Tiba-tiba aku tersadar dan momen-momen indah masa lalu bersama Eva mulai mulai mendatangi pikiranku. Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Aku pun berpikir, mungkin memang saatnya untuk kami berdamai. Dengan menghabiskan waktu bersamanya, aku akan mencari tahu penyebab retaknya hubungan persahabatan kami dan kuharap bisa memperbaikinya. Akhirnya aku memutuskan untuk menemui Eva esok hari. Tekadku sudah bulat untuk menyelesaikan apa yang pernah terjadi diantara kami. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke meja mengambil telepon genggamku, lalu menekan nomor teleponnya.
Keesokan harinya, aku mengunjungi tempat yang telah Eva beritahukan padaku, Lapangan Merah yang berada di jantung kota Moskow. Aku sengaja tak mengajak Julie dan kebetulan dia pun sedang ada urusan bersama temannya. Tampak dari kejauhan Eva sudah menungguku dengan senyumnya yang khas itu.
“Yuk, kita keliling Red Square!” ajaknya.
Kami pun mulai menjelajahi bangunan-bangunan ikonik yang ada di sepanjang Lapangan Merah, mulai dari Kremlin sampai Katedral St. Basil. Aku merasa kagum dan takjub oleh gaya arsitektur bangunan-bangunan tersebut. Sepanjang wisata kami, aku dan Eva berbincang banyak hal. Menceritakan kehidupan kami selama ini. Seperti mencoba untuk mengenal satu sama lain kembali setelah bertahun-tahun dibatasi oleh situasi buruknya persahabatan kami. Aku bisa merasakan batas pemisah itu mulai runtuh secara perlahan-lahan. Percakapan yang awalnya canggung mulai berubah menjadi penuh canda tawa seperti dulu. Mengingat masa-masa kenakalan dan kebersamaan kami dulu. Orang yang menjadi lawan bicaraku ini makin lama berubah menjadi sosok sahabatku yang dulu lagi, yang aku kenal. Aku tak menyesal menerima ajakannya hari ini.
Eva menyeruput kopi panasnya. Aku terdiam sambil meminum minuman dinginku dan memandang pada jalanan.
“Maaf.”
Tiba-tiba kata itu terlontar dari mulut Eva. Kepalaku bergerak memandangnya sambil mengerutkan dahiku.
“Mengapa?”
Aku merasa bingung. Canda tawa berubah menjadi keadaan yang serius.
“Maafkan aku, Ka. Maaf karena aku pindah dan menghilang tanpa mengabarimu, tanpa pesan sepatah katapun. Aku tahu ini pasti membuatmu sedih dan marah.”
Eva mengatakannya sambil terbata-bata. Tampaknya dia menahan emosinya. Aku terdiam, berusaha untuk tidak menangis.