disebabkan oleh adanya penggunaan prinsip logika "oposisi biner" dalam strategi politik identitas, yaitu logika yang menerapkan pola "superior-inferior" dengan menempatkan identitasnya sebagai golongan dominan dan menempatkan golongan lain sebagai golongan marjinal, bahkan musuh. (Maarif, 2010)

Melihat eksistensi potensi ancaman dari politik identitas terhadap masa depan multikulturalisme bangsa Indonesia, diperlukan suatu kajian untuk melihat dan memperkirakan masa depan dari eksistensi strategi politik identitas dalam dinamika politik Indonesia kedepannya. Untuk itu, studi ini dilakukan untuk menganalisis persepsi kalangan mahasiswa dan pemilih muda terhadap politik identitas dan mencoba untuk memprediksi tren penggunaan strategi tersebut kedepannya. 

Pemilihan mahasiswa dan pemilih muda sebagai subjek penelitian didasari pada keinginan untuk melihat persepsi dan sentimen dari kalangan muda berpendidikan yang diasumsikan dapat membawa berbagai gagasan dan pola pikir baru terhadap politik identitas yang merupakan strategi-strategi lama.

Metode Penelitian

Studi penelitian ini menggunakan pendekatan campuran antara metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan melalui metode survei dengan menyebarkan kuesioner secara daring melalui platform digital, survei ini ditujukan untuk melihat data preferensi responden secara numerik. Untuk mendapatkan analisis kualitatif dari data numerik tersebut, penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif dalam bentuk studi pustaka dan wawancara yang dilakukan kepada beberapa responden yang terpilih untuk mendapatkan analisis deskriptif dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di kuesioner.

Hasil Penelitian

Untuk melihat dan memprediksi masa depan dari kelangsungan politik identitas dalam sistem politik kontemporer Indonesia, diperlukan riset terhadap anak-anak generasi muda mengenai persepsi dan preferensinya mengenai politik identitas itu sendiri. Dalam penelitian ini, telah dilakukan survei yang menarget responden dari kalangan mahasiswa dari berbagai fakultas dan universitas di Yogyakarta.

Indikator pertama untuk mengkaji preferensi politik identitas di kalangan mahasiswa adalah tingkat pemahaman dan pengetahuan dasar mahasiswa mengenai konsep politik identitas. Berdasarkan hasil survei, terlihat bahwa kalangan mahasiswa saat ini sudah cukup familiar dengan konsep politik identitas.  Hal itu terlihat dari dominasi jumlah responden yang mengaku cukup paham yakni sebesar 77,1% suara, disusul dengan 20% responden yang mengaku kurang paham, dan terdapat 2,9% atau satu responden yang mengaku sangat paham dan menguasai konsep politik identitas. Tingginya pemahaman mahasiswa terkait politik identitas ini sangatlah dipengaruhi oleh pemberitaan media, khususnya media sosial. Tingginya pemberitaan dan kampanye-kampanye berbasis politik identitas di media sosial pada tahun-tahun politik yang lalu berdampak pada terpaparnya anak muda mengenai konsep  politik identitas.

Lebih lanjut, dari cuplikan pendapat singkat pada survei yang telah dilakukan, didapati bahwa terdapat beberapa kata yang sering muncul dalam persepsi mahasiswa mengenai definisi politik identitas. Dari 30 pendapat yang masuk, terdapat kata "Alat/Strategi/Cara" yang muncul sebanyak 12 kali. Selanjutnya, ada juga kata "Sama/Persamaan/Kesamaan" yang muncul berulang sebanyak 8 kali. Dalam survei ini juga, didapati bahwa konsep identitas banyak dipersepsikan oleh mahasiswa sebagai istilah-istilah yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) dengan kemunculan kata terkait sebanyak 18 kata. Jadi, persepsi mahasiswa mengenai politik identitas dapat didefinisikan sebagai suatu alat atau strategi politik yang memanfaatkan atau mengeksploitasi persamaan dalam unsur-unsur identitas seperti suku, agama, ras dan golongan (SARA) sebagai upayanya dalam meraih kepentingan politik.

Gambar 2: Grafik Ms Excel
Gambar 2: Grafik Ms Excel

Beranjak ke indikator yang selanjutnya, yaitu keberpihakan moral mahasiswa terkait fenomena politik identitas. Dari data yang diambil dari survei, didapati bahwa sebagian besar mahasiswa berpandangan kontra terhadap penggunaan politik identitas pada kontestasi politik, dengan rincian 45,7% tidak setuju dan 14,3% sangat tidak setuju. Dari hasil wawancara lebih lanjut, ditemukan bahwa alasan-alasan ketidaksetujuan terhadap politik identitas yang sering muncul adalah anggapan bahwa politik identitas menurunkan kualitas demokrasi dan rasionalitas pemilih, memecah belah masyarakat ke dalam polarisasi kelompok in-group dan out-group, serta memunculkan sentimen negatif terhadap kelompok-kelompok out-group yang dapat berpotensi menimbulkan konflik lebih lanjut. 

Meskipun begitu, terdapat 28,6% kalangan mahasiswa yang berpandangan netral terhadap politik identitas, kalangan yang berpandangan netral ini melihat politik identitas hanya sebagai salah satu variasi alat dalam politik yang tidak bernilai baik maupun buruk. Selain itu, terdapat juga 11,4% kalangan mahasiswa yang setuju terhadap penggunaan politik identitas. Dari hasil wawancara, ditemukan bahwa kalangan yang setuju terhadap politik identitas ini beralasan bahwa politik identitas dapat menciptakan suatu homogenitas gerakan dari kelompok yang menang, yang homogenitas itu nantinya menciptakan stabilitas yang mendukung terjadinya proses pembangunan.

Gambar 3: Grafik Ms Excel
Gambar 3: Grafik Ms Excel

Setelah mengetahui keberpihakan mahasiswa, indikator yang selanjutnya adalah bagaimana perspektif mahasiswa mengenai kelangsungan politik identitas dalam dinamika politik di Indonesia. Dari data survei, terlihat tidak ada terlalu banyak perubahan yang signifikan. Mayoritas mahasiswa masih tetap kontra terhadap kelangsungan dan pelanggengan politik identitas, dengan rincian persentase yang sama yakni 45,7% tidak setuju dan 14,3% sangat tidak setuju. Kalangan kontra ini berpandangan bahwa politik identitas merupakan narasi yang kontraproduktif dan oleh sebab itu perlu diadakan pengalihan kepada narasi-narasi yang lebih substantif seperti kapabilitas, visi/misi, serta program-program konkret dari kandidat terkait isu-isu urgen seperti permasalahan hukum, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. 

Akan tetapi, terdapat perubahan yang menarik dari indikator ini, yaitu eskalasi suara pro/setuju mahasiswa terhadap kelangsungan dan pelanggengan politik identitas menjadi sebesar 25,7%. Dari hasil wawancara lebih lanjut, didapati bahwa peningkatan terhadap suara pro/setuju ini disebabkan oleh pandangan para mahasiswa yang melihat politik identitas sebagai suatu realitas politik yang sulit untuk diubah di Indonesia, didukung oleh kecenderungan politik masyarakat yang masih irasional serta faktor kultur dari institusi partai politik itu sendiri yang masih lekat dengan iklim identitas.

Gambar 4: Grafik Ms Excel
Gambar 4: Grafik Ms Excel

Setelah mengetahui berbagai perspektif mahasiswa mengenai politik identitas, diperlukan pertanyaan lebih lanjut dan mendetail terkait preferensi politik mahasiswa secara spesifik. Dari data survei, didapati bahwa preferensi politik terbesar dari kalangan mahasiswa adalah visi/misi/program kerja kandidat dengan persentase 91,4%, disusul oleh citra atau personal branding yang dibangun kandidat dengan persentase 74,3%,  selanjutnya di posisi ketiga terdapat partai politik atau koalisi partai politik pengusung dengan persentase 31,4%,  serta preferensi agama/ideologi sebagai preferensi yang terkait dengan politik identitas menjadi preferensi urutan keempat dengan persentase 22,9%. Lalu terdapat preferensi non-opsional berupa track record kepemimpinan kandidat yang dipilih oleh 1 orang. 

Dari data tersebut, terlihat bahwa preferensi politik mahasiswa saat ini lebih cenderung mengarah ke indikator-indikator rasional dan positivis dibanding preferensi-preferensi politik identitas. Bahkan, dari data tersebut terlihat bahwa identitas etnis, kesukuan dan asal daerah benar-benar terabaikan dan tidak berpengaruh lagi terhadap preferensi politik di kalangan mahasiswa. Berbeda halnya dengan indikator identitas seperti agama dan ideologi yang masih memiliki pengaruh bagi preferensi politik mahasiswa, walaupun persentasenya cukup kecil dibanding indikator-indikator positivis lainnya.

Refleksi Teoritis

Kontestasi antara kekuatan politik beridentitaskan agama dengan konsep demokrasi pluralis telah menjadi suatu fenomena menarik pada sistem sosial dan politik kontemporer, terutama di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia. Kontestasi antara dua hal tersebut mengalami eskalasi signifikan semenjak runtuhnya rezim orde baru dan dibukanya keran demokrasi yang selama ini terkekang oleh kekuasaan Soeharto. 

Terbukanya keran demokrasi ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bebas mengekspresikan dirinya dalam setiap aspek kehidupan, tak terkecuali dalam hal preferensi politik yang sebelumnya berusaha untuk dikungkung oleh rezim orba. Dengan adanya kebebasan preferensi itulah, identitas sosial dan politik identitas mendapatkan momentumnya untuk mencuat kembali dalam kontestasi politik Indonesia.

Sebelum membahas lebih dalam mengenai politik identitas, konsep yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah konsep identitas. Dalam ilmu sosiologi sendiri, identitas adalah struktur keanggotaan seperangkat individu dalam suatu kelompok yang mengidentifikasikan dirinya atas kesamaan-kesamaan ciri, golongan dan peran sosial (Lestari, 2019). Dalam konsep identitas sosial, orang-orang yang mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu bersama-sama melabeli mereka ke dalam kelompok in-group, sedangkan orang-orang yang berbeda dikategorikan sebagai kelompok out-group (Maukar, 2013). 

Dalam konsep identitas sosial tersebut, muncullah politik identitas sebagai manifestasi identitas di bidang politik. Menurut Agnes Haller, politik identitas adalah suatu konsepsi dan gerakan politik yang memfokuskan perhatiannya kepada pembedaan-pembedaan (berdasarkan unsur identitas) sebagai pengkategorian utama dalam politik. (Habibi, 2017)

Di sistem politik kontemporer Indonesia, konsepsi politik identitas ini kian menunjukkan taring pengaruhnya bahkan hingga ke generasi-generasi muda. Dalam hal ini, demokrasi digital dan platform media sosial menjadi aktor utama penyebaran konsepsi tersebut ke generasi muda. Kebebasan beraspirasi yang ditawarkan oleh demokrasi digital 4.0 ini menjadi lahan yang sangat potensial untuk menyebarkan atau menggiring isu-isu identitas hingga terangkat ke ruang publik digital lewat platform media sosial (Soenjoto, 2019). Begitu masifnya eksploitasi isu politik identitas di media sosial itu pun akhirnya menyebabkan adanya peningkatan awareness para generasi muda mengenai isu politik identitas tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya dimana 77,1% kalangan mahasiswa mengaku cukup memahami konsep politik identitas.

Menariknya, meskipun para generasi muda mendapatkan paparan isu politik identitas secara masif di sosial media, persepsi dan keberpihakan kalangan generasi muda khususnya mahasiswa ternyata tetaplah kontra terhadap politik identitas tersebut. Para generasi muda dan mahasiswa ini berpandangan bahwa politik identitas merupakan suatu ancaman bagi multikulturalisme bangsa Indonesia karena adanya polarisasi masyarakat ke kelompok-kelompok in-group dan out-group. Pandangan tersebut diamini oleh teori identitas sosial. Dalam teori identitas sosial, dikenal suatu konsep bernama in-group favoritism dimana seseorang cenderung melakukan tindakan dan perilaku positif terhadap kelompok in-group mereka serta sebaliknya melakukan perilaku negatif diskriminatif terhadap kelompok out-group (Corneliya Saba, 2018). 

Pola in-group favoritism ini terlihat jelas dalam dinamika politik identitas di Indonesia dimana para masyarakat dan aktor politik cenderung untuk bersikap positif terhadap kandidat yang seidentitas dan bersikap negatif terhadap kandidat yang dipandang tidak seidentitas dengan mereka. Pola-pola intoleransi destruktif tersebut sepertinya terbaca oleh kalangan mahasiswa dan pemilih muda yang akhirnya menjadikan mereka skeptis terhadap strategi politik identitas.

Lebih lanjut, apabila dikaji dari teori voting behavior atau tiga model perilaku pemilih milik Dennis Kavanagh, pola preferensi politik di kalangan generasi muda khususnya mahasiswa saat ini mengarah kepada model pendekatan rasional dan psikologis dibandingkan pertimbangan-pertimbangan sosio-kultural. Dalam konsep voting behavior, dijelaskan bahwa terdapat tiga model pendekatan dalam perilaku pemilih. 

Pertama, pendekatan sosiologis dimana perilaku memilih seseorang ditentukan berdasarkan faktor-faktor sosial dan ekonomi seperti daerah tempat tinggal, jenis kelamin, pekerjaan, dan afiliasi-afiliasi terhadap identitas sosial lainnya. Kedua, pendekatan psikologis dimana perilaku memilih seseorang ditentukan berdasarkan faktor-faktor psikologis seperti rasa keterikatan emosional terhadap suatu partai politik dan orientasi individu terhadap persona seorang kandidat. Ketiga, pendekatan rasional dimana perilaku memilih seseorang ditentukan berdasarkan perhitungan-perhitungan ekonomis terhadap dampak/pengaruh yang didapat ketika memilih suatu kandidat. Contohnya adalah perhitungan keberdampakan yang dirasakan individu dari program kerja yang ditawarkan kandidat (Khasanah, 2016). 

Dari tiga pendekatan voting behavior tersebut, dapat dilihat bahwa hasil survey studi ini menunjukkan bahwa preferensi politik kalangan mahasiswa lebih mengarah pada pendekatan rasional (91,4% visi/misi/program kerja) dan pendekatan psikologis (74,3% citra kandidat dan 31,4% parpol/koalisi parpol pendukung). Sementara itu, pendekatan-pendekatan sosiologis yang dibawa oleh politik identitas mulai ditinggalkan oleh generasi muda khususnya kalangan mahasiswa, dengan faktor agama/ideologi hanya dipilih sekitar 22,9% dan faktor etnis/suku sebesar 0% atau tidak dipilih sama sekali.

Penutup

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang sangat heterogen dan multikultural. Dari heterogenitas tersebut, Indonesia memiliki identitas sosial yang beragam pula. Di sistem perpolitikan era kontemporer saat ini, identitas sosial tersebut seringkali dieksploitasi dan dipolitisasi dalam bentuk politik identitas. Eksploitasi politik identitas ini menjadi semakin masif seiring dengan demokratisasi dan perkembangan teknologi internet dan sosial media.

Secara substansi, politik identitas ini dapat berpotensi membahayakan multikulturalisme di Indonesia karena prinsip oposisi biner dan polarisasi kelompok in-group out-group. Beruntungnya, kalangan mahasiswa sebagai kalangan terpelajar saat ini sudah menyadari akan hal tersebut. Mayoritas kalangan mahasiswa dalam penelitian ini menunjukkan keberpihakan kontra terhadap adanya politik identitas dan tidak setuju terhadap adanya pelanggengan eksploitasi isu politik identitas dalam dinamika politik nasional.

Lebih lanjut, preferensi politik bagi mahasiswa saat ini cenderung mengarah ke pertimbangan-pertimbangan rasional dan psikologis dibanding pertimbangan-pertimbangan sosiologis seperti afiliasi identitas sosial. Dengan adanya temuan tersebut, diharapkan arah perpolitikan masyarakat Indonesia kedepannya akan menjadi lebih rasional dan substantif sehingga demokrasi di Indonesia akan lebih berkualitas dan inklusif terhadap kondisi masyarakat yang multikultural.

Referensi

Corneliya Saba, C. (2018). HUBUNGAN ANTARA IDENTITAS SOSIAL DENGAN PRASANGKA TERHADAP PEMIMPIN YANG BERBEDA ETNIS.

Habibi, M. (2017). Identity Politics in Indonesia. March, 1--23. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.16590.66887

Ihsan, A. Bakir,  dan C. N. (2020). Agama, Negara, dan Masyarakat. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/54438?mode=full

Khasanah, N. (2016). Faktor-Faktor psikologis voting behavior pemilih pemula. 8--22.

Lestari, D. (2019). Pilkada DKI Jakarta 2017: Dinamika Politik Identitas di Indonesia. JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 4(4), 12--16. https://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JUPE/article/view/677

Maarif, A. S. (2010). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia. Politik Identitas Dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, 3--30.

Maukar, D. . (2013). Hubungan Konformitas Remaja dan Identitas Sosial dengan Brand Loyalty Pada Merk Starbucks Coffee Surabaya. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(2), 1--15.

Soenjoto, W. P. P. (2019). Eksploitasi Isu Politik Identitas terhadap Identitas Politik pada Generasi Milineal Indonesia di Era 4.0. Journal of Islamic Studies and Humanities, 4(2), 187--217. https://doi.org/10.21580/jish.42.5223

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun