Mohon tunggu...
Ferdian
Ferdian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kuliah Umum Kapolri di Universitas Tanjungpura Kalbar

6 Maret 2017   19:03 Diperbarui: 6 Maret 2017   19:35 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolri (dokumentasi pribadi)

Pontianak, – Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menyampaikan Kuliah Umum di kampus Universitas Tanjungpura Pontianak, Senin (6/3). Tito menyampaikan materi bertema “Perkembangan Demokratisasi dan Globalisasi Serta Dampaknya Bagi Kebhinnekaan Indonesia.”

Lebih dari seribu orang menghadiri acara kuliah umum tersebut yang sebagian besar berasal dari mahasiswa dan civitas akademika Universitas Tanjungpura. Rektor Universitas Tanjungpura Thamrin Usman dalam sambutannya menyatakan bahwa acara kuliah umum tersebut juga dihadiri oleh para rektor perguruan tinggi ternama se Kalimantan antara lain Rektor Universitas Lambung Mangkurat Sutarto Hadi, Rektor Universitas Borneo Tarakan Bambang Widigdo, dan Rektor Universitas Palangkaraya Ferdinand.

Adapun rombongan Kapolri yang datang dari Jakarta antara lain Asisten SDM Polri Arief Sulistyanto, Asisten Logistik Eko Hadi Sutedjo, Kakorlantas Royke Lumowa, Kadiv Humas Boy Rafli Amar, Kapusdokes Arthur Tampi, dan Kapusjarah Istu Hari Winarto.

Kapolri mengawali pidatonya dengan penekanan tentang pentingnya bangsa Indonesia merawat kebhinnekaan. Menurutnya, hampir tidak ada bangsa di dunia yang menyerupai Indonesia dalam hal keberagaman. Dalam konteks itu dia merasa senang perayaan Cap Go Meh di Kalimanan Barat berlangsung tertib dan lancar.

“Bukan hanya soal aman yang penting. Tapi keamanan itu menunjukkan bahwa kebhinnekaan di Singkawang Kalimantan Barat tetap terpelihara dengan baik,” kata Tito di Auditorion Universitas Tanjungpura, Senin (6/3).

Menurut Tito, Bangsa yang beragam dengan perberdaan suku bangsa, agama, dan ras yang taken for granted dimiliki bangsa Indonesia mengandung potensi konflik yang harus dikelola dengan baik.

“Teori managemen konflik menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki interestmasing-masing. Bahkan kelompok terkecil yang ada dalam keluarga pun juga bisa berujung pada konflik,” katanya.

Karena itulah menurut Tito, segala bentuk perbedaan harus direduksi dan diminimalisir agar komponen bangsa terus bersatu dalam titik temu yang sama. Dikatakannya, bangsa Indonesia dibangun di atas segala perbedaan tapi tetap bersatu karena disatukan oleh kepentingan bersama (common interest).

“Jadi apa yang menjadi kepentingan bersama kita sebagai bangsa itu harus diekspoitasi, diekspose secara besar-besaran. Sedangkan perbedaan harus diperkecil dan diminimalisir,” tegas Tito.

Pada kesempatan tersebut, terdapat sesi penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Polri dengan Kampus Universitas Tanjungpura yang diwakili oleh Kepala SDM Arief Sulistyanto dan Rektor Untan Thamrin Usman. MoU tersebut berisi kerjasama tentang penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, pengkajian, penelitian, serta pengembangan kelembagaan.

Usai memberikan Kuliah Umum di kampus Universitas Tanjungpura, Kapolri sempat meninjau acara Bulan Bhakti Kesehatan Polri di Kampus Untan yang juga dihadiri ratusan orang. Disana Kapolri menyaksikan khitanan massal, pengubatan gratis dan memberikan bantuan alat kesehatan bagi penyandang cacat.

Setelah itu Kapolri dijadwalkan akan memanfaatkan waktunya di Pontianak untuk acara internal kepolisian lainnya, seperti meresmikan Pontianak Command Center di Mapolresta Pontianak, menjadi inspektur upacara apel siaga penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), serta sejumlah rangkaian kegiatan lainnya.

Sejak dilantik menjadi Kapolri pada 13 Juli 2016, Jenderal Pol. Tito Karnavian rajin memenuhi undangan untuk memberikan kuliah umum di kampus perguruan tinggi dan berdialog di forum-forum yang digelar oleh aktivis mahasiswa. Dalam catatan Sayangi.Com, Tito setidaknya sudah menyampaikan kuliah umum di 10 perguruan tinggi.

Pesan Moral

Apa pesan moral yang ingin disampaikan Kapolri, melalui paparan yang komprehensif tentang berbagai dinamika dalam percaturan politik global?

Kepada para mahasiswa, Tito mengingatkan pentingnya memahami sejarah dan peta politik global, pandai menganalisis situasi, tidak gegabah menyatakan pro atau kontra terhadap hal-hal baru, juga tidak mudah terprovokasi oleh informasi palsu atau tidak jelas sumbernya.

“Indonesia tidak berada di ruang vakum yang terisolasi, tapi menjadi bagian dari sistem dunia yang saling berinteraksi,” kata Tito.

Karyono Wibowo, peneliti senior Indonesia Public Insitute (IPI), mengaku tertarik dengan paparan Tito Karnavian tentang peta politik internasional serta pengaruhnya terhadap ekonomi, politik, dan keamanan di Indonesia.

“Itu bagus dan penting untuk dipahami kita semua, bukan cuma mahasiswa,” kata Karyono, kepada Sayangi.Com, Minggu (5/3).

5 Poin Penting

Paparan Kapolri tentang sejarah dan percaturan politik global, secara umum dapat disarikan menjadi 5 poin penting, seperti berikut ini.

Era Perang Dingin

Setelah Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jerman dan Jepang, dunia memasuki era perang dingin (1945-1990) antara Blok Barat yang berpaham liberal/kapitalis Versus Blok Timur yang berideologi komunis. Di era ini ada keseimbangan kekuatan (balance of power) antara AS beserta negara-negara sekutunya melawan Uni Sovyet beserta negara sekutunya. Kedua negara super power itu tidak mau berperang secara langsung karena sama-sama punya senjata nuklir. Maka, perang yang terjadi adalah non-traditional war atau sering disebut sebagai proxy war, yakni perang dengan menggunakan pihak ketiga.

Di era perang dingin, Indonesia punya posisi tawar (bargaining position) yang cukup kuat terhadap Blok Barat dan Blok Timur. Apalagi, Presiden Soekarno sangat disegani di Gerakan Non Blok (GNB). Saat itu Bung Karno cukup berhasil menjalankan politik luar negeri dua kaki, dengan merangkul kedua Blok, satu saat mendekat ke Barat dan di saat lain mendekat ke Blok Timur.

Gelombang Demokrasi Liberal

Tito berpendapat, jatuhnya Pemerintahan Soeharto tidak murni karena faktor dalam negeri, melainkan ada faktor setting dari luar negeri karena Indonesia dianggap sebagai negara totaliter. Prosesnya diawali oleh krisis finansial, diduga akibat peran George Soros yang menjalankan operasi untuk menghantam nilai mata uang di beberapa negara Asia Tenggara. Tahun 1997 mata uang Thailand, Bath, jatuh. Selanjutnya nilai kurs rupiah juga jatuh hingga dalam beberapa bulan melemah tajam dari Rp2.400 per dolar AS menjadi Rp15.000 per dolar AS. Perbankan menaikkan bunga sampai 50% untuk mencegah agar nasabah tidak menarik uangnya atau rush. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, terjadi chaos di masyarakat, Presiden Soeharto akhirnya mundur pada Mei 1998.

Suka atau tidak suka, kata Tito, sejak tahun 1999 Indonesia sudah memasuki era demokrasi liberal yang ditandai dengan menguatnya peran parlemen, kuatnya pengaruh media sebagai pilar keempat demokrasi, supremasi hukum, dan menguatnya HAM. Di bidang ekonomi juga terjadi liberalisasi di sektor keuangan dan perdagangan.

Tito mejelaskan perbedaan pilihan antara Indonesia dan Malaysia. Mantan PM Malaysia Mahatir Muhammad, pernah menjelaskan bahwa ada dua arah dalam menjalankan negara, salah satunya harus diprioritaskan, yaitu jalan demokrasi atau jalan kesejahteraan. Malaysia memilih jalan kesejahteraan lebih dahulu, juga Singapura.

Dunia Memerlukan Superpower Baru

Situasi dunia yang monopolar, kata Tito, merugikan negara-negara berkembang dan anggota GNB seperti Indonesia karena tak lagi memiliki posisi tawar yang kuat. Agar terjadi balance of power di tataran global, perlu ada superpower baru sehingga situasi global menjadi bipolar atau tripolar.

Negara apa saja yang memenuhi syarat itu? Tito menyebut, AS sudah jelas merupakan superpower. Rusia juga sudah menjadi superpower karena punya penduduk besar, menguasai teknologi, wilayahnya terbentang sangat luas dengan 11 time zone, dan punya sumber daya alam melimpah. India dan Indonesia sebetulnya memenuhi syarat untuk menjadi negara superpower, namun lower class di kedua negara ini masih sangat besar. Lower Class di India bahkan jauh lebih besar dari Indonesia. China, dengan perkembangan teknologi dan ekonominya saat ini, merupakan negara yang paling berpotensi menjadi super power baru.

Tito menceritakan perubahan dahsyat negara China yang ia saksikan sendiri. Pada tahun 1998, saat pertama ke Beijing, ia melihat masih banyak sepeda di jalan-jalan protokol. Tahun 2000 saat kembali ke Beijing sudah banyak sepeda motor. Tahun 2004 saat mengikuti sebuah konferensi internasional, ia melihat banyak gedung bertingkat baru dan mobil bagus di Beijing. Tahun 2010, Tito mengaku kaget melihat perubahan drastis Kota Beijing, mulai dari MRT, mobil-mobil bagus bersliweran, dan tidak ada lagi permukiman
 kumuh.

Kebangkitan China dengan kekuatan ekonominya, menurut Tito, bagus untuk menciptakan keseimbangan dunia. Ditambah dengan Rusia, situasi dunia berpotensi menjadi tripolar. Situasi ini bagus untuk negara seperti Indonesia, karena jika kita ditekan oleh satu superpower, kita bisa mengadu kepada dua superpower lainnya.

Peluang Bagi Indonesia

Di tengah dinamika persaingan AS dan China saat ini, Indonesia punya tiga pilihan seperti di era perang dingin. Pertama, Indonesia ikut ke salah satunya dengan risiko akan dimusuhi oleh satu lainnya. Kedua, memusuhi keduanya dengan risiko akan dihimpit oleh dua kekuatan besar itu. Ketiga, Indonesia merangkul keduanya dengan strategi sedemikian rupa agar keduanya mendukung kepentingan nasional Indonesia.

“Saya pilih opsi yang ketiga. Yang terpenting, mereka jangan sampai terlalu dominan dan kemudian mengacak-acak kedaulatan negara kita. Sederhananya, kita ambil uangnya tapi kita yang mengatur,” kata Tito.

“Turis di Bali dulu didominasi dari Australia. Sekarang, turis asing yang mengisi hotel-hotel berbintang di Bali, banyak asal China. Demikian juga dengan Manado, sekarang kewalahan menyediakan kamar hotel dan restoran untuk melayani melonjaknya turis asal China yang terbang langsung ke kota itu,” kata Tito.

Dua peluang lainnya, adalah di sektor properti dan menarik investasi untuk berbagai sektor seperti pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur.

Menurut Tito, Amerika tetap penting bagi Indonesia. Tapi, melihat arah kebijakan Presiden Donald Trump yang proteksionis dan mengedepankan kepentingan dalam negerinya (America First), saat ini Indonesia sulit berharap kepada AS dari sisi ekonomi.

Tito juga menyinggung soal adanya pandangan yang mempersoalkan sektor swasta di dalam negeri yang dikuasai para Taipan atau pengusaha keturunan Tionghoa.

Tito mengemukakan, untuk kemajuan di bidang ekonomi, Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan belanja APBN yang jumlahnya kurang dari Rp2.000 triliun. Perlu mengundang sektor swasta, baik dari luar negeri maupun sektor swasta dalam negeri.

Fenomena Non-State Actor

Non-state actor adalah pelaku-pelaku bukan negara yang punya pengaruh besar terhadap suatu negara dan bahkan punya jaringan internasional yang kuat. Yang menonjol antara lain Palang Merah Internasional, FIFA sebagai badan internasional yang mengendalikan olahraga sepakbola di dunia, berbagai lembaga keuangan tingkat dunia, dan ILO yang mengorganisir buruh sedunia.

“Pergulatan politik internasional tentu akan memberikan pengaruh terhadap stabilitas nasional Indonesia. Tidak mustahil, kekuatan-kekuatan dari luar itu akan menggunakan kekuatan yang ada di dalam negeri untuk menjadi alat kepentingan mereka,” kata Tito.

Dalam konteks itu, Tito menegaskan perlunya bangsa Indonesia untuk terus memperkuat persatuan dan ketahanan bangsa. Jika tidak, Indonesia akan mudah dimasuki oleh paham-paham asing yang radikal dan tidak sesuai dengan falsafah Pancasila. Pada akhirnya, pengaruh asing itu bisa memecah belah bangsa Indonesia.

Tito mengingatkan, radikalisme dan terorisme tidak dapat diidentikkan dengan salah satu agama, termasuk Islam. Terorisme biasanya dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada masyarakat sipil non kombatan dengan tujuan politik dan ideologi. Tipologinya banyak.

Aksi teror yang dilakukan oleh sekte Aum Shin Rikyu dengan meledakkan gas sarin di kereta bawah tanah di Jepang dilakukan oleh ekstremis Budha. Aksi teror di Irlandia Utara terkait konflik antara Kristen Katolik dan Protestan. Bom Oklahoma yang meledakkan gedung FBI dilakukan oleh ekstremis kristen. Di Sri Lanka juga demikian, selain alasan kesukuan (Tamil Tiger) juga ada konflik agama antara Hindu dan Budha.

Tito mengajak perguruan tinggi untuk berperan serta menangkal paham radikal dengan cara melakukan kajian yang kritis terhadap ideologi tersebut, memberi penjelasan kepada masyarakat, dan melakukan counter terhadap radikalisme.

sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun