Mohon tunggu...
Fariastuti Djafar
Fariastuti Djafar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pembelajar sepanjang hayat, Email:tutidjafar@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mempertanyakan Pembangunan di Perbatasan Kalimantan Barat (Bagian Dua)

13 Januari 2016   07:23 Diperbarui: 13 Januari 2016   07:51 3861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="PPLB Badau, Kecamatan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu"][/caption]

Bagian Satu

Dari tiga Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB)/Pos Lintas Batas Negara (PBLN), Entikong, Aruk dan Badau, PPLB Entikong merupakan PPLB yang paling sibuk. PPLB Entikong paling banyak dilintasi orang dan kendaraan dari luar kecamatan perbatasan (Entikong dan Sekayam).

Lokasi PPLB Entikong, Kabupaten Sanggau (yang berhadapan dengan PPLB Tebedu Sarawak), berada di tengah Kalimantan Barat (Kalbar). PPLB Aruk, Kabupaten Sambas (yang berhadapan dengan PPLB Biawak Sarawak) terletak di lokasi paling utara Kalbar sementara PPLB  Badau Kabupaten Kapuas Hulu (yang berhadapan dengan PPLB Lubok Antu Sarawak) terletak paling timur dari wilayah Kalbar.  

Jarak Pontianak-Entikong (sekitar 310 Km) sebenarnya kurang lebih sama dengan jarak Pontianak-Singkawang-Sambas-Aruk (sekitar 305 Km). Namun, diperlukan waktu sekitar 7 jam  dari Pontianak ke PPLB Entikong dan 12 jam dari Pontianak ke PPLB Aruk. Ini karena dari Pontianak ke PPLB Aruk harus melalui Singkawang (kota terbesar kedua di Kalbar) dan Sambas  sementara lalu lintas pada jalur Pontianak-Singkawang-Sambas relatif padat. Kondisi jalan yang buruk antara Kota Sambas dan Aruk juga lebih panjang dibandingkan antara Pontianak dan Entikong.

Jarak yang paling jauh dari Pontianak adalah PPLB Badau yaitu sekitar 1000 Km untuk jalur Pontianak-Putussibau-Badau. Kondisi jalan yang buruk menyebabkan Badau lebih mudah dicapai dari arah Sarawak dengan jalur udara Pontianak-Kuching (sekitar 30-45 menit) dilanjutkan dengan jalur darat Kuching-Biawak sekitar 2 jam. 

Lalu lintas orang dan kendaraan

PPLB Entikong, Badau dan Aruk setiap hari dibuka pukul 05.00 dan ditutup pukul 17.00 waktu Indonesia barat atau pukul 06.00 dan pukul 18.00 waktu Sarawak. Bis-bis dari beberapa perusahaan angkutan Indonesia dan Malaysia umumnya berangkat awal pagi atau malam. 

Bis pagi berangkat dari Pontianak pada pukul 7 sehingga bisa masuk ke PPLB Entikong dan keluar dari PPLB Tebedu sebelum pintu gerbang ditutup. Bis malam berangkat dari Pontianak sekitar pukul 9 dan tiba di depan PPLB Entikong sekitar pukul 4 pagi. Bis-bis tersebut dan kendaraan lainnya kemudian mengantri untuk masuk ke lokasi PPLB yang dibuka pukul 5 pagi. Setelah keluar dari PPLB Tebedu, perjalanan dilanjutkan menuju Kuching (ibukota Sarawak) dengan waktu sekitar 2 jam.  

 [caption caption="Antrian kendaraan pada waktu subuh, menunggu PPLB Entikong dibuka "]

[/caption]

[caption caption="Bis Indonesia di terminal Kuching Centre, Sarawak"]

[/caption]

Sepanjang 2012, sebanyak 47.888  orang dan 2.695 kendaraan dari Malaysia masuk ke PPLB Entikong sementara sebanyak  49.338 orang dan 2.885 kendaraan keluar dari PPLB Entikong (Kalimantan Barat Dalam Angka 2013). Ini berarti setidaknya rata-rata 135 orang dan 8 kendaraan per hari yang masuk dan keluar dari PPLB Entikong. Kendaraan tersebut termasuk kendaraan yang sama yang pulang pergi Pontianak-Entikong-Tebedu-Kuching dan Pontianak-Entikong-Tebedu-Brunei. 

Kriteria kendaraan yang diperbolehkan untuk melintasi batas negara ditetapkan bersama antara Indonesia dan Malaysia dalam perjanjian Sosek Malindo. Kendaraan yang diperbolehkan melintas PPLB di Indonesia dan PPLB di Malaysia yaitu kendaraan roda empat termasuk di antaranya kendaraan pribadi, kendaraan niaga seperti bis, mobil barang/truk, mobil box dan mobil bak terbuka.

Hanya PPLB Badau yang masih boleh dilintasi sepeda motor. Bahkan masih banyak warga Indonesia di Kecamatan Nanga Badau yang menggunakan kendaraan Malaysia baik roda dua maupun roda empat yang dibeli di “bawah tangan” atas nama warga Malaysia yang sudah dikenal dekat. ‘Toleransi' tersebut mengingat lokasi Kecamatan Nanga Badau yang sulit dicapai dari Putussibau (ibukota kabupaten Kapuas Hulu) dan daerah lainnya di luar Kapuas Hulu karena kondisi jalan yang buruk.

[caption caption="Penduduk Nanga Badau, Kapuas Hulu, pulang belanja dari Lubok Antu dengan mengendarai sepeda motor Malaysia. Lokasi: PPLB Lubok Antu Sarawak "]

[/caption]

[caption caption="Penduduk Nanga Badau, Kapuas Hulu pulang belanja dari Lubok Antu dengan menggunakan mobil Malaysia. Kartu merah di tangan adalah Pas Lintas Batas. Lokasi: PPLB Lubok Antu Sarawak "]

[/caption]

Mobilitas penduduk antara Badau dan Lubok Antu cukup lancar. Tidak jarang penduduk Badau sudah berada di Lubok Antu pada awal pagi hanya sekedar minum kopi di kedai kopi bersama teman dari Malaysia. 

Tidak semua penduduk di kecamatan perbatasan dapat akses dengan mudah ke PPLB Badau. Ini terlihat dari jumlah pelintas batas di PPLB Badau yang rata-rata hanya 20 orang per hari yang sebagian besar adalah penduduk setempat (wawancara dengan petugas Imigrasi awal 2015). Masih banyak penduduk di daerah perbatasan yang masuk ke Lubok Antu melalui jalan tikus.  

Lalu lintas manusia melalui PPLB Aruk relatif tidak jauh berbeda dengan PPLB Badau. Warga Indonesia yang keluar menuju Malaysia melalui PPLB Aruk relatif stabil yaitu sekitar 10.000 per tahun dari 2011 ke 2013 atau rata-rata 30 orang per hari. Sebaliknya Warga negara asing (umumnya Malaysia) yang masuk ke Indonesia melalui PPLB Aruk jauh lebih sedikit yaitu rata-rata kurang dari 1000 orang per tahun atau 3 orang per hari (Presentasi Bupati Kabupaten Sambas, 2014).

Sebagian besar warga Indonesia yang masuk ke Malaysia melalui PPLB Aruk diperkirakan adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sambas adalah salah satu daerah sumber TKI untuk Sarawak. Sebagian besar orang yang masuk ke Indonesia melalui PPLB Aruk juga para TKI yang masa tinggalnya di Malaysia (30 hari) hampir habis. 

Agar keberadaan di Malaysia tetap resmi berdasarkan kriteria paspor, mereka harus keluar dari Malaysia (PPLB Biawak), masuk ke Indonesia (PPLB Aruk), keluar lagi dari Indonesia (PPLB Aruk) dan masuk kembali ke Malaysia (PPLB Biawak) hanya untuk mendapatkan stempel paspor (istilah Malaysia cop pusing ). TKI yang keluar masuk PPLB Aruk untuk mendapatkan stempel di paspor adalah TKI tidak resmi. TKI resmi yang memiliki paspor dan visa kerja dapat tinggal di Malaysia lebih dari 30 hari sampai selesai masa kontrak. 

Bagunan fisik PPLB 

Dari ketiga PPLB, PPLB Entikong adalah yang paling kumuh sedangkan PPLB Aruk adalah yang paling megah walau terlihat kurang terawat dan paling lengang. PPLB Aruk terkesan lengang karena bangunannya yang jauh lebih besar dan megah dari PPLB Badau dan PPLB Entikong, sementara jumlah pelintas batas di PPLB Aruk sangat terbatas. Sepeda motor yang cukup sering melintasi PPLB Badau dan lokasi PPLB yang relatif dekat dengan pusat kota Lubok Antu, menyebabkan PPLB Badau terlihat lebih hidup dibandingkan PPLB Aruk.

[caption caption="Pintu Gerbang PPLB Entikong yang sebagian retak dan tanggal, berhadapan dengan PPLB Tebedu Sarawak"]

[/caption] 

[caption caption="Pedagang rupiah dan kartu perdana di PPLB Entikong"]

[/caption]

 [caption caption="Papan informasi yang kumuh di PPLB Entikong "]

[/caption]

[caption caption="Halaman PPLB Aruk, Kecamatan Sajingan, Kabupaten Sambas"]

[/caption]

[caption caption="Halaman PPLB Aruk yang berhadapan langsung dengan PPLB Biawak Sarawak"]

[/caption]

[caption caption="PPLB Aruk, Kecamatan Sajingan, Kabupaten Sambas yang megah, kurang terawat dan lengang"]

[/caption]

 [caption caption="PPLB Badau, Kecamatan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu"]

[/caption]

[caption caption="Jalan masuk ke PPLB Badau dari arah Sarawak"]

[/caption]

[caption caption="Pemeriksaan dokumen di PPLB Badau bagi penduduk yang keluar dari PPLB Lubok Antu Sarawak"]

[/caption]

Pembangunan di daerah perbatasan:  Indonesia versus Malaysia

Pendekatan Indonesia: beranda depan versus bagian belakang

Pernyataan Presiden Jokowi terhadap pembangunan perbatasan tidak jauh berbeda dengan pejabat-pejabat sebelumnya dari tingkat pusat sampai daerah. Inti pernyataan adalah bagaimana PPLB/PLBN “nampak bagus dari negara tetangga”. Beda dengan presiden sebelumnya, Presiden Jokowi akan segera mewujudkannya (Di sini).

Konsep pembangunan yang menjadikan daerah perbatasan sebagai beranda depan secara mendasar tidak berbeda dengan pendekatan sebelumnya. Daerah perbatasan yang sebelumnya bagian belakang, sekarang menjadi bagian depan. Beranda depan secara konkrit hanya mencakup sebagian kecil daerah perbatasan. Ini karena perbatasan Kalbar dengan Malaysia yang relatif panjang (sekitar 966 Km) yang sebagian di antaranya berada di pedalaman yang sulit dicapai.

Beranda depan ada yang hanya mencakup PPLB dan sekitarnya. Ini dapat dilihat di PPLB Aruk dan sekitarnya yang terlihat megah (lihat berbagai foto PPLB Aruk di atas) namun tidak didukung oleh jalan yang memadai. Jalan dari Kota Sambas menuju PPLB Aruk (Kecamatan Sajingan) sepanjang 9.998 km rusak berat dan berlumpur terutama ketika musim hujan (Di sini). Ini berbeda dengan jalan yang menuju PPLB Biawak, dari arah Malaysia,  yang berdampingan dengan PPLB Aruk.  

 [caption caption="Jalan berlumpur antara Kota Sambas dan PPLB Aruk "]

[/caption]

Sumber 

 [caption caption="Jalan di Sarawak yang menuju PPLB Biawak (Sarawak) -PPLB Aruk (Kalbar)"]

[/caption]

[caption caption="PPLB Biawak (Sarawak) yang berhadapan dengan PPLB Aruk (KalBar)"]

[/caption]

Daerah perbatasan yang berada di pedalaman sebagian besar akan masih belum tersentuh dan akan tetap menjadi bagian belakang. Penduduk yang sebelumnya pergi ke Malaysia melalui jalan tikus karena lokasi tempat tinggal yang jauh dari PPLB -walau bertempat tinggal di daerah/kecamatan perbatasan-, sebagian masih akan menggunakan jalan tikus yang sama karena pembangunan perbatasan belum menjangkau daerah mereka (Puring Kencana Kabupaten Kapuas HuluSidingSintang).   

Para petani harus menempuh jalan yang cukup jauh dan sulit untuk membawa produk pertanian yang akan dijual ke Malaysia (Di sini). Tidak ada pilihan yang lebih baik karena jalan menuju pasar di Indonesia lebih sulit lagi selain jumlah pembeli yang terbatas. 

[caption caption="Surat terbuka untuk Presiden dari Kartiyus tentang kondisi jalan yang buruk di daerah perbatasan Sintang "]

[/caption]

Sumber : Facebook Kartiyus

Pendekatan Malaysia: rumah modern, bagian dalam dan belakang

Malaysia tidak menggunakan pendekatan khusus dalam pembangunan daerah perbatasan karena sudah terintegrasi dengan pembangunan daerah. Pembangunan dibuat berdasarkan pada skala prioritas. Prioritas utama adalah membangun sesuatu yang mendatangkan manfaat optimal bagi kebanyakan warga Malaysia. Malaysia mengutamakan jalan yang menghubungkan sentra produksi dengan pasar sehingga petani mudah membawa hasil pertanian ke pasar.

Malaysia melihat daerah bagaikan suatu rumah gaya modern. Jika dana terbatas, maka yang menjadi prioritas untuk dibangun adalah bagian dalam dan belakang rumah di mana penghuni rumah menggunakan sebagian besar waktunya di area tersebut, bukan malah beranda depan. Untuk itu, bagian dalam dan belakang rumah harus bersih, sehat dan nyaman karena menyangkut kebutuhan dasar manusia yang tinggal di dalamnya.  

Sarawak tidak melihat penduduk di daerah perbatasan Kalbar sebagai target utama pasar produk mereka. Sebaliknya warga Indonesia di perbatasan Kalbar, terutama yang tinggal di daerah pedalaman dan terpencil, sangat tergantung pada pasar di Sarawak.   

Target utama pasar produk Malaysia adalah warga Indonesia kelas menengah atas yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan Kalbar. Warga Indonesia tersebut adalah target utama industri pariwisata dan kesehatan Malaysia. Mereka mampu berkunjung ke Sarawak sebagai wisatawan atau berobat ke beberapa rumah sakit swasta di Kuching bukan hanya melalui jalan darat tetapi juga udara. Bagi Malaysia, PPLB Entikong dengan kondisi saat ini sudah cukup membantu karena Entikong paling mudah dicapai dari Pontianak.  

Sarawak juga lebih memprioritaskan manfaat yang diperoleh penduduk lokal daripada hanya sekedar “tampak mewah dari depan”.  Ini terlihat antara lain dari lapak yang sangat sederhana di pasar Serikin tempat di mana pedagang Indonesia berjualan pada ujung minggu (Pasar Serikin). 

Bandingkan dengan pasar di Entikong yang cukup megah namun kosong. Alih-alih menarik wisatawan Malaysia, pedagang Indonesia tidak tertarik untuk menyewanya. Sebagian dari mereka yang dulunya berdagang di Entikong, bahkan pindah ke pasar Serikin. Warga Malaysia enggan datang ke Entikong antara lain karena masalah keamanan dan kenyamanan selain kerepotan dengan persyaratan paspor. 

 [caption caption="Pasar termegah di Entikong yang sudah lama kosong"]

[/caption]

Sumber

[caption caption="Lapak sangat sederhana di Pasar Serikin, Sarawak, Jumat petang"]

[/caption]

[caption caption="Pengunjung Pasar Serikin, siang hari pada Sabtu dan Minggu"]

[/caption]

Sarawak juga belum merasa perlu menjadikan Serikin sebagai beranda depan Malaysia. Cukup banyak pedagang Indonesia yang masuk ke Serikin untuk berdagang pada ujung minggu, namun tak banyak warga Malaysia masuk ke Jagoi Kabupaten Bengkayang. Jalan tanah menuju pasar Serikin di tengah perkebunan kelapa sawit yang harus dilalui pedagang Indonesia tetap seperti sedia kala. Bahkan jembatan kayu sederhana yang dilintasi pedagang tersebut diperbaiki atas urunan pedagang Indonesia.

 [caption caption="Jembatan di Serikin Sarawak yang harus dilalui pedagang Indonesia untuk menuju pasar Serikin"]

[/caption]

[caption caption="Jalan di tengah perkebunan kelapa sawit Sarawak yang harus dilalui pedagang Indonesia untuk ke Pasar Serikin"]

[/caption]

Ketertiban

Bangunan PPLB yang megah dan mewah pada akhirnya bukan segalanya. PPLB Tebedu Sarawak yang berhadapan dengan PPLB Entikong jauh lebih sederhana dibandingkan PPLB Aruk. Namun suasana yang tertib dan nyaman sangat terasa di PPLB Tebedu dibandingkan PPLB Aruk. Petugas PPLB Tebedu cukup terganggu dengan menerima “limpahan” ketidaktertiban di PPLB Entikong sehingga harus memasang papan peringatan larangan masuk bagi pedagang Indonesia ke PPLB Tebedu.

 [caption caption="Pintu masuk PPLB Tebedu Sarawak"]

[/caption]

[caption caption="Suasana di PPLB Tebedu dari arah PPLB Entikong, Kalimantan Barat "]

[/caption]

[caption caption="Antri pemeriksaan paspor untuk masuk ke Sarawak di PPLB Tebedu"]

[/caption]

[caption caption="Papan peringatan untuk pedagang uang Indonesia yang sering masuk ke PPLB Tebedu, Sarawak"]

[/caption]

Rasa aman dan tertib kurang tercipta di Indonesia baik di PPLB yang kumuh di Entikong maupun di PPLB yang megah di Aruk. Begitu menjejakkan kaki di Indonesia dan belum sempat masuk ke bangunan PPLB Entikong untuk pemeriksaan paspor dan barang, pedagang kartu perdana dan rupiah sudah mengerumuni pendatang untuk menawarkan barang dagangannya. Di PPLB Aruk, para pendatang yang baru keluar dari PPLB Biawak akan diserbu ojek motor yang setengah memaksa agar pendatang menggunakan jasanya.   

 [caption caption="Dari kejauhan terlihat beberapa ojek motor sedang menunggu di PPLB Aruk dan siap menyerbu pendatang dari arah PPLB Biawak, Sarawak"]

[/caption]

Semangat “proyek” di daerah perbatasan

Isu daerah perbatasan sering digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk menarik perhatian Pemerintah Pusat. Masalahnya ketika orang daerah dan orang pusat sama-sama berorientasi jangka pendek dan asal bangun tanpa mengkritisi perencanaan pembangunan yang diajukan. Hal tersebut berakibat pada pemborosan anggaran pembangunan seperti yang terjadi di Entikong (Kegagalan di Entikong).

Entah sudah berapa banyak anggaran negara (APBN maupun APBD) yang digunakan untuk membuat penelitian yang terkait dengan PPLB dan daerah perbatasan baik oleh akademisi maupun konsultan. Berbagai penelitian tentang daerah perbatasan yang sering mirip satu dengan lainnya mencerminkan seakan tidak ada “grand design” pembangunan daerah perbatasan. Semua pihak terkait merasa perlu membuat usulan yang didasarkan pada penelitian. Berbagai usulan tersebut memberi kesan membelanjakan anggaran dengan justifikasi penelitian lebih penting dari manfaat pembangunan bagi masyarakat di daerah perbatasan. 

Anehnya, fasilitas rest area yang representatif dan diperlukan di perjalanan menuju perbatasan yang berada di bawah otoritas Pemerintah Daerah justru kurang diperhatikan. Restoran di sepanjang perjalanan tersebut bermunculan tanpa standar dan  pengawasan yang memadai. Selain kurang bersih, harga makanan di restoran seakan ditetapkan sesukanya. Hal itu telah berlangsung cukup lama sejak jalan ke perbatasan menjadi ramai dengan dioperasikannya PPLB Entikong.

Pembangunan PPLB ibarat pasangan yang akan menikah, tidak bisa hanya kemauan salah satu pihak. Pihak Indonesia dalam hal ini pemerintah di tingkat kabupaten dan provinsi perbatasan yang disetujui oleh pemerintah pusat terkesan lebih bersemangat “membangun PPLB” daripada Malaysia. Semangat yang berlebihan tersebut bisa disebabkan oleh berbagai alasan antara lain ingin terlihat sukses membangun daerah dalam waktu singkat. 

Semangat yang berlebihan dalam membangun PPLB dapat dilihat dari kasus PPLB Badau dan rencana pembangunan PPLB Jagoi, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Indonesia sudah sangat siap namun Malaysia tidak terlalu memerlukan PPLB tersebut padahal PPLB kedua negara harus difungsikan pada waktu yang bersamaan. 

PPLB Badau rampung pada 2006 setelah dibangun sekitar 4 tahun dan baru berfungsi secara optimal pada 2012 (di sini) setelah Malaysia juga membuka PPLB Lubok Antu. Ini berarti bangunan PPLB Badau kosong tak terpelihara sekitar 6 tahun. Tidak heran baru tiga tahun berfungsi, sudah banyak bagian dari bangunan PPLB Badau yang rusak dan terlihat kumuh (lihat beberapa foto PPLB Badau di atas). Hal ini kemungkinan juga disebabkan oleh mutu bangunan yang kurang begitu bagus.

Pengalaman di PPLB Badau diperkirakan akan terjadi pada fasilitas yang dibangun di Jagoi, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Fasilitas tersebut menurut informasi dipersiapkan untuk kenaikan status dari Pos Lintas Batas (PLB) Jagoi menjadi PPLB Jagoi. Pada saat yang sama, belum terlihat tanda-tanda yang berarti bahwa Sarawak akan membangun PPLBnya.

Tidak mengherankan, kondisi kantor Imigrasi dan Bea dan Cukai Sarawak jauh lebih sederhana dibandingkan berbagai fasilitas di PLB Jagoi. Tanpa belajar dari kegagalan di Entikong, pasar internasional di Jagoi masih juga diusulkan dalam rangkaian pembangunan daerah perbatasan Jagoi. Pada sisi yang lain, jalan di desa penghasil sayur yang diperlukan petani Bengkayang untuk membawa sayur ke Serikin, justru kurang mendapat perhatian (Pedagang sayur Bengkayang). 

 [caption caption="Papan nama Kantor Bea dan Cukai Jagoi, Kabupaten Bengkayang yang cukup megah"]

[/caption]

 [caption caption="Bangunan Kantor Bea dan Cukai Jagoi, Kabupaten Bengkayang yang cukup megah"]

[/caption]

[caption caption="Sebagian fasilitas yang sudah dibangun untuk PPLB Jagoi yang sekarang masih berstatus PLB Jagoi"]

[/caption]

[caption caption="Papan nama Kantor Imigrasi merangkap Bea dan Cukai Serikin Sarawak"]

[/caption]

[caption caption="Kantor Imigrasi dan Bea dan Cukai Serikin, Sarawak yang sederhana"]

[/caption]

Renungan untuk Presiden

Saya percaya Presiden Jokowi bertekad untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dengan membangun daerah perbatasan. Daerah perbatasan yang jauh dari mata Presiden dan pengetahuan yang terbatas tentang perbatasan yang diperoleh dalam kunjungan singkat, membuat Presiden mau tidak mau memerlukan masukan dari pejabat/individu di sekitar beliau dan tokoh terkenal baik di pusat maupun di daerah termasuk para akademisi.

Berbagai masukan tersebut harus dikritisi. Perlu diingat jiwa proyek asal bangun sudah sangat kental baik di pusat maupun di daerah. Perlu banyak referensi sebelum memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan di daerah perbatasan. Sesuatu usulan bisa terkesan masuk akal jika pengetahuan tentang sesuatu tersebut relatif terbatas.

Membangun PPLB/PLBN yang layak (yang tidak selalu mewah) memang diperlukan terutama untuk PPLB Entikong. PPLB Badau cukup diperbaiki tanpa perlu membangun yang baru kecuali sudah rusak parah sementara PPLB Aruk cukup dipelihara karena bangunannya sudah besar dan megah.

Tidak banyak pelintas batas di PPLB Aruk dan Badau karena lokasi tersebut cukup jauh dari kota besar. Bahkan penduduk setempat tidak semuanya masuk ke Sarawak melalui PPLB (termasuk PPLB Entikong) karena mereka tinggal jauh di pedalaman. Mereka menggunakan jalan tikus untuk pergi ke Sarawak karena lebih dekat.

Jalan-jalan yang rusak menuju perbatasan memang harus diperbaiki. Pelebaran jalan sampai 4 jalur sebaiknya jangan dulu diprioritaskan karena jalan 2 jalur sudah memadai. Lebih baik anggaran untuk pelebaran jalan dialokasikan untuk jalan di pedalaman yang jauh dari "beranda depan" yang menghubungkan pusat produksi pertanian dan pasar.    

Bangunan megah bukan segalanya karena ketertiban dan rasa aman sangat penting. PPLB di Indonesia bukan hanya tempat lalu lintas manusia dan barang tetapi juga perdagangan manusia sehingga memerlukan penjagaan yang ekstra ketat di area PPLB.

Semangat membangun perbatasan diperlukan namun belum tentu Malaysia sama bersemangatnya dengan Indonesia. Jika tidak, kasus PPLB Badau yang terbiarkan selama 6 tahun dapat terulang. Tanpa memperbaiki PPLB, Malaysia sudah diuntungkan dengan kondisi PPLB Entikong sekarang kecuali dalam kasus pelarangan barang impor. Tentu Malaysia akan sangat senang jika PPLB Entikong dibangun baru dan jalan ke Malaysia semakin mulus karena akan memperlancar warga Indonesia yang akan berpergian ke Sarawak dengan berbagai tujuan misalnya untuk jalan-jalan dan mendapatkan pelayanan kesehatan. 

Ada dua pertanyaan penting yang perlu direnungkan. Pertama, siapa yang lebih banyak memanfaatkan bangunan baru PPLB/PLBN dan pelebaran jalan menuju PPLB sebagai "beranda depan" negara ? Apakah penduduk di daerah perbatasan yang kebanyakan tinggal di pedalaman dan jauh dari PPLB serta jalan raya, dan yang masuk ke Malaysia melalui jalan tikus, atau penduduk di luar daerah perbatasan ? Kedua, siapa yang akan menerima lebih banyak manfaat dari pembangunan di "beranda depan" negara, Indonesia atau Malaysia ? 

Selamat bekerja, Bapak Presiden.   

Selesai.

Catatan: semua foto adalah koleksi pribadi kecuali yang disebutkan sumbernya.   

----

Referensi tanpa link:

Badan Pusat Statistik (2013). Kalimantan Barat Dalam Angka 2013

Pemerintah Kabupaten Sanggau, Bupati Sanggau (Mei 2015). Revitalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional di Wilayah Perbatasan.

Pemerintah Kabupaten Sambas, Bupati Sambas (November 2014). Pembangunan Industri dan Mobilitas di Wilayah Perbatasan.

Link terkait:

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun