Pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar, hal ini dapat kita buktikan dengan adanya data pada tahun 2017 yang menyatakan bahwa pajak menyumbang sebesar 85.6% total pendapatan negara. Namun, pada era pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, penerimaan pajak banyak mengalami kendala. Kendala tersebut disebabkan karena di era pandemi yang saat ini terjadi kelesuan daya jual-beli yang menyebabkan laba dari UMKM dan usaha lainnya mengalami penurunan yang drastis.Â
Penurunan laba pada UMKM berpengaruh sangat besar terhadap penerimaan negara bersumber dari pajak, Berdasarkan survei BPS dikutip dari kompaspedia.kompas.id, UMKM menyumbang 57% untuk Produk Domestik Bruto (PDB) sedangkan kontribusi UMKM terhadap pajak hanya sebesar 5%. Jika sektor ini dapat memaksimalkan perpajakannya maka akan memberikan dampak yang sangat positif bagi pemasukan kas negara. Tetapi jika sektor ini mengalami kemunduran, maka akan memberikan dampak kemunduran yang sangat signifikan bagi pajak.Â
 Guna menanggulangi kelesuan ekonomi dan pendapatan negara, Menteri keuangan mengeluarkan kebijakan insentif pajak pada tahun 2020. Aturan pertama mengenai insentif pajak dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus pada tanggal 27 April 2020. PMK 44/2020 ini mencabut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 23/PMK.03/2020 yang diundangkan 37 hari sebelumnya. Seiring dinamika yang berjalan, akhirnya Menteri keuangan mengubah kembali kebijakan insentif pajak dengan lahirnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021.Â
Dalam bagian menimbang poin c dijelaskan sebab adanya Permenkeu Nomor 44/2020 dilatar belakangi karena Peraturan tersebut dipandang masih terdapat kekurangan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal l 7C ayat (7) dan Pasal 17D ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kebijakan insentif perpajakan tahun 2021 berdasarkan 9/PMK.03/2021 ini terdiri atas: (a) keringanan PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP); (b) PPh final UMKM DTP; (c) PPh final jasa konstruksi; (d) pembebasan dari pemungutan PPh pasal 22 impor; (e) pengurangan angsuran PPh pasal 25; dan (f) insentif PPN. Insentif perpajakan ini diberikan oleh pemerintah bertujuan untuk mendorong daya beli masyarakat, memenuhi impor bahan baku produksi untuk sektor yang masih terdampak pandemi Covid-19, serta untuk membantu arus kas perusahaan agar dapat kembali melakukan aktivitas usaha.
 Wujud Kebijakan Insentif PajakÂ
Kebijakan insentif pajak pada 2021 diwujudkan dalam beberapa bentuk yaitu,
- Keringanan PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP)Â
Keringanan PPh 21 ditentukan kepada karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), atau perusahaan di Kawasan berikat. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh karyawan adalah memiliki NPWP dan penghasilan bruto yang bersifat tetap serta terartu selama satu tahun tidak lebih dari 200 juta.Â
Â
- Insentif Pajak UMKM
Pelaku Usaha Mikro Kelas Menengah mendapatkan insentif PPh final dengan tarif 0,5% sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018 yang ditanggung pemerintah. Oleh sebab itu, dengan adnaya peraturan tersebut UMKM tidak perlu menyetorkan pajak kepada pemerintah. Selain itu, transaksi yang dilakukan oleh berbagai pihak dngan UMKM juga tidak perlu melakukan pemotongan atau pemungutan pada saaat pembayaran. Bagi pelaku usaha mikro yang ingin mendapatkan insentif ini, tidak perlu mengajukan surat keterangan PP 23, tetapi cukup menyampaikan laporan realisasi setiap bulan.Â
Â
- PPh Jasa Konstruksi
Â
Insentif ini diterima oleh kategori wajib pajak yang mendaptkan penghasilan dari usaha jasa konruksi dalam Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigas (P3-TGAI) dengan PPh final jasa konstruksi ditanggung pemerintah.Â
Â
- Pembebasan Dari Pemungutan Pph Pasal 22 Impor
Â
Insentif ini diberikan bagi Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 730 bidang usaha tertentu (sebelumnya Nomor SP- 05/2021721 bidang usaha), perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat mendapat insentif pembebasan dari pemungutan PPh pasal 22 impor.
Â
- Pengurangan Angsuran Pph Pasal 25
Â
Pengurangan angsuran PPh pasal 25 akan didapat oleh wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 1.018 bidang usaha tetentu, perusahaan KITE, atau perusahaan yang berada dikawan berikan mendapat pengurangan angsuran PPh pasal 25 sebesar 50% dari angsuran yang seharusanya terutang.Â
Â
- insentif PPN
Â
Di dapatkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) beresiko rendah yang bergerak di salah satu dari 725 bidang usaha tertentu, perusahaan KITE, atau perusahan di kawasan berikat yang mendapat insentif restitusi dipercepat hingga jumlah lebih bayar paling banyak 5 miliar.
Manfaat Kebijakan Insentif Pajak
Adanya kebijakan insentif pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat dirasakan manfaatnya terutama oleh para pelaku usaha. Di tengah kelesuan daya beli masyarakat selama era pandemi, pemasukan yang diterima oleh para pelaku usaha menurun secara drastis hingga terjadinya kontraksi ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi. Tetapi, dengan adanya kebijakan insentif ini akan membantu cash flow wajib pajak yang tertekan karena terdampak krisis.
Insentif pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah menurut Ajib Ketua Hippmi dapat bermanfaat bagi para pelaku usaha untuk memilki ruang likuiditas dalam mengerakan roda perekonomian. Diharapkan, dengan pemanfaatan kebijakan insentif pajak ini, mampu memberikan pertumbuhan ekonomi secara kumulatif bisa mencapai positif 2%.
Menurut Suryadi seperti yang di kutip oleh Kontan Kebijakan insentif pajak akan sangat bermanfaat jika pada praktikna dapat diberikan secara adil bagi semua pelaku usaha.Â
Jika itu tercapai, stimulus fiskal ini dapat menjadi daya bangkit ekonomi yang lesu di era pandemi. Selain itu, pemanfatan secara maksimal kebijakan fiskal ini dapat meringkan pelaku usaha dari kewajiban pajak yang diemban. Insentif pajak yang diberikan pemerintah cukup memberikan manfaat bagi wajib pajak dalam menjaga kelangsungan hidup usahanya. Apabila dunia usaha dapat bangkit kembali dengan adanya kebijakan ini, maka pemulihan ekonomi nasional dapat berlangsung lebih cepat dan memenuhi harapan semua pihak.
Â
Dampak Negatif KebijakanÂ
Kebijakan insentif fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah memang terkesan membantu para pelaku usaha. Namun, disisi lain kebijakan ini memiliki dampak yang tidak menguntungkan bagi an negara. Pada periode pertama kebijakan insentif pajak ini diberlakukan, negara mengalami penurunan secara dramatis pemasukan kas negara.Â
Pengurangan pemasukan tesebut menurut Sri Mulyani diakibatkan karena adanya kebijakan insentif pajak sehingga menimbulkan negative growth pada pemasukan negara. Sri Mulyani mengatakan realisasi penerimaan pajak hingga akhir Juni 2020 senilai Rp531,7 triliun atau 44,4% terhadap target APBN 2020 yang sudah diubah sesuai Perpres No. 72/2020 senilai Rp1.198,8 triliun. Sebagai perbandingan, realisasi penerimaan pajak selama enam bulan pertama pada 2019 tercatat senilai Rp604,3 triliun atau 38,3% terhadap target. Performa tersebut sekaligus tercatat mengalami pertumbuhan 3,9%.
Dengan turunya penerimaan negara tersebut akan berdampak pada penurunan tabungan nasional yang memicu naiknya tingkat suku bunga. Implikasi dari hal tersebut adalah terjadinya penurunan investasi yang masuk ke Indonesia. Tentu hal ini akan sangat merugikan bagi negara, sebab ketika tingkat investasi rendah akan berdampak pada rendahnya persediaan modal dan persediaan output.Â
Jika hal tersebut terjadi maka konsumsi dan kesejahteran ekonomi akan menurun. Selain itu, dengan adanya defisit tabungan nasional, orang-orang akan tergerak untuk meminjam dana dari luar negeri untuk mendanai investasi. Hal ini akan berimplikasi terjadinya defisit perdagangan. Â Negara secara tidak langsung menjadi berutang pada negara-negara asing sehingga utang luar negeri menjadi lebih besar.
Oleh karena itu, output negara akan cenderung lebih kecil dan proporsi output yang lebih besar didominasi oleh pihak/negara asing. Kronologi sistematis dari kebijakan tersebut hanya akan membuat negara mewariskan defisit anggaran dan utang negara saat ini kepada generasi mendatang.
Oleh Farhan Qudratulloh Ginanjar, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H