"Seseorang tolong kami !!"
Hentakan kaki terdengar dari arah semak belukar. Mereka adalah unit kesehatan yang telah siap membawa tandu. "Lukamu cukup parah !" ujarnya mengeluarkan P3K. Aku ingin sekali hidup saat itu; pulang, menyapa keluarga, bermain sepak bola, dan membaca koran. Semuanya tampak membosankan, tetapi serangkaian kemewahan kecil itu yang aku nanti, hanya saja aku memilih takdir untuk menyelamatkan orang lain.
"H---hei.." ujarku merintih menahan sakit.
Unit kesehatan itu mengecangkan telinga sambil sibuk menutup pendarahan yang telah terjadi di sekujur dada dan perutku. "K---kalia---an h---harus p---pergi, musuh s---egera datang. Ba---awa temanku ini saja.." ucapku dengan terpatah-patah.
Kesadaranku mulai menghilang. Segenap penglihatan di balik kelopak mata menunjukan kekaburan. Memasuki fase kematian, pikirku, seperti yang dibilang oleh khalayak orang banyak. Momen itu mengingatkan diriku saat hendak berpamitan dari Dojo, saat itu Sensei Akira  sedang sibuk mengasah pedang kesayangannya.
"Jadi kau ingin kembali ke kampung halamanmu ?"
"Benar sensei !" jawabku dengan tegas, melipatkan kaki ke belakang, menaruh tangan di atas paha, dan menundukan kepala.
"Terima kasih atas semuanya !. Seluruh  kebajikan yang telah engkau ajarkan, kelak akan berguna bagiku dan dirimu di masa-masa yang akan datang !"
"Hahahahaha.." Sensei Akira tertawa
"Maafkan aku bila ada salah !" lanjutku.
"Hei.." pukulnya pinggangku dengan sarung pedang