Mohon tunggu...
Farobi Fatkhurridho
Farobi Fatkhurridho Mohon Tunggu... Freelancer - Saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Sudah saya bilang, saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surilah

3 Januari 2021   22:38 Diperbarui: 3 Januari 2021   23:12 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surilah

Kodrat belum mati, bahkan dua hari yang lalu ia masih sempat menyiksa tetangganya. Kodrat menggoyang dan mengoyak-oyak tubuh seorang remaja. Melemparkannya ke tanah dengan tenaga lalu bola mata remaja itu dicopot dan dikunyah tepat di hadapan wajahnya sambil senyum-senyum melihat prosesi pemakaman bapak si remaja tersebut. Setelah itu Kodrat berbisik ke remaja yang sedang kesakitan dan terlentang itu.

"Kamu sudah tidak bisa melihat bapakmu lagi"

"Aaaaaaa, toloong, toloong!!"

Si remaja menjerit kesakitan dan berteriak minta tolong namun tidak ada yang mendekat. Orang-orang hanya lewat, berkerumun sejenak sambil pura-pura melengos seperti sama sekali tidak terjadi sesuatu yang serius.

Kodrat berhenti mengunyah karena teriakan dan rengekan dari si remaja ini sangat mengganggu. Lalu ia mengembalikan salah satu bola mata remaja ini ke tempat semula, dan satu bola mata lain yang tengah Kodrat koyak juga dikembalikan. Kodrat memuntahkannya tepat di rongga mata si remaja ini, karena berantakan ia coba ratakan dan ditekan-tekan menggunakan jari-jarinya lalu darah terus mengalir dengan deras.

Kodrat meninggalkan si remaja tergeletak di tanah tanpa sekalipun menengok balik. Ia tidak khawatir, apalagi ketar-ketir karena perbuatannya. Ia anggap apa yang barusan ia lakukan merupakan perbuatan terpuji yang tidak memerlukan pujian dari sesiapapun. Kodrat terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun dan menghilang di persimpangan gang Cendrawasih IV dimana rumah si remaja tepat di sebelah kanan persimpangan apabila dilihat dari arah timur.

Remaja itu tidak tahu kemana Kodrat pergi, ia tidak bisa melihatnya lagi karena ia memang sudah tidak bisa melihat apapun kecuali gelap dan rasa sakit yang berlebihan. Si remaja tidak bergerak masih terlentang diatas tanah berjarak seratus meter dari kuburan bapaknya dan lima puluh meter dari rumahnya. Kurang lebih sudah dua jam remaja itu tidak bergerak, ia masih bernafas namun hanya sengaja tidak bergerak.

Sekali dua ia sesenggukkan hasil sisa menangisnya beberapa saat sebelumnya, perlahan ia menahan rasa sakit yang luar biasa. Kepalan tangannya sudah tidak lagi menghalangi, sinar matahari langsung menembus ke rongga matanya yang berlendir dan merah daging.

Si remaja kini tak tahu lagi bedanya melek dan merem, meskipun seketika jadi lembek kelopaknya masih bisa bergerak tapi tidak untuk melindungi ataupun menutup apapun. Remukan bola mata sebelah kanannya ia buang dari rongga matanya yang bolong. Ia tidak peduli lagi, berkat Kodrat remaja ini tidak akan melihat wajah bapaknya lagi yang telah mati.

Kodrat belum mati, bagaimana ia bisa mati kalau kematian itu adalah dirinya. Ia hidup tapi tembus benda mati, ia mati namun belum juga rela.

"Remaja itu akan baik-baik saja, ia akan menjalani kehidupannya seperti semula meskipun tanpa mata." Ucap Kodrat kepada kepala wanita dengan jeroan terurai terbang. Halimun mengepul menutup bingkai, Kodrat bergegas pulang.

*

...

Surilang njot-njotan

Burung dara burung merpati
Burung dara burung merpati
Terbang melayang tinggi di awan
Hei sayang di sayang

...

"Awas ada Surilah, kalo dicubit pipimu berdarah!!"

Warga sekitar alun-alun Ajibarang menyingkirkan anak-anak mereka dari cubitan Surilah yang mematikan. Ia diabaikan, Surilah selalu duduk-duduk saja setiap jam dua belas siang sampai adzan ashar berkumandang. Tempat duduknya tidak pernah berubah, selalu di atas batas toko yang disemen di sebelah wadah rotan penyimpanan arang yang baunya khas. Tempat itu tepat di ujung gang kecil di mana anak-anak sering berlarian sehabis pulang sekolah, mungkin Surilah hanya ingin melihat anak-anak pulang sekolah dan mencubit pipi gemas mereka.

Anak-anak ini berlarian menghindari Surilah yang hanya duduk terdiam dan seakan malas mengejar anak-anak yang kepalang takut ini, semua berhamburan dengan rasa was-was namun masih sempat meledek "Surilah njot-enjotan wlee wlee wleeee...". Surilah mengabaikan mereka. Kodrat tepat berdiri di depan Surilah yang sedang duduk lesu, Kodrat tidak mencoba untuk berlari ataupun menghindar seperti teman-temannya.

"Drat! Gi ngapa kowe, awas diciwit Surilahh!" Begitu teriakan teman-temannya dengan khawatir melihat Kodrat.

Tanpa rasa takut dan bergeming sedikitpun Kodrat begitu dekat dengan Surilah, anak-anak yang lain memandang Kodrat seakan mendekati kematian.

"Adahh Addahh, Cocoteee, Drat!"

Kodrat tidak memedulikan teriakan teman-temannya, ia makin mendekat dan tepat di depan wajah Surilah. Surilah diam saja tidak seperti biasanya, ia juga melihat tepat lurus ke dalam kelopak mata Kodrat dengan pandangan kosong. Tak diduga tangan Kodrat yang mungil menuju pipi kanan Surilah yang keriput, Kodrat menyentuh pipi Surilah dan mengusapnya tiga kali. Seketika itu Surilah tersenyum melihat wajah Kodrat yang polos, Surilah tersenyum sampai gusinya nampak penuh dengan liur merah sehabis menginang.

Sejenak sebelum Kodrat membalas senyum Surilah, tangan Surilah sudah lebih dulu meraih pipi Kodrat dan mencubitnya sangat keras dengan cubitan kecil yang melukai kulit pipi anak kelas lima SD itu. Surilah mencubit Kodrat sambil tertawa lepas, ia tidak mengucapkan apapun, Kodrat seketika menangis meraung kesakitan tapi tidak bisa melepaskan diri dari cubitan Surilah. Surilah tentu saja tidak menghiraukan tangisan bocah itu dan mencubitnya semakin keras sampai pipi Kodrat berdarah.

"Ahahahhahaaaa hahahahahaaa cah bagus bocah baguss..." Surilah tertawa gembira sambil bersenandung. Saat itu Surilah benar-benar gembira.

Kurang lebih lima belas detik kejadian itu yang merupakan mimpi buruk bagi Kodrat seumur hidupnya, setelah selesai mencubit pipi Kodrat Surilah tidak begitu saja melepaskan bocah ini berlari kabur bersama teman-temannya. Pipi Kodrat yang berdarah diciumi oleh Surilah yang hampir tidak memiliki gigi, Surilah menciumi pipi kodrat dan menjilatnya dengan penuh liur berwarna merah itu.

"Awwaass, Ngalihlahhh, Emmooohhh, aaaaahhh, Jijihiii, Jijihiii.." Begitu teriak Kodrat memekik sepanjang lorong gang. Saat itu Surilah benar-benar terlihat gembira.

*

Seminggu berlalu dan warga desa mulai melupakan kejadian itu, orang tua Kodrat tidak ambil pusing karena mereka tahu percuma saja mempermasalahkan kejadian yang melibatkan anak-anak dan orang gila. Surilah masih seperti biasa, duduk-duduk sambil mengunyah sisa-sisa daun sirih dalam mulutnya, tidak ada yang memedulikannya. Hanya sudah tidak ada lagi anak-anak yang pulang sekolah melewati gang Surilah, mereka lebih memilih untuk mengambil jalan memutar meski lebih jauh yang penting mereka selamat dari cubitan Surilah.

Kodrat meriyang seminggu lebih. Dibawa ke Puskesmas, ia hanya diberi obat merah untuk mengobati lecet di pipinya yang lugu. Selebihnya adalah sakit-sakit yang tidak terduga, orang tua Kodrat pada awalnya memaklumi hal tersebut, mungkin Kodrat meriyang karena masih ketakutan dengan kejadian yang menimpanya, mungkin juga ia pura-pura meriyang agar tidak berangkat sekolah karena malu dengan teman-temannya.

Meskipun masih ogah-ogahan diajak ngobrol, nafsu makannya tidak berkurang. Itu sedikit banyak disyukuri oleh ibunya yang sudah mulai khawatir dengan keadaan Kodrat.

"Wis lah, Pak. Ngko digawa nggone Ustad Bangi bae.."

"Lah, dablongan nemen nin, mengko tulih mari dewek, Shantai ajee brooww.."

"Ini bocah jelas ditutna, Pak. Mbengi be jere direp-repi Surilah"

"Lah mana ada, wong Surilah be esih urip.."

"Aja nggleweh bae lah, Pak. Melasi, Kodrat itu masih bocah"

"Izyaa leh jan, ora ngepenaki wong njagong retung nin!"

Hari itu juga Kodrat dibawa orang tuanya menemui Ustad Bangi. Katanya biar sembuh Kodrat dirukiah, diberi doa macam-macam, disembur dan diberi sebotol air mineral untuk diminum di rumah sebelum tidur.

Ustad Bangi berkata apabila Kodrat baik-baik saja, tidak ada 'sesuatu' ynag berani mengikuti. Kodrat bahkan memiliki penjaga yang bakal bikin jin-jin lainnya ngibrit ketakutan. Ibu Kodrat mendengarkan ceramah Ustad Bangi dengan seksama dan lambat laun menjadi tenang karena anaknya ternyata baik-baik saja. Sementara bapaknya hanya diam saja sambil mengupas dan mengunyah kacang rebus yang disajikan oleh santri Ustad Bangi.

*

Kodrat berdiri di ujung alun-alun dengan tangan terkepal menghadap ke arah Surilah duduk. Pandangan matanya berapi-api seakan menyimpan dendam yang harus segera dibalas tuntas. Kodrat mengambil batu seukuran kepalan tangannya, berlajan cepat menuju arah Surilah yang menantinya sambil senyam-senyum menyambut kedatangan Kodrat.

Belum sampai lima meter ia berjalan, tiga temannya dengan sigap menarik dan menyeret Kodrat pergi. Batu yang ia genggam terjatuh dan ia tidak berontak diseret pergi oleh teman-temannya. Sekali dua ia menengok ke arah Surilah namun ia tidak lagi menemukan mata Surilah. Surilah mengabaikannya, seakan lupa dengan kejadian beberapa pekan lalu. Dendam Kodrat semakin menjadi-jadi.

Kodrat pulang dengan dendam dan kepalan tangan yang tak kunjung melemas. Tapi kodrat memilih diam, ia anak yang tak begitu doyan ngedumel. Diam-diam ia merencanakan pembalasan dendamnya kepada Surilah, ia berjanji pada dirinya sendiri akan membalas perbuatan Surilah kepadanya.

Waktu adzan subuh warga dikejutkan dengan teriakan Bu Rusmini. Bu Rus yang sedang menuju langgar Pak Sukri untuk segera melaksanakan shalat subuh berjamaah menemukan tubuh Surilah terkapar penuh darah di depan gang. Orang-orang berkerumun, mereka yang terbiasa bangun di siang hari seperti Lik Sito dan teman-teman seperjudiannya akhirnya mendadak melek untuk menyaksikan tubuh wanita tua yang tergeletak itu.

Sampai Surilah dikuburkan tidak ada orang yang tahu apakah ia mati dibunuh atau membentur-benturkan kepalanya sendiri pada sudut tembok yang lancip hingga mati. Namun orang-orang desa tidak memusingkan atas meninggalnya orang gila.

*

Pulang sekolah Kodrat berpisah dengan teman-temannya, ia tidak langsung pulang, ia menuju pemakaman dimana Surilah dikuburkan. Tangannya masih mengepal dendam, dalam hatinya marah dan sedih kenapa bukan ia yang membunuh orang gila itu. Dengan tatapan kosongnya Kodrat dikejutkan dengan kehadiran Lik Sito.

"Dratt, lagi ngapa kowe, ayuh bali?"

"Lik Sito mbengi karo Bapak ya?" sambil berjalan pulang Kodrat polos mencoba berbincang dengan pamannya.

"Lha iya, Nyong karo ramamu butul jam telu neng pos"

"Tapi Bapak nembe kondur pas Kodrat mangkat sekolah, Lik"

"Ya Lilik ora ngerti, Surilah wis mati kowe aja wedi diciwit maning"

Di rumah bapaknya sedang makan siang dengan lauk sambal dan tongkol goreng. Kodrat tidak buru-buru mengambil piring untuk ikut makan bersama bapaknya, sambil melihat ibunya yang sedang sibuk menyetrika baju Kodrat yang belum berganti pakaian duduk di seberang bapaknya yang sedang lahap menyantap makan siangnya.

"Ganti klambi disit nganah, malah plala plolo neng kono" Teriak bapaknya yang nafsu makannya terganggu karena Kodrat memandanginya.

"Jere Lik Sito, bapak mbengi kondur jam telu" tanpa basa-basi Kodrat langsung melontarkan pertanyaan yang membuat tangan Ibunya berhenti menggosok setrikaan dan melirik sejenak.

"Bukan urusanmu, wis nganah ganti klambi terus maem"

"Bapak sing ngantemi Surilah ya!" dan sekali lagi tanpa basa-basi Kodrat membuat Ibunya berhenti menyetrika dan menengok ke arahnya.

"Ngomong apa kowe, sapa sing ngajari ngomong kaya kuwe!" Bapaknya bangkit dari tempat duduk dan dengan gamang menempeleng Kodrat hingga ia tersungkur dan kepalanya menumbuk sudut tembok yang cukup lancip.

"Surilah wong gemblung, nek mati paling dadi turketaplek, ngerti!!"

Pandangan Kodrat seketika kunang-kunang, ia mendengar dengan sayup bapak dan ibunya bertengkar lalu Ibunya mencakar-cakar bapaknya. Setelah itu kabut halimun dengan kuat menutup matanya, ia merasakan diangkat oleh Ibunya dan dibaringkan ke tempat tidurnya.

*

"Bu, Bapak teng pundi? Kodrat emoh kalih Bapak"

"Bu, Kodrat emoh ningali Bapak malih, Bu..."

"Bu??, Buuu??..."

Ibunya tidak menggubris kata-kata dan panggilan Kodrat, Ibunya sibuk membaca surat yasin. Kodrat memandang ke sekitar yang cukup ramai dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang membaca surat yasin serentak. Ia tidak melihat kehadiran bapaknya, ia cukup lega. Ia berjanji untuk segera tumbuh menjadi remaja yang kuat dan membalaskan dendamnya terhadap Surilah dan kejengkelannya terhadap bapaknya.

Kodrat yang tidak digubris oleh ibunya berjalan keluar rumah dan langsung menatap ke lahan pekuburan yang semakin terang. Rumahnya memang tidak jauh dari pemakaman desa kira-kira hanya sekitar seratus lima puluh meter jarak antara rumahnya dan kuburan desa. Di depan pintu gerbang kuburan yang sangat terang ia melihat bapaknya yang melambaikan isyarat ajakan agar Kodrat segera mendekat.

Kodrat yang masih jengkel dengan bapaknya lalu memalingkan muka, ia mengucek-kucek matanya, ia tidak ingin melihat bapaknya yang kasar lagi. Kodrat mengucek-kucek matanya tanpa henti, ia ketagihan mengucek matanya dengan kedua tangannya. Ia mengucek matanya terus-terusan sampai berdarah, lalu banyak air yang keluar dari matanya.

"Aku emoh weruh bapak, Aku emoh weruh bapak, Aku emoh weruh bapak..."

Ia mengucek matanya lebih keras dan lebih kencang lagi, darah bercampur air mata mengalir di pipi Kodrat yang polos. Sekejap Kodrat berhenti ia kesulitan membuka matanya lalu kembali mengucek matanya. Ia kesulitan membuka matanya lalu dengan gemas meraba bola matanya sendiri dan melepasnya dari rongga matanya. Ia tidak bisa melihat apa-apa tapi tangannya masih bisa bergerak, ia memasukkan bola matanya ke mulut dan mengunyahnya. Ia tidak akan lagi bisa melihat bapaknya. Halimun mengepul menutup bingkai, Kodrat bergegas pulang.

...

Surilang njot-njotan

Burung dara burung merpati
Burung dara burung merpati
Terbang melayang tinggi di awan
Hei sayang di sayang

...

 

Farobi Fatkhurridho

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun