"Lah, dablongan nemen nin, mengko tulih mari dewek, Shantai ajee brooww.."
"Ini bocah jelas ditutna, Pak. Mbengi be jere direp-repi Surilah"
"Lah mana ada, wong Surilah be esih urip.."
"Aja nggleweh bae lah, Pak. Melasi, Kodrat itu masih bocah"
"Izyaa leh jan, ora ngepenaki wong njagong retung nin!"
Hari itu juga Kodrat dibawa orang tuanya menemui Ustad Bangi. Katanya biar sembuh Kodrat dirukiah, diberi doa macam-macam, disembur dan diberi sebotol air mineral untuk diminum di rumah sebelum tidur.
Ustad Bangi berkata apabila Kodrat baik-baik saja, tidak ada 'sesuatu' ynag berani mengikuti. Kodrat bahkan memiliki penjaga yang bakal bikin jin-jin lainnya ngibrit ketakutan. Ibu Kodrat mendengarkan ceramah Ustad Bangi dengan seksama dan lambat laun menjadi tenang karena anaknya ternyata baik-baik saja. Sementara bapaknya hanya diam saja sambil mengupas dan mengunyah kacang rebus yang disajikan oleh santri Ustad Bangi.
*
Kodrat berdiri di ujung alun-alun dengan tangan terkepal menghadap ke arah Surilah duduk. Pandangan matanya berapi-api seakan menyimpan dendam yang harus segera dibalas tuntas. Kodrat mengambil batu seukuran kepalan tangannya, berlajan cepat menuju arah Surilah yang menantinya sambil senyam-senyum menyambut kedatangan Kodrat.
Belum sampai lima meter ia berjalan, tiga temannya dengan sigap menarik dan menyeret Kodrat pergi. Batu yang ia genggam terjatuh dan ia tidak berontak diseret pergi oleh teman-temannya. Sekali dua ia menengok ke arah Surilah namun ia tidak lagi menemukan mata Surilah. Surilah mengabaikannya, seakan lupa dengan kejadian beberapa pekan lalu. Dendam Kodrat semakin menjadi-jadi.
Kodrat pulang dengan dendam dan kepalan tangan yang tak kunjung melemas. Tapi kodrat memilih diam, ia anak yang tak begitu doyan ngedumel. Diam-diam ia merencanakan pembalasan dendamnya kepada Surilah, ia berjanji pada dirinya sendiri akan membalas perbuatan Surilah kepadanya.