Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Petani Tua dan Sang Petugas Pajak

31 Desember 2015   12:43 Diperbarui: 31 Desember 2015   16:55 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petani tua terhenyak, tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan keluarganya tanpa sawah dan rumah. Sekarang saja hidup sudah begitu sulit, betapa lebih berat jika tak ada tempat tinggal dan tak ada lahan untuk diusahakan.

Petugas pajak menghitung-hitung lagi. "Anakmu lima dan empat masih menjadi tanggunganmu. Ditambah dengan istrimu. Tak ada kebun, tak ada kolam ikan, tak ada pekerjaan bebas lain. Tapi, dengan sawah seadanya keluargamu masih hidup. Pasti kamu punya pendapatan lain yang belum kamu laporkan."

Pak tua tertunduk. "Tidak ada, Tuan."

Pak tua mengedarkan pandangan ke sekeliling dinding rumah yang terlihat reyot - berharap sang petugas paham. Dua kursi rotan yang kakinya tak lagi seimbang dan meja dari kayu kelapa adalah perangkat perabot satu-satunya di ruang tengah itu. Dipan rongsok di dua kamar yang sempit dan tikar yang digelar di ruang tengah setiap malam sebagai alas tidur seharusnya jadi petunjuk sulitnya ekonomi yang dihadapi pak tua. Begitu juga dengan perangkat memasak yang cuma susunan tiga batu serta panci dan kuali hitam bakar.  

"Kamu pasti menyembunyikan sesuatu," desak sang petugas sambil mencondongkan tubuhnya mendekati pak tua. Pak tua beringsut sedikit ke arah belakang.

Sang petugas mendekatkan wajahnya ke wajah pak tua dan menatap tajam,"Ayo mengakulah! Kamu tak mungkin bisa hidup hanya dari sawah yang luasnya seuprit begitu."

Pak tua masih diam. Terbayang bagaimana setiap hari dia dan anak-anaknya mencukupkan beras yang hanya layak untuk dua orang untuk dikonsumsi berenam. Bagaimana mereka harus membagi sepotong ikan asin kecil dan bergantian untuk mendapatkan jatah bagian kepala atau ekor. Sementara pak tua larut dalam pikirannya, sang petugas tak berhenti menghardik, menggerung dan menggerutu, tak sabar menunggu kebisuan pak tua.

Pak tua berpikir lama. Sangat dalam. Semua penjelasannya sia-sia. Sang petugas datang dengan mandat untuk menarik pajak sebesar-besarnya dari setiap warga dan tak bakal membebaskannya juga. Lamat-lamat dia berucap," Baiklah... Saya mengaku, Tuan. Saya punya sumber penghasilan lain."

Si petugas menyeringai,"Nah begitu."

Matanya berkejap-kejap dan sedikit menelengkan kepala dia bertanya," Seberapa banyak ?"

Pak tua menegakkan badannya yang tadi sedikit membungkuk. "Sangat banyak. Saya mendapatkannya di tempat rahasia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun