Rasa cemasnya muncul kembali setelah kondisi tubuhku bersih dan melihat keningku yang benjol keunguan.
"Siapa yang memukulmu hingga seperti ini?" Ia mengusap wajahku.
"Entahlah..... seseorang mencoba membegalku tadi." Aku berusaha menghindar.
Spontan dia berdiri membeku.
"Semalam papaku turun dari vila. Apa dia yang melakukannya?"
Sorot matanya setajam pisau. "Dia mencoba membunuhmu?"
Aku berusaha menghimpun segenap kemampuan untuk meredakan kecemasannya yang kukuatirkan bisa memicu ledakan emosinya yang liar. Â Kuraih dirinya. Memeluknya erat.
"Kencana, percayalah ayahmu tidak akan berani berbuat apapun terhadapku," bisikku menenangkannya. "Engkau harus percaya kepadaku."
Kuusap punggungnya. "Aku bisa melindungimu dan anak kita."
Agar tidak memperparah suasana Kencana kudesak pulang secepatnya. Siapa tahu sang ayah sedang menunggunya di rumah. Untung ia menurut.
Kini aku pun  tahu langkah hukum yangharus kutempuh guna menghadapi ayah Kencana: melaporkannya ke pihak berkewenangan. Untuk menguak lebih jauh misteri keluarga tersebut aku perlu mendatangi sang Kepala Desa yang notabene merupakan kakek Kencana. Mustahil ia tidak ingin mengusut kematian putrinya dan mengetahui keberadaan jazadnya sesungguhnya. Kuburan kosong itu telah berhasil mengelabui Kencana sepanjang hidupnya.