Menjelang dini hari aku terbangun ketika mencium bau busuk yang menyengat. Sebagian berasal dari tubuh sendiri. Sehingga aku hampir yakin diriku sudah meninggal dan kini jenazahku mulai membusuk. Sumber bau lainnya berasal dari mulut seorang lelaki tua yang wajahnya berada hanya beberapa cm diatas wajahku. Ia sedang mencermati keadaanku dengan gelisah. Ekspresinya memudar tatkala aku mulai membuka mata.
"Syukurlah kau tidak mati!" Katanya dengan suara paraunya yang menjengkelkan.
Aku meraba keningku yang memar. Bekas hantaman benda tumpul yang cukup keras. Kepalaku serasa berdenyut-denyut. Sementara seluruh tubuhku menjadi kaku lantaran terbalut lumpur yang mulai mengering.
Aku mencoba menjernihkan pikiran. Berangsur ingatanku pulih. Sadar kini aku sedang dalam bahaya. Berada di bawah kekuasaan seorang pembunuh didampingi pelayannya yang meskipun sudah tua namun badannya besar dan kekar. Gumamannya  tak jelas "a...a....u....u....!" Sambil menunjuk-nunjuk diriku.
Tanpa membangkitkan rasa curiganya aku mencoba bangun. Lelaki tua yang rupanya ayah Kencana membantu dengan menahan bahuku. Saat itulah secara reflek kudorong tubuhnya hingga tersungkur ke lantai. Sang pelayan yang mencoba menghadangku di pintu kuhadiahi bogel mentah yang rupanya lumayan. Ia surut sambil mengusap wajahnya seraya meringis kesakitan.
Aku lari secepatnya menjauhi bangunan yang belakangan kuketahui sebagai tempat tinggal tukang kebun keluarga Kencana. Semalam aku disekap di sana setelah dihantam hingga pingsan dan diseret dari kuburan yang tengah kugali.
Aku meluncur menerobos keluar dari hutan bambu, melewati padang rumput hingga mencapai rumah kecil berlantai dua yang kupondoki. Â
Langit sudah mulai terang tatkala aku sampai. Kencana sedang duduk di undakan depan pintu masuk dengan kepala menelungkup. Entah sejak kapan. Dia langsung melompat bangun menyongsongku yang penampilannya mirip sesosok yeti nyaris tak berwujud itu. Menjerit ketakutan.
"Apa yang sudah terjadi denganmu!"
Aku menahan tubuhnya agar tak melekat ke tubuhku yang kotor luar biasa.
"Tidak apa-apa," sergahku. "Aku mencoba menangkap kelinci lantas terguling jatuh ke lumpur." Aku berdalih sekenanya. Eh dia percaya. Menyeringai sambil mengikuti ke kamar mandi.