Aku menceritakan keadaanku padanya. Kami saling bertukar cerita sambil berjalan menuju ke arah parkiran. Julie membantuku membawakan salah satu koper sehingga barang bawaanku sedikit lebih ringan. Kami berbincang dan sesekali tertawa, melampiaskan kerinduan kami hingga sampai di mobil.
Selama perjalanan dari bandara menuju rumah Julie, kami terus berbincang. Tak ada kesunyian yang terjadi di dalam mobil. Kami begitu bersemangat saling menceritakan apa saja yang terjadi selama beberapa tahun ini. Aku sungguh terhibur mendengar cerita kehidupan Julie selama tinggal di Moskow. Banyak sekali hal-hal lucu dan unik yang dialami olehnya. Ia pun memberikan reaksi yang sama terhadap cerita-ceritaku. Terlihat Julie antusias mendengar kisahku. Canda tawa hadir mengisi suasana temu kangen kami. Sungguh bahagia akhirnya bisa melepas kerinduan ini.
Akhirnya kami sampai di rumah Julie. Rumah terasa kosong karena paman dan bibi sedang berada di negeri lain. Julie menunjukkan kamar untukku. Setelah menaruh barang-barang bawaan, sepupuku itu mengajakku pergi makan siang. Sepanjang perjalanan menuju tempat makan yang kami tuju, banyak pemandangan dengan bangunan-bangunan bercorak khas Rusia yang begitu mengagumkan. Semua terlihat indah dan memanjakan mataku. Hanya butuh waktu sekitar 25 menit kami sampai di sebuah café cantik di daerah Prospect Mira. Makanan yang disajikan di sana sangat lezat dan meninggalkan rasa puas. Makan siang kami pun selalu diselingi oleh berbagai kisah dan tawa.
Aku melirik arlojiku, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Tak terasa, sudah begitu lama kami terbawa suasana di café itu. Aku ingat masih harus pergi ke sebuah sekolah musik untuk berlatih bermain piano di sana. Sekolah musik itu adalah sekolah musik yang bekerja sama dengan sekolah musik tempatku berlatih di Jakarta. Sehingga aku bisa berlatih di sana. Aku dan Julie pun meninggalkan café. Sepupuku mengantarku hingga ke tempat itu. Sebelum berpisah, Julie berjanji untuk menjemputku kembali.
Sekolah musik ini sangat bagus dan petugas di situ pun sangat ramah, ia bisa mengerti bahasa Inggris. Dia mempersilakan aku untuk berlatih bersama beberapa orang yang lain. Aku menghabiskan beberapa jam dengan berlatih memainkan sekumpulan lagu. Lagu-lagu yang selama ini selalu menjadi bagian hari-hariku. Jari jemariku seakan-akan menari di atas tuts piano. Memainkan mahakarya-mahakarya klasik, Gymnopedie No.1, The Well-Tempered Clavier Prelude, dan Polonaise Op.53. Begitu indahnya hingga membuatku lupa waktu karena asyik memainkannya. Aku berhenti berlatih karena kulihat Julie sudah menungguku di ruang depan. Kami segera kembali ke rumah karena hari sudah menjelang malam. Usai sudah kegiatanku hari ini.
Aku membuka mataku. Cuaca dingin membangunkanku seolah mengajakku untuk menyambut hari baru. Pagi ini, aku berencana untuk melanjutkan latihan di sekolah musik karena waktu konser sudah semakin dekat. Setelah selesai latihan, aku akan menelusuri kota dan mencari cendera mata. Julie bersedia menemaniku.
Aku berlatih hingga hari semakin siang. Rasanya penat juga tubuhku. Inilah saatnya untuk beristirahat dan melakukan rencana keduaku, berjalan-jalan di kota dan berbelanja bersama sepupuku. Destinasi pertama adalah sebuah pasar tradisional, Izmailovsky Market. Di pasar itu, banyak sekali barang-barang unik berderet di setiap toko. Semuanya memang indah tetapi yang paling menarik perhatianku adalah boneka Matryoshka dengan warna dan corak yang bermacam-macam. Aku membelinya untuk kubawa ke Jakarta, setelah Julie membujukku dengan rayuannya.
Kami terus melihat-lihat. Suasana pasar cukup ramai. Banyak orang berlalu-lalang di atas jalanan pasar yang penuh salju. Setelah berkeliling dan mengamati toko tiap toko, akhirnya aku membeli beberapa barang lain yang menurutku menarik. Sembari berkeliling, aku mengabadikan pemandangan pasar tersebut dengan kameraku. Aku memandang berkeliling. Julie terlihat sedang asyik di toko sebelah, aku tidak ingin mengganggunya. Mataku terus mencari objek foto yang bagus. Seorang penjual cendera mata sedang melayani seorang gadis yang ingin membeli dagangannya. Kupikir bagus juga untuk diabadikan karena latar belakangnya yang mendukung.
“Alaika?”
Tiba-tiba sebuah suara memanggil namaku dan membuatku terkejut. Itu bukan suara sepupuku. Kulihat Julie masih berada di toko sebelah. Aku mengarahkan kepalaku ke arah panggilan itu. Seorang gadis menghampiriku. Aku terdiam. Gadis itu tersenyum padaku. Kami saling berpandangan. Tatapan mata itu membuatku sadar. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki tetapi kami terpisah karena alasan yang tak pernah aku mengerti dan sangat menyakitkan untukku. Dialah Eva.. ya, Eva. Sejenak benakku menerawang mengingatnya.
Eva dan aku sudah bersahabat sejak kecil. Kami dipertemukan oleh hobi yang sama, yaitu bermain piano. Dari kecil kami sudah belajar dan bermain piano di berbagai lomba dan konser bersama. Bahkan, kami sering sekali berduet piano bersama. Banyak lagu yang kami mainkan bersama, namun Deux Arabesques No. 1 selalu menjadi pilihan. Sehingga lagu itu adalah lagu andalan sekaligus lagu yang mempererat hubungan persahabatan kami. Kami bagaikan langit malam dan bintang yang tak terpisahkan. Saat aku berada dalam kesedihan, Eva menjadi tempat aku bersandar dan melepaskan kekesalan hati, begitu juga sebaliknya. Kami selalu ada untuk satu sama lain. Ikatan persahabatan kami seolah-olah abadi, tidak akan ada yang bisa memutusnya. Kami sudah seperti saudara layaknya saudara kandung. Tapi siapa sangka, sebuah peristiwa dapat menjadi penyebab keretakan persahabatan kami. Akibat peristiwa itu, kami berpisah tanpa kata, tanpa suara, dan ini sangat menyakiti diriku.