Pengertian Ila'
Secara bahasa, kata Ila' berasal dari kata ala-yu'li, yang berarti 'sumpah'. Seperti halnya zhihar, Ila' merupakan bagian dari talak yang digunakan pada zaman Jahiliyah. Secara terminologis, Ila' adalah sumpahnya suami untuk tidak menggauli atau mendekati istrinya secara mutlak atau lebih dari empat bulan dengan tujuan untuk menyakiti istri, dan merendahkan keperempuanannya, hingga berpisah tempat tidur, menaruh kebencian, dan tidak memberinya (istri) hak-hak yang disyariatkan. Jadi, Ila' dapat didefinisikan sebagai tindakan seorang suami terhadap istrinya dengan bersumpah atas nama Allah untuk tidak menggaulinya selama lebih dari empat bulan.
Rukun Ila'
Menurut Mazhab Hanafi, rukun Ila' adalah sumpah untuk tidak mendekati istrinya dalam beberapa masa, meskipun suami adalah ahli dzimmah. Ila' bisa terlaksana baik dalam kondisi rela maupun dalam kondisi marah.
Menurut Jumhur Fuqaha, Ila' memiliki empat rukun, yaitu:
1. al-haalif (orang yang bersumpah),
2. al-muhluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah),
3. al-mahluuf 'alaih (objek sumpah), dan
4. muddah atau massa (tempo waktu).
Ila' memiliki sharih dan kinayah, seperti halnya talak. Ungkapan sharih misalnya, "Demi Allah, saya tidak akan menjimakmu selama lima bulan," dan ungkapan Ila', "Demi Allah, saya tidak akan menyentuhmu selama satu tahun," keduanya harus disertai dengan niat, layaknya ungkapan kinayah.
Sebelum kedatangan Islam, orang Arab sering menggunakan Ila' untuk menyengsarakan istri. Caranya mereka bersumpah untuk tidak mendekati istri mereka dalam waktu kurang dari satu tahun. Ketetapan Ila' diubah dan diposisikan sebagai sumpah selama waktu paling lama empat bulan setelah kedatangan Islam. Jika seorang suami kembali kepada istrinya sebelum waktu tersebut (empat bulan), maka ia dianggap melanggar sumpah dan harus membayar kifarat (denda) atas sumpahnya. Selama sumpahnya menggunakan nama atau sifat-sifat Allah, suami tersebut dianggap melanggar sumpah.
Sebagaimana dinyatakan dalam Surat al-Baqarah [2]: 226, "Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Ini adalah perubahan yang dimaksudkan. Karena itu, siapa pun yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu kurang dari empat bulan tidak termasuk dalam Ila'.
Syarat Ila'
Syarat utama yang harus dipenuhi agar Ila' sah, yaitu:
a. Suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya:Â Objek sumpahnya adalah bersenggama dengan faraj istrinya selama lebih dari empat bulan; dan wanita itu tetap berstatus istrinya, meskipun secara hukum dalam masa Iddah.
b. Syarat suami: Beragama Islam, mampu dan cakap melakukan thalak (baligh dan berakal), dan mampu atau sanggup melakukan hubungan persetubuhan.
c. Syarat istri: Wanita harus tetap sah sebagai istri, meskipun dalam masa Iddah dan tidak dalam masa menyusukan bayi.
d. Syarat sighat sumpah: Memakai salah satu nama atau sifat Allah secara khusus untuk melakukan persetubuhan, dan tidak melibatkan wanita selain istri.
e. Syarat al-mahlu alaih: Objek sumpah (suami) tidak boleh melakukan persetubuhan pada istri.
f. Syarat jangka waktu Ila':Â Menurut ulama Mazhab Hanafi, jangka waktu Ila' adalah empat bulan, sedangkan menurut Jumhur jangka waktu Ila' itu lebih dari empat bulan.
Hukum Ila'
Dua hukum utama terkait Ila', yaitu:
1. Hukum Ukhrawi: Jika suami kembali mencampuri istrinya sebelum habis masa menunggu hukum sumpahnya, yang ditentukan dalam sumpah Ila',maka Allah akan menerima taubatnya dan mengampuninya. Ini menunjukkan bahwa ila' memberikan kesempatan bagi suami untuk memperbaiki kesalahan dan memperbaiki hubungan dengan istrinya tanpa mengakibatkan talak.
2. Hukum Duniawi: Jika suami tidak memenuhi sumpahnya dan tidak kembali mencampuri istrinya dalam jangka waktu yang ditentukan, maka istri berhak untuk menuntut cerai. Ini menunjukkan bahwa Ila' memiliki implikasi hukum yang signifikan jika tidak dipatuhi, termasuk potensi perceraian.
Menurut jumhur ulama, hukum Ila' dianggap haram karena menyengsarakan istri dan membiarkan kewajiban suami. Pasalnya, dengan Ila' suami tidak boleh menceraikan atau mencampuri istrinya. Padahal, syariat sendiri telah mengajarkan cara yang tepat untuk rujuk dan cerai,"Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik pula,"Â (QS. al-Baqarah: 229).
Sebab Terjadinya Ila'
a. Mengurangi Tenggang Waktu: Ila' dapat dianggap sebagai cara untuk mengurangi tenggang waktu yang mungkin terjadi antara suami dan istri dalam hubungan mereka. Sumpah ini menunjukkan komitmen suami untuk tidak mendekati istrinya dalam jangka waktu tertentu, memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki hubungan atau mempertimbangkan opsi lain seperti talak.
b. Menghindari Kesalahpahaman: Ila' juga dapat dianggap sebagai upaya untuk menghindari kesalahpahaman atau konflik yang mungkin timbul dari hubungan seksual yang tidak terencana atau tidak diinginkan. Suami dan istri dapat berdiskusi dan mencapai pemahaman yang lebih baik tentang harapan dan batasan satu sama lain dengan menunda atau menghentikan hubungan.
c. Menghormati Hak dan Keinginan Istri: Suami mungkin memutuskan untuk melakukan Ila' sebagai tanda penghargaan dan penghormatan terhadap hak dan keinginan istri. Ini dapat menunjukkan bahwa suami menghargai keinginan istri dan berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan dan ekspektasi mereka.
d. Mengurangi Risiko Kehamilan: Suami mungkin memilih untuk melakukan Ila' untuk mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan. Ini menjadi pertimbangan penting dalam hubungan suami-istri, terutama jika mereka berencana untuk menunda atau menghindari kehamilan.
e. Menghormati Batas-batas Agama: Ila' juga dapat dianggap sebagai cara untuk menghormati batas-batas agama dan moralitas dalam hubungan suami-istri. Dengan menunda atau menghentikan hubungan seksual, suami dan istri dapat menjaga integritas dan nilai-nilai agama dalam hubungan mereka.
Akibat Hukum Ila'
* Suami tidak boleh menggauli istrinya dalam masa sesudah ucapan Ila'. Bila dilakukannya hal tersebut baik secara sengaja atau tidak, maka suami telah keluar dari Ila'nya. Dengan demikian, dia telah melanggar sumpahnya, yaitu dia harus memberi makan atau pakaian untuk sepuluh orang miskin, atau memerdekakan hamba sahaya (budak). Jika salah satu dari tiga hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka dia harus berpuasa selama tiga hari.
Hal ini sesuai ketentuan Allah pada surat al-Maidah Ayat 89 yang artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka kifarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari, yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar), dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)".
* Bila habis masa empat bulan, dan suami tidak kembali kepada istrinya, istri memiliki hak untuk menentukan sikap. Jika dia tidak keberatan, dia tidak perlu mengajukan perkaranya ke pengadilan (hakim), tetapi jika dia tidak menerima kenyataan itu, dia memiliki hak untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan (hakim).
* Setelah habis masa empat bulan waktu yang ditentukan hakim, dia memutuskan bahwa suami harus kembali kepada istrinya dengan membayar kifarat. Jika suami berkenan untuk kembali dan mampu melakukannya, dia harus kembali dengan cara menggauli istrinya. Namun, jika dia tidak dapat melakukannya secara fisik pada saat itu, dia cukup kembali dengan ucapan bahwa dia siap kembali kepada istrinya setelah semua hambatan yang menghalanginya hilang.
* Bila suami tidak berkenan untuk kembali karena hal yang rasional sedangkan dia mampu untuk menggauli istrinya, maka hakim menyuruh suami untuk men-thalaq istrinya. Jika suami menyatakan thalaq terhadap istrinya berlakulah talak raj'i sesuai jumlah yang ditetapkan satu atau dua.
Jika langkah-langkah diatas telah dilakukan, namun suami tetap diam, ada beberapa pendapat ulama tentang apa yang harus dilakukan setelahnya, antara lain:
1. Hakim berhak menceraikannya dalam kedudukan sebagai hakim dalam bentuk fasakh jika suami tidak kembali atau tidak mau kembali setelah empat bulan dan tidak pula menceraikannya. Pendapat ini dikemukakan oleh satu pendapat Imam al-Syafi'i, satu riwayat dari Imam Ahmad, dan sebagian ulama Hanafiyah.
2. Hakim tidak dapat menceraikan suami dari istrinya selain hanya memaksa, bahkan dapat memenjarakan suami sampai dia membuat keputusan antara kembali pada istrinya atau menceraikannya. Pendapat ini dikemukakan oleh satu pendapat Imam Syafi'i, Zhahiriyah, dan Imamiyah dengan alasan karena ayat urusan cerai itu dikembalikan kepada suami, bukan kepada hakim.
Mengenai bentuk perceraian karena Ila', para ulama berbeda pendapat, yakni:
1. Talak Raj'i, jika yang menjatuhkan talak adalah suami.
2. Talak Ba'in, jika perceraian itu dilakukan oleh hakim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H