Sistem kapitalisme dipandang telah membagi manusia ke dalam dua kelas: borjuis dan proletar. Borjuis dikaitkan dengan golongan pemegang modal yang menguasai aset dan alat-alat produksi, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Sementara itu, proletar adalah orang-orang kecil terutama dari kalangan buruh yang terus diperas keringatnya.
Sistem ini, dalam pandangan komunisme, melahirkan dua kelas yang sarat akan ketidakadilan. Dalam sistem ini, para borjuis akan semakin kaya dan proletar akan semakin menderita. Sebagai solusi, komunisme menyerukan agar negara hadir sebagai institusi yang berhak memiliki modal untuk menghasilkan kesejahteraan yang merata.
Gagasan yang dibawa oleh Karl Marx itu sendiri tidak mengatur praktik pemerintahan yang spesifik. Istilah "komunisme" hadir sebagai manifestasi atas sebuah gagasan tentang sebuah negara yang menguasai modal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam sejarahnya, kebangkitan komunisme hampir selalu disertai dengan kekerasan dan revolusi. Hal ini karena gerakan menghendaki agar negara memiliki kuasa penuh atas rakyat dan negerinya.
Namun, gagasan yang dibawa oleh Marx pada dasarnya tidak mengatur rangkaian kekerasan tersebut. Praktik-praktik politis yang terjadi selama ini, menurut sebagian orang, tidak bisa merepresentasikan sepenuhnya ajaran komunisme.
Dengan demikian, komunisme dan kekerasan adalah dua hal yang tidak bersenyawa alias bukan satu kesatuan. Meski demikian, rangkaian sejarah komunisme yang penuh dengan darah selalu melahirkan antipati dalam benak masyarakat modern kepada ideologi ini.
Sampai sini, setuju atau tidak, dapat dipahami bahwa komunisme---yang dibawa oleh Marx---tidak sepenuhnya dapat diasosiasikan dengan kekerasan.
Ideologi ini menyerukan pada kesetaraan dan kebebasan dari cengkraman modal yang menzalimi orang banyak. Meskipun secara paradoks implementasinya selama ini justru melahirkan ketidakbebasan dalam banyak aspek.
Salah satu yang menonjol adalah dalam hal kebebasan beragama. Dalam sejarah revolusi komunisme, agama hampir selalu menjadi komponen yang berusaha dihilangkan dalam kehidupan sosial-ekonomi. Agar tidak melenceng terlalu jauh dari bahasan utama, saya tidak akan membahas bagaimana sebenarnya komunisme memandang agama. Saya hanya akan langsung menilai bagaimana narasi dalam karya tetralogi tersebut terhadap agama.
Mari kita kembali pada Tetralogi Pulau Buru. Dalam buku keduanya, terdapat banyak konflik pemikiran yang disampaikan lewat diskusi antar tokoh. Ada tiga tokoh yang cukup sentral dalam membentuk narasi Anak Semua Bangsa.
Tiga tokoh itu adalah Khouw Ah Soe, Trunodongso, dan Ter Haar. Khouw Ah Soe, seperti sudah disebutkan sebelumnya, adalah seorang revolusioner Angkatan Muda China yang melakukan pelarian ke Hinda Belanda untuk menyebarkan gagasannya kepada etnis Tionghoa di sana.