"Kau benar, setiap pria harus punya waktu luang untuk dirinya sendiri. Betul tidak ?"
Kami berdua menghadap memandangi laut yang memantulkan sinar matahari berwarna biru. Sinar itu tidak menyilaukan, mata kami tidak terbelalak, kecuali bibir kami yang tersenyum oleh kecantikan laut itu. "Bagus bukan ?"tanya Sensei Akira. "Yap, lebih baik dari perang" jawab diriku dengan nada terkikih setelahnya. Kami tertawa cukup besar, mengulas beberapa kejadian lucu yang pernah kami rasakan selama di Dojo dulu.
"Jadi setelah ini bagaimana sensei ?" Aku mulai merasakan kalau sebagian diriku akan hilang.
"Ini perbatasan nak. Dunia dan akhirat. Seluruh makhluk hidup akan berkumpul di titik ini, hanya dirimu seorang.." Sensei Akira menoleh menghadap diriku.
"A---aku tidak p---paham" jawabku dengan kikuk
"Keberadaanku disini tidak lebih dari hubungan yang pernah kita jalin sesama makhluk dunia. Kebetulan aku yang duduk disini, bisa saja ayah atau ibumu, mungkin saja komandanmu, tetapi akhirat memilih diriku. Dia berkata 'aku memiliki hutang amal kepada dirimu', aku masih tidak paham memang, mungkin kau tahu jawabannya"
Aku berkontemplasi, merenung, dan melihat kejanggalan kalau prinsip waktu tidak berlaku di alam ini, tiba-tiba langit telah sore berwarna jingga kemerahan. Aku tidak menghiraukan, acuh dan terus menggali maksud dari pernyataan Sensei-ku. "Dor ! Dor !" sekilas ingatanku kembali pada peristiwa di Timor-Timur. Kami berusaha melarikan diri dari para gerilyawan, mereka datang bak seorang tawon di pagi hari kami yang seharusnya tenang dan aman.
Suara dentuman peluru terus berdesing. Pekikan dan tangisan menyertai kedua kubu. Aku melihat temanku yang telah lunglai, terlihat kucuran darah yang merembes dari pangkal pahanya itu. Dia hendak berlari, tetapi keseimbangannya telah hilang. Tubuh yang telah tertatih itu tidak bisa berlari, pikirku. Aku memberanikan diri untuk berlari ke belakang menjemputnya, mengangkat, dan membopongnya di belakang punggungku yang telah dibasahi dengan keringat.
Sialnya situasi berjalan menjadi buruk. Mortir itu datang dan membuat diriku terpingkal ke tanah. Temanku mengeluh kesakitan, aku yang tidak tega melihat penderitaannya yang panjang itu hendak membopongnya kembali, tetapi aku merasakan situasi yang tidak nyaman. Mortir itu tepat mengenai dadaku.
"Hei, kau tidak apa-apa kawan ?"
"Y---ya.." jawabku menahan sakit