Mohon tunggu...
Farhan Fakhriza Tsani
Farhan Fakhriza Tsani Mohon Tunggu... Akuntan - Seorang Pelajar

Tertarik pada sastra, isu sosial, politik, dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bumi Manusia dan Tetralogi Pulau Buru, Benarkah Menyebarkan Paham Komunisme?

4 Agustus 2019   22:43 Diperbarui: 4 Agustus 2019   23:27 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Sumber: inibaru.id

Kalau kita sedikit menengok sosok Pram, kiranya kita dapat sedikit memahami pandangannya terhadap agama dari pernikahan putrinya. Pram tidak ingin menikahkan putrinya dengan laki-laki yang berbeda agama.

Maka menantunya kemudian menjadi mualaf dan belajar Islam kepada Buya Hamka. Cerita ini sudah cukup mashur. Cerita tersebut sedikit memberikan gambaran bahwa Pram merupakan sosok yang cukup berkomitmen terhadap agama.

Pada zaman yang sudah sedemikian berkembang kini, mengkhawatirkan tetralogi ini akan mengembalikan kekerasan komunisme di masa lalu sepertinya terlalu berlebihan. Khawatir buku ini akan banyak menginspirasi orang-orang untuk menjadi ateis juga tidak masuk akal.

Bahwa buku ini akan membawa opini umum atas kezaliman modal itu bisa saja terjadi, namun tentu saja itu tidak akan menjadi ancaman, apalagi ancaman nasional. Biar bagaimana pun, setiap orang berhak memiliki pandangannya sendiri terkait konsep sosial-ekonomi.

Ancaman timbul bila terjadi gerakan separatis atau pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Kiranya hal tersebut selalu menjadi ancaman tidak peduli kelompok apa yang melakukannya.

Buku ini terbit di zaman ketika kebebasan berpendapat merupakan barang langka. Larangan yang terbit pada tahun 1981 tentu tidak bisa dilepaskan dari rezim yang berkuasa saat itu.

Pada zaman itu, karya ini mungkin memang berpotensi memunculkan kembali gerakan komunisme revolusioner yang membawa kekerasan.

Pada tahun itu, Uni Soviet bahkan belum runtuh dan para pemikir komunis mungkin saja masih ada di Indonesia. Hanya itu yang dapat menjustifikasi pelarangan buku ini sejauh yang saya pikirkan.

Dan setelah hampir setengah abad berselang kini, justifikasi tersebut sudah tidak lagi relevan. Seiring  ditinggalkannya ide-ide revolusi komunisme dan lahirnya reformasi di negeri ini, kita tidak punya alasan apapun untuk melihat karya tetralogi ini selain sebagai sebuah karya besar, sebuah masterpiece.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun