Mohon tunggu...
Farobi Fatkhurridho
Farobi Fatkhurridho Mohon Tunggu... Freelancer - Saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Sudah saya bilang, saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Samgong

6 Mei 2020   13:22 Diperbarui: 6 Mei 2020   13:35 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mas ini udah 30 dan belum menikah lho!"

"Memangnya kenapa??"

"Mbok ya kasihan Ibu pengin gendong cucu tuh"

"Kalo mau cuma gendong, bayi tetangga masih banyak"

"Ihlahh ngeyel banget dikasih saran"

"Dah mas berangkat sek!"

Aku sampai di balai kota, orang-orang ramai berdatangan mengumpul dan menumpuk membentuk lingkaran yang berlapis-lapis. Bapak-bapak gondrong di tengah dan beberapa orang yang mengenakan seragam adat sedang memanggil-manggil hujan, ada seserahan, boneka, dan beberapa pernak pernik yang mengeluarkan asap.

Memang terhitung dalam 6 bulan terakhir ini belum juga diguyur hujan lebat, mendung hanya bercanda melewati dusun dan petak-petak tanaman padi milik warga. Bagaimana mereka tidak jengkel jika mendung pun hanya datang untuk bercanda.

Sambil menghisap rokok aku berlalu menerobos arak-arakan ritual yang dilaksanakan tepat di depan pintu masuk kantor, teringat harus segera merapihkan beberapa arsip yang sudah 3 hari terbengkalai karena pemberhentian pegawai berkala. Di dalam kantor hanya ada Sumarni yang ternyata datang lebih awal untuk membantu merapihkan berkas, sistem harus tetap berjalan meskipun setiap hari warga mengeluh dan merusak pagar dan pot tanaman hias disini.

Aku sendiri sebenarnya sudah mulai jengkel dengan keadaan, tapi pegawai sepertiku ini hanya bisa taat pada sistem dan bekerja untuk keberlangsungan sistem. Belum lagi isu akan digusurnya lahan desa S untuk keperluan jalan tol, warga semakin mengamuk dan tidak ragu untuk menyerang tempat ini. Adikku satu-satunya masih meneriaki ku setiap pagi, memaksa untuk segera menikah. Aku pikir itu hanya akal-akalannya saja yang sudah kebelet menikah dan tidak enak hati melangkahi abangnya.

Sejujurnya aku tidak peduli, sudah berulang kali aku mempersilahkannya untuk menikah lebih dulu tapi aku terus diserang dengan ocehan mitos dan sentimen tetangga. Lagi pula yang aku tahu mitos ini hanya berlaku untuk kakak perempuan, pun lagi pula ia belum ada 20 tahun, anak sekarang libidonya tinggi-tinggi. Alasannya yang mengatakan bahwa Ibu sudah tidak sabar menggendong cucu sudah mulai basi. Bagaimana mau sempat menggendong cucu, mengatur nafasnya saja Ibu sudah mulai bermasalah. Kenapa semakin kesini semakin banyak orang tidak mau mencoba untuk berpikir realistis.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun