Mohon tunggu...
Farhana Ameera Lubis
Farhana Ameera Lubis Mohon Tunggu... Lainnya - XI MIPA 3 - SMAN 28 Jakarta

:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sonata Terindah

27 November 2020   15:03 Diperbarui: 27 November 2020   15:18 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pinterest.com

Denting piano memecah kesunyian ruangan. Jari jemariku dengan gemulai mengalunkan sebuah melodi yang menggugah telinga. Deux Arabesques No. 1  karya Claude Debussy menemaniku siang hari ini. Berkali-kali aku memainkannya dan tak kunjung bosan. Sungguh sebuah simfoni yang indah. Lagu ini selalu mampu menyihirku, membuatku selalu mencintainya. Ada kisah di balik lagu ini, sesuatu yang sangat bermakna yang tak pernah mampu kulupakan. Aku menarik nafasku perlahan, sambil terbuai lagu ini, kupejamkan mataku. Seketika rangkaian memori 3 tahun yang lalu kembali berputar di benakku. Jari jemariku berhenti menekan tuts piano. Ada rasa yang ingin membuatku mengenang kembali peristiwa tiga tahun yang lalu di Rusia.

Tiga tahun yang lalu aku menghabiskan liburan akhir tahunku di Moskow. Sebuah konser piano di luar negeri pertama kali yang harus aku ikuti dan di sinilah kisah kembalinya hubungan persahabatanku dimulai. 

November 2017.  

Akhirnya aku menjejakkan kakiku di bandara udara Domodedovo, Moskow. Hari mulai menjelang siang sehingga udara yang kurasakan sedikit lebih hangat. Aku tersenyum, mengingat setelah berbulan-bulan lamanya berlatih menyempurnakan kemampuanku, akhirnya waktu untuk menunjukkan kebolehanku di negara ini akan tiba juga. Meski orang tuaku tak bisa melihat pertunjukanku, aku akan menumpahkan segala upaya untuk menampilkan yang terbaik pada konser itu. Dengan harapan aku tidak akan gagal. Sebenarnya rasa takut dan girang bercampur aduk menjadi satu saat ini. 

Mataku memandang ke segala arah mencari sepupuku yang sudah lama tinggal di negara ini. Dia berjanji untuk menjemputku.

“Alaika!”

Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku. Seorang gadis muda berkupluk merah dan memakai jaket tebal melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum padanya. Julie sepupuku berlari mendekatiku.

“Alaika, lama tak jumpa! Rindu sekali padamu.” 

Julie memelukku dengan sangat erat. Aku membalasnya. Rasa rinduku padanya pun sangat besar karena kami sudah lama tak bertemu. Aku dan Julie saling menanyakan kabar.

“Bagaimana kabarmu?"

“Aku baik-baik saja. Gimana Jakarta?"

Aku menceritakan keadaanku padanya. Kami saling bertukar cerita sambil berjalan menuju ke arah parkiran. Julie membantuku membawakan salah satu koper sehingga barang bawaanku sedikit lebih ringan. Kami berbincang dan sesekali tertawa, melampiaskan kerinduan kami hingga sampai di mobil. 

Selama perjalanan dari bandara menuju rumah Julie, kami terus berbincang. Tak ada kesunyian yang terjadi di dalam mobil. Kami begitu bersemangat saling menceritakan apa saja yang terjadi selama beberapa tahun ini. Aku sungguh terhibur mendengar cerita kehidupan Julie selama tinggal di Moskow. Banyak sekali hal-hal lucu dan unik yang dialami olehnya. Ia pun memberikan reaksi yang sama terhadap cerita-ceritaku. Terlihat Julie antusias mendengar kisahku. Canda tawa hadir mengisi suasana temu kangen kami. Sungguh bahagia akhirnya bisa melepas kerinduan ini.

Akhirnya kami sampai di rumah Julie. Rumah terasa kosong karena paman dan bibi sedang berada di negeri lain. Julie menunjukkan kamar untukku. Setelah menaruh barang-barang bawaan, sepupuku itu mengajakku pergi makan siang. Sepanjang perjalanan menuju tempat makan yang kami tuju, banyak pemandangan dengan bangunan-bangunan bercorak khas Rusia yang begitu mengagumkan. Semua terlihat indah dan memanjakan mataku. Hanya butuh waktu sekitar 25 menit kami sampai di sebuah café cantik di daerah Prospect Mira. Makanan yang disajikan di sana sangat lezat dan meninggalkan rasa puas. Makan siang kami pun selalu diselingi oleh berbagai kisah dan tawa.

Aku melirik arlojiku, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Tak terasa, sudah begitu lama kami terbawa suasana di café itu. Aku ingat masih harus pergi ke sebuah sekolah musik untuk berlatih bermain piano di sana. Sekolah musik itu adalah sekolah musik yang bekerja sama dengan sekolah musik tempatku berlatih di Jakarta. Sehingga aku bisa berlatih di sana. Aku dan Julie pun meninggalkan café. Sepupuku mengantarku hingga ke tempat itu. Sebelum berpisah, Julie berjanji untuk menjemputku kembali. 

Sekolah musik ini sangat bagus dan petugas di situ pun sangat ramah, ia bisa mengerti bahasa Inggris. Dia mempersilakan aku untuk berlatih bersama beberapa orang yang lain. Aku menghabiskan beberapa jam dengan berlatih memainkan sekumpulan lagu. Lagu-lagu yang selama ini selalu menjadi bagian hari-hariku. Jari jemariku seakan-akan menari di atas tuts piano. Memainkan mahakarya-mahakarya klasik, Gymnopedie No.1, The Well-Tempered Clavier Prelude, dan Polonaise Op.53. Begitu indahnya hingga membuatku lupa waktu karena asyik memainkannya. Aku berhenti berlatih karena kulihat Julie sudah menungguku di ruang depan. Kami segera kembali ke rumah karena hari sudah menjelang malam. Usai sudah kegiatanku hari ini.

Aku membuka mataku. Cuaca dingin membangunkanku seolah mengajakku untuk menyambut hari baru. Pagi ini, aku berencana untuk melanjutkan latihan di sekolah musik karena waktu konser sudah semakin dekat. Setelah selesai latihan, aku akan menelusuri kota dan mencari cendera mata. Julie bersedia menemaniku.

Aku berlatih hingga hari semakin siang. Rasanya penat juga tubuhku. Inilah saatnya untuk beristirahat dan melakukan rencana keduaku, berjalan-jalan di kota dan berbelanja bersama sepupuku. Destinasi pertama adalah sebuah pasar tradisional, Izmailovsky Market. Di pasar itu, banyak sekali barang-barang unik berderet di setiap toko. Semuanya memang indah tetapi yang paling menarik perhatianku adalah boneka Matryoshka dengan warna dan corak yang bermacam-macam. Aku membelinya untuk kubawa ke Jakarta, setelah Julie membujukku dengan rayuannya.

Kami terus melihat-lihat. Suasana pasar cukup ramai. Banyak orang berlalu-lalang di atas jalanan pasar yang penuh salju. Setelah berkeliling dan mengamati toko tiap toko, akhirnya aku membeli beberapa barang lain yang menurutku menarik. Sembari berkeliling, aku mengabadikan pemandangan pasar tersebut dengan kameraku. Aku memandang berkeliling. Julie terlihat sedang asyik di toko sebelah, aku tidak ingin mengganggunya. Mataku terus mencari objek foto yang bagus. Seorang penjual cendera mata sedang melayani seorang gadis yang ingin membeli dagangannya. Kupikir bagus juga untuk diabadikan karena latar belakangnya yang mendukung. 

“Alaika?”

Tiba-tiba sebuah suara memanggil namaku dan membuatku terkejut. Itu bukan suara sepupuku. Kulihat Julie masih berada di toko sebelah. Aku mengarahkan kepalaku ke arah panggilan itu. Seorang gadis menghampiriku. Aku terdiam. Gadis itu tersenyum padaku. Kami saling berpandangan. Tatapan mata itu membuatku sadar. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki tetapi kami terpisah karena alasan yang tak pernah aku mengerti dan sangat menyakitkan untukku. Dialah Eva.. ya, Eva. Sejenak benakku menerawang mengingatnya.

Eva dan aku sudah bersahabat sejak kecil. Kami dipertemukan oleh hobi yang sama, yaitu bermain piano. Dari kecil kami sudah belajar dan bermain piano di berbagai lomba dan konser bersama. Bahkan, kami sering sekali berduet piano bersama. Banyak lagu yang kami mainkan bersama, namun Deux Arabesques No. 1 selalu menjadi pilihan. Sehingga lagu itu adalah lagu andalan sekaligus lagu yang mempererat hubungan persahabatan kami. Kami bagaikan langit malam dan bintang yang tak terpisahkan. Saat aku berada dalam kesedihan, Eva menjadi tempat aku bersandar dan melepaskan kekesalan hati, begitu juga sebaliknya. Kami selalu ada untuk satu sama lain. Ikatan persahabatan kami seolah-olah abadi, tidak akan ada yang bisa memutusnya. Kami sudah seperti saudara layaknya saudara kandung. Tapi siapa sangka, sebuah peristiwa dapat menjadi penyebab keretakan persahabatan kami. Akibat peristiwa itu, kami berpisah tanpa kata, tanpa suara, dan ini sangat menyakiti diriku. 

“Laika?”

Aku masih terdiam. Gadis dihadapanku ini hadir setelah lama menghilang dalam kehidupanku, membuatku tak mampu berkata sepatah katapun. 

“Laika, ini aku.. Eva.’’

Aku menghela nafasku dan berusaha untuk mengembalikan kesadaranku. Aku menganggukkan kepalaku. Eva tersenyum sambil menanyakan kabarku.

“Apa kabar?” 

“Aku baik-baik saja, bagaimana kabarmu? Kau sedang berlibur juga?” aku berusaha untuk tersenyum.

“Aku baik-baik juga. Laika .. aku sudah setahun ini tinggal di sini. Orang tuaku ditugaskan di sini,” jawab Eva yang masih tersenyum. Aku menganggukkan kepalaku. Aku tertegun sejenak, ternyata dalam tiga tahun banyak yang terjadi padanya.

Seketika ada rasa canggung hadir di antara kami. Aku tak menyangka bahwa setelah tiga tahun, kami bertemu lagi untuk pertama kalinya di negara yang sangat jauh ini. Aku masih terdiam tetapi Eva tampaknya berusaha untuk memecahkan kecanggungan diantara kami dengan mengajakku untuk minum teh bersama dan berjalan keliling kota di sore hari. Aku merasa bahwa Eva tampaknya selama ini baik-baik saja dan seperti tak ada sesuatu yang mengganggunya dalam persahabatan kami. Jadi aku menolak ajakannya, selain itu Julie juga menungguku untuk pulang bersama. 

Eva masih bersikeras untuk bertemu kembali denganku. Dia mengajakku untuk makan siang keesokan harinya. Aku merasa bimbang karena esok waktuku sangat padat untuk jadwal latihan. Jadi aku berusaha menolak kembali tawarannya. Sepertinya Eva melihat kebimbanganku, jadi dia memberikan nomor teleponnya agar aku bisa mengabarinya kalau sudah ada waktu luang untuk bertemu dengannya. Aku menerimanya dan setelah itu kami berpisah. Aku berjalan menghampiri Julie yang masih asyik dengan barang-barang yang akan dibelinya. Sementara benakku masih memikirkan pertemuan yang tak terduga dengan Eva.

Sesampainya di rumah, hari sudah mulai gelap dan udara semakin dingin. Aku dan Julie makan malam bersama di rumah. Setelah itu aku memutuskan untuk istirahat karena kepenatanku. Aku mencoba untuk tidur tetapi benakku kembali menerawang peristiwa sore tadi. Beberapa pertanyaan berputar di pikiranku. Aku bingung, haruskah aku menerima ajakan Eva atau mengabaikannya saja? Jika aku tetap menemuinya, aku takut akan terus mengingat masa lalu dan akan mengganggu konsentrasiku saat latihan karena konser ini penting bagiku. Dulu dia pindah tanpa memberitahuku, tanpa penjelasan apapun. Selama bertahun-tahun aku dibuatnya bingung dan merasa aku mungkin melakukan kesalahan padanya. Apa yang terjadi diantara kami belum bisa kulupakan. Aku memang merasa sedih dan sakit hati. Mungkin baginya persahabatan yang terjadi bertahun-tahun di antara kami hanya persahabatan biasa saja. Aku menghela nafas perlahan.

“Tidak. Pertemuan tadi tidak akan mengganggu penampilanku.”  

Tiba-tiba aku tersadar dan momen-momen indah masa lalu bersama Eva mulai mulai mendatangi pikiranku. Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Aku pun berpikir, mungkin memang saatnya untuk kami berdamai. Dengan menghabiskan waktu bersamanya, aku akan mencari tahu penyebab retaknya hubungan persahabatan kami dan kuharap bisa memperbaikinya. Akhirnya aku memutuskan untuk menemui Eva esok hari. Tekadku sudah bulat untuk menyelesaikan apa yang pernah terjadi diantara kami. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke meja mengambil telepon genggamku, lalu menekan nomor teleponnya.

Keesokan harinya, aku mengunjungi tempat yang telah Eva beritahukan padaku, Lapangan Merah yang berada di jantung kota Moskow. Aku sengaja tak mengajak Julie dan kebetulan dia pun sedang ada urusan bersama temannya. Tampak dari kejauhan Eva sudah menungguku dengan senyumnya yang khas itu.

“Yuk, kita keliling Red Square!” ajaknya.

Kami pun mulai menjelajahi bangunan-bangunan ikonik yang ada di sepanjang Lapangan Merah, mulai dari Kremlin sampai Katedral St. Basil. Aku merasa kagum dan takjub oleh gaya arsitektur bangunan-bangunan tersebut. Sepanjang wisata kami, aku dan Eva berbincang banyak hal. Menceritakan kehidupan kami selama ini. Seperti mencoba untuk mengenal satu sama lain kembali setelah bertahun-tahun dibatasi oleh situasi buruknya persahabatan kami. Aku bisa merasakan batas pemisah itu mulai runtuh secara perlahan-lahan. Percakapan yang awalnya canggung mulai berubah menjadi penuh canda tawa seperti dulu. Mengingat masa-masa kenakalan dan kebersamaan kami dulu. Orang yang menjadi lawan bicaraku ini makin lama berubah menjadi sosok sahabatku yang dulu lagi, yang aku kenal. Aku tak menyesal menerima ajakannya hari ini. 

Eva menyeruput kopi panasnya. Aku terdiam sambil meminum minuman dinginku dan memandang pada jalanan.

“Maaf.”

Tiba-tiba kata itu terlontar dari mulut Eva. Kepalaku bergerak memandangnya sambil mengerutkan dahiku. 

“Mengapa?”

Aku merasa bingung. Canda tawa berubah menjadi keadaan yang serius.

“Maafkan aku, Ka. Maaf karena aku pindah dan menghilang tanpa mengabarimu, tanpa pesan sepatah katapun. Aku tahu ini pasti membuatmu sedih dan marah.” 

Eva mengatakannya sambil terbata-bata. Tampaknya dia menahan emosinya. Aku terdiam, berusaha untuk tidak menangis. 

Aku memejamkan mataku, benakku kembali mengingat apa yang tak ingin kuingat. Dahulu aku tahu Eva akan pindah ke negeri lain. Sebelum dia pindah, kami akan melakukan audisi pemain piano untuk sebuah konser orkestra salah satu komposer ternama di Indonesia.  Aku dan Eva sama-sama menginginkan posisi tersebut. Kami berdua mempersiapkan segalanya demi menjadi yang terpilih. Selesai audisi ternyata aku lah yang mendapatkan posisi itu. Sejak peristiwa  itu, Eva mulai terlihat menjauh dariku. Ucapan selamat yang dia berikan hanya berupa kata-kata datar dengan wajah penuh kekecewaan. Saat itu aku ingin langsung menghiburnya, tapi pada saat yang sama aku harus menemui tim penyelenggara audisi. Aku memintanya untuk menunggu dan pulang bersama, tapi saat aku kembali ke tempatnya berada, dia sudah tidak ada di situ. 

Berhari-hari aku menghubunginya, tapi Eva tak pernah membalas pesanku. Aku pun mengunjungi rumahnya tapi selalu saja ada alasan untuk tidak mau menemuiku atau dia tak ada di rumah. Kebetulan aku pun disibukkan dengan jadwal latihan yang sangat padat, sampai suatu saat aku kembali berkunjung ke rumahnya, alangkah terkejutnya aku saat melihat rumah Eva sudah kosong dan ada spanduk bertuliskan “Dijual”. Eva pergi tanpa berpamitan denganku. Saat konser orkestra berlangsung, Eva tak tampak batang hidungnya untuk menonton penampilanku. Dia betul-betul menghilang tanpa pesan untukku.

Aku menghela nafas kembali dalam-dalam. Peristiwa-peristiwa itu sangat menyakitkan bagiku. Aku menjelaskan segala hal padanya. Bagaimana aku berusaha untuk mencari dan menghubunginya tetapi semua itu sia-sia belaka. Eva tampak tertunduk dan meneteskan air matanya. Sesekali dia menyeka matanya dengan tisu di tangannya. Tiba-tiba dia berkata dengan wajah sedih,

“Saat kau bilang tidak akan ikut audisi itu karena berbenturan harimu dengan acara keluarga, awalnya aku merasa lega karena sainganku yang ilmunya sama denganku berkurang dan aku sudah optimis akan lolos, tapi realita berkata sebaliknya. Kau jadi mengikutinya dan bahkan terpilih dalam audisi itu. Sedangkan aku hanya menjadi cadangan saja. Aku merasa kecewa dan sedih. Sebetulnya konser orkestra itu begitu berharga bagiku karena itu akan menjadi konser terakhirku di Indonesia. Dengan rasa kecewa dan sedih yang ada dalam diriku, juga berbaur dengan rasa iri, aku berusaha untuk selalu menghindar darimu, bahkan memutuskan untuk pindah tanpa pamit.”

Sambil menahan emosinya, dia terdiam sejenak lalu melanjutkan kata-katanya.

“Aku sangat menyesal atas perbuatanku, Ka. Selama hari-hariku di negara yang baru, aku selalu mempertanyakan perbuatan bodohku ini. Lama kelamaan kekecewaanku berubah menjadi keinginan untuk mengulang masa-masa indah persahabatan kita.Tapi aku tahu kamu pasti sedih dan marah, jadi aku tidak mempunyai keberanian untuk meminta maaf padamu. Untung saja kita kemarin bertemu. Takdir mempertemukan kita di sini. Maafkan aku, Ka. Kuharap kamu bisa memaafkanku.”

Aku tak bisa berkata sepatah katapun setelah mendengar semuanya. Mataku terasa hangat dan ada tetesan air mata yang jatuh. Semakin lama semakin banyak, aku terisak. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan Eva dahulu ketika aku yang terpilih. Aku merasa bersalah. Selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri dan memandang dari sudut pandangku akan rasa kekecewaan terhadap persahabatan kami. Ini menjadi pembelajaran untukku.

 “Eva, Aku minta maaf juga padamu. Semua pertanyaanku tentang persahabatan yang selama ini selalu bermain di pikiranku, sudah terjawab. Aku pun bisa mengerti perasaan kecewamu. Maafkan aku.. Aku begitu tidak peduli padamu karena tidak menyadari betapa pentingnya konser orkestra itu bagimu. Kuterima maafmu dengan tulus dan kuharap kamu juga bisa memaafkanku. Semoga kita bisa kembali membuat memori sebagai sahabat.”

Kami berbaikan dan saling memaafkan atas peristiwa masa lalu. Kami kembali bersahabat dan membuat memori baru. Memori pertama dengan menonton konserku di negara ini. Eva hadir memberi dukungan untukku. Saat namaku dipanggil, aku segera menuju ke panggung. Tepuk tangan penonton menggema. Gema yang terdengar semakin lama semakin redup, menunjukkan bahwa penampilanku akan segera dimulai.

Aku mulai memainkan jari jemariku dengan menekan tuts, memainkan not demi not kemudian membentuk sebuah melodi yang indah. Ruangan terasa sunyi, hanya denting piano yang bersuara. Melodi lagu yang kumainkan seperti sedang menceritakan sebuah kisah penuh makna, penuh emosi, yang menarik pendengarnya menuju imajinasi tersendiri. Mahakarya ini kubawakan dengan segenap jiwaku, berharap aku bisa membawa para penonton ke dunia dibalik cerita lagu.

“Aku berhasil.” Suara hatiku terdengar sayup di dada.

Suara tepuk tangan kembali menggema. Orang-orang berdiri dari kursinya dengan wajah penuh kekaguman. Kulihat Julie dan Eva melakukan hal yang sama dari tempat penonton. Aku tersenyum. Pengalaman ini sangat luar biasa. Aku akan merekamnya dalam memoriku sepanjang nafas hidupku.

Waktu berada di Moskow terasa pendek. Saatnya untuk kembali ke Jakarta. Julie siap mengantarku ke bandara. Aku tak bisa berpamitan pada paman dan bibi karena mereka masih tugas di luar negeri. Sebelum menuju bandara, ada pemberhentian terakhir yang ingin aku kunjungi. Kami mampir dahulu ke rumah Eva. Sesampainya di sana Eva mempersembahkan hadiah perpisahan untukku. Ia memintaku untuk menontonnya bermain piano. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya dia bermain di depanku, dan juga terakhir kali sebelum aku kembali ke Jakarta.  

Alunan denting piano yang indah mulai terdengar di telingaku. Eva memainkan lagu kesukaanku. Deux Arabesques No. 1. Jiwaku seperti terombang-ambing di lautan harmoni. Melalui permainan pianonya, aku merasakan kebahagiaan yang sudah lama tidak kurasakan sebelumnya. Perasaan senang dan terhibur, setelah sekian tahun aku tidak mendengar permainannya. Sungguh sebuah hadiah perpisahan yang tak akan pernah aku lupakan. Sebuah sonata terindah yang menjadi ikatan persahabatan kami berdua.

November 2020.

Jari jemariku kembali menekan tuts piano dan mulai mengalunkan lagu indah ini dengan penuh senyuman. Bagaikan potongan terakhir sebuah teka-teki yang berhasil ditemukan setelah sekian lama, Eva kembali hadir menjadi bagian dari hidupku dan kini kembali mengambil peran di dalamnya. Meski jarak dan waktu mempunyai rentang yang jauh, persahabatan kami tak pernah lekang, hingga kini selalu terjaga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun