"Sesekali kusuruh pak Tono datang untuk membersihkan rumah dan mengirim bahan makanan." Dia menyebut tukang kebunnya yang bisu-tuli sambil membuka gembok.
"Aku tidak ingin Kencana datang ke sini dan menyaksikan semuanya."
Bangunan dengan dua kamar itu memiliki teras menghadap punggung gunung. Aku berusaha mengatur napasku yang tersengal-sengal mengikutinya memasuki ruangan menuju salah satu kamar yang luasnya cukup mendukung untuk melakukan aktivitas harian.
Ada meja makan berkursi dua. Sofa panjang menghadap sebuah pesawat TV serta kamar mandi dalam. Meskipun bersih kondisinya sedikit berantakan.
Sesosok perempuan dalam balutan gaun panjang dan rambut terurai kusut masai berdiri mematung tengah berdiri di teras memunggungi kami. Lelaki itu mendekatinya dengan langkah perlahan. Membalikkan tubuhnya yang kaku bagai patung kearahku.
Aku terperangah menatap wajah tanpa ekspresi itu. Bagai kembaran Kencana. Menyimpan kecantikan abadi yang tragis.
"Dia ibu Kencana." Lelaki itu melingkarkan lengannya ke bahu perempuan yang sama sekali tidak menyiratkan cahaya kehidupan itu dengan penuh perasaan.
" kau pernah mendengar penyakit yang diturunkan selama beberapa generasi kepada kaum perempuan?"
Lelaki itu menarik napas dalam-dalam sambil menyusut wajahnya yang penuh derita. Memandangku lekat seraya mendekati istrinya. Mendudukkannya di kursi goyang dengan sikap amat lembut.
"Penyakit itu secara medis disebut Post Partum Psychosis. Istriku mewarisi ini dari nenek maupun ibunya. Keduanya meninggal di sanatorium dalam keadaan amat memilukan."
Kurasakan kerongkonganku kering. Disekat rasa haru.