"Rasanya tidak mudah untuk meyakinkanmu agar jangan mendekati putriku."
Ia memandangku. Wajahnya dipenuhi gurat-gurat kepedihan dan putus asa. Â Meskipun begitu ia masih mencoba meyakinkanku.
"Percayalah. Itu juga demi kebaikanmu!"
Aku mengendurkan sikap konfrontatifku. Yakin lelaki ini bisa kukendalikan.
"Aku sungguh mencintai putri bapak dan ingin menikahinya." Aku mencoba meyakinkannya. "Jangan menghalangi kami seperti yang sudah-sudah."
Aku mendekatinya. Menggenggam tangannya.
"Bapak sudah membuat dia hampir gila karena terus-menerus ditinggalkan. Tapi aku tidak akan melakukannya!" Tekadku.
Namun ia terus menggeleng seraya menarik napas berat.
"Sesungguhnya engkau tidak tahu keadaan sebenarnya." Keluhnya seraya mencoba mengerahkan segenap upayanya guna meyakinkanku.
"Kencana adalah satu-satunya buah hatiku. Kau kira aku tidak mencintainya hah?"
Ia terus meremas dan mengguncang tanganku.