Mohon tunggu...
Fandy Arrifqi
Fandy Arrifqi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sedang berusaha menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dakwah Politik: Penggunaan Agama sebagai Instrumen Mobilisasi Politik oleh Partai Keadilan Sejahtera

19 Agustus 2021   14:49 Diperbarui: 19 Agustus 2021   15:00 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Dalam sistem demokrasi, partai politik berperan sebagai perantara masyarakat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan. Melalui mekanisme pemilu, masyarakat dapat memberikan suara kepada partai politik yang dianggap mewakili kepentingannya. Oleh sebab itu, partai politik berusaha untuk membangun hubungan dengan masyarakat. Usaha partai politik untuk membangun hubungan dengan masyarakat dilakukan dengan melakukan rekrutmen dan pendidikan kader (Budiardjo, 2008).

Di Indonesia, partai yang masif melakukan rekrutmen dan pendidikan kader adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI melakukan rekrutmen dan pendidikan kader melalui organisasi-organisasi underbouw-nya seperti Lekra, Pemuda Rakjat, Gerwani, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Melalui organisasi underbouw ini, PKI melakukan rekrutmen dan pendidikan kader kepada masyarakat sesuai segmentasi dari masing-masing organisasi underbouw.

Dibubarkannya PKI dan naiknya rezim orde baru merubah tatanan partai politik yang ada di Indonesia. Partai politik disederhanakan menjadi tiga partai politik saja. Selain itu, ada juga kebijakan massa mengambang. Kebijakan massa mengambang ini menyebabkan partai politik kehilangan ikatannya dengan masyarakat (Budiardjo, 2008).  

Runtuhnya rezim orde baru dan dimulainya periode reformasi kembali mengubah tatanan partai politik di Indonesia. Masyarakat diizinkan kembali untuk mendirikan partai politik. Akibatnya, jumlah partai politik peserta Pemilu tahun 1999 melonjak sampai 48 partai (Budiardjo, 2008). 

Walaupun jumlah partai meningkat drastis, dikotomi ideologi partai politik terbatas pada dua kutub saja, yaitu partai nasionalis dan partai Islam. Dikotomi ideologi ini sendiri tidak kaku dan bersifat fleksibel. Artinya, partai nasionalis dan partai Islam bisa saja berkoalisi satu sama lain. Hal ini disebabkan adanya pergeseran partai ke tengah dan menjadi catch-all party (Mietzner, 2008).

Salah satu partai yang berdiri di era reformasi adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS merupakan partai Islam yang berdiri tidak lama setelah rezim orde baru runtuh. Tulisan ini akan membahas perkembangan PKS dari awal pendirian sampai saat ini. Cakupan pembahasan tulisan ini akan berfokus pada analisis proses rekrutmen dan mobilisasi kader yang dilakukan oleh PKS.  

Landasan Teori

Mengutip dari Heidar (2006), keanggotaan partai politik adalah hubungan formal antara seorang individu dengan partai politik sebagai sebuah organisasi. Dengan adanya hubungan formal ini, seorang anggota partai politik akan mendapatkan hak dan kewajibannya dalam partai politik tersebut. 

Salah satu contoh hak dan kewajiban tersebut adalah hak untuk ikut memutuskan kebijakan partai politik dan kewajiban untuk membayar iuran rutin. Oleh karena itu, partai politik biasanya melakukan pencatatan terhadap anggotanya.

Selain bersifat individual, keanggotaan partai politik juga bisa bersifat kolektif. Keanggotaan kolektif partai politik berupa hubungan antara partai politik dengan organisasi non-partai lain. Hubungan antar organisasi ini biasanya berlandaskan pada kesamaan ideologi dan arah gerak. Salah satu contohnya adalah hubungan antara partai sosialis dengan serikat pekerja. 

Dengan adanya hubungan antar organisasi ini, seorang anggota partai politik juga memiliki kewajiban untuk mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi mitra partai politik tersebut. Misalnya, seorang anggota partai politik yang berideologi religius akan mewajibkan anggotanya untuk mengikuti kegiatan keagamaan yang dilaksanakan organisasi keagamaan mitra partai politik tersebut (Heidar, 2006).

Heidar membagi keanggotaan partai politik ke dalam tiga bentuk, yaitu individual, auxiliary, dan kolektif. Keanggotaan individual adalah ketika seorang individu mendaftarkan dirinya untuk menjadi anggota suatu partai politik. Ia, secara personal, akan menyetujui syarat dan ketentuan yang berlaku untuk menjadi anggota partai politik tersebut. 

Keanggotaan auxiliary adalah ketika seseorang menjadi anggota dari organisasi underbouw partai politik. Contoh dari organisasi ini adalah organisasi kepemudaan dan organisasi perempuan partai politik. Keanggotaan kolektif adalah keanggotaan seseorang pada organisasi yang memiliki hubungan dekat dan informal dengan partai politik tertentu. Contohnya adalah hubungan antara serikat pekerja dengan partai sosialis di Eropa (Heidar, 2006).

Alasan seseorang untuk bergabung menjadi anggota partai politik pun beragam. Alasan-alasan itu antara lain adalah untuk mendapatkan keuntungan materi, mendapatkan pengaruh, dan mengekspresikan pandangan politik. Menurut survei yang dilakukan di Inggris, Irlandia, dan Skandinavia menunjukan bahwa sebagian orang di negara-negara tersebut bergabung dengan partai politik untuk memperjuangkan ideologi yang dianutnya dan mengadvokasikan suatu kebijakan pemerintah (Heidar, 2006). 

Dengan adanya keanggotaan partai politik ini, partai politik mendapatkan tenaga untuk melakukan kampanye politik dan menjalankan urusan administrasinya. Anggota partai politik dapat dimobilisasi untuk keperluan elektoral, seperti melakukan kampanye dan merekrut anggota baru. Selain itu, dengan adanya keanggotaan partai politik, partai politik dapat mengumpulkan aspirasi dari masyarakat untuk diadvokasikan di tingkat pemerintahan (Heidar, 2006).

Salah satu bentuk mobilisasi anggota partai politik yang penting adalah pengerahan anggota partai politik untuk melakukan komunikasi politik dengan masyarakat. Tujuan dari komunikasi politik ini adalah untuk mengajak masyarakat agar terlibat dalam proses politik, baik dalam bentuk mengikuti pemilu maupun dengan menjadi anggota partai politik. 

Proses komunikasi politik dengan masyarakat ini merupakan cerminan dari kekuatan organisatoris sebuah partai politik. Oleh sebab itu, usaha komunikasi politik dengan masyarakat ini membutuhkan sumber daya yang besar (Karp & Banducci, 2007).

Target dari komunikasi politik ini sangat bergantung dari strategi yang diterapkan oleh partai politik. Ada dua strategi komunikasi politik ke masyarakat, yakni mobilization strategy dan conversion strategy. Mobilization strategy berarti anggota partai hanya akan menghubungi kelompok masyarakat yang memang sudah menjadi basis pendukung partai politiknya. 

Tujuannya adalah untuk memobilisasi basis massa pendukung dari partai politik tersebut. Di sisi lain, conversion strategy akan menyasar kelompok masyarakat potensial yang merupakan basis pendukung partai politik lain maupun basis swing voter. Tujuan dari conversion strategy adalah untuk membujuk masyarakat agar mau memberikan suaranya kepada suatu partai politik (Karp & Banducci, 2007).

Proses komunikasi politik ke masyarakat ini cukup signifikan untuk kepentingan elektoral suatu partai politik. Masyarakat yang dihubungi oleh partai politik memiliki kemungkinan besar untuk memberikan suaranya kepada partai politik yang menghubunginya. 

Selain itu, dengan conversion strategy, kelompok masyarakat potensial memiliki kemungkinan untuk memberikan suaranya jika dihubungi oleh partai politik, terutama jika mereka dihubungi oleh orang atau tokoh yang mereka percaya (Karp & Banducci, 2007).

Selain dengan komunikasi politik ke masyarakat, proses rekrutmen partai politik juga bisa melalui organisasi underbouw partai politik. Organisasi underbouw partai politik dapat menjaring masyarakat berdasarkan segmentasi dari organisasi underbouw tersebut. Dengan begitu, partai politik dapat menyentuh seluruh segmentasi masyarakat. Melalui organisasi underbouw tersebut, partai politik dapat memberikan pelatihan dan pemberdayaan kepada anggota-anggotanya. Selain itu, dengan adanya organisasi underbouw, partai politik dapat melebarkan sayap partai agar dapat menarik dukungan masyarakat yang lebih luas lagi. Dengan begitu, organisasi underbouw partai politik memegang peranan penting dalam pemenangan pemilu dan sosialisasi kebijakan partai (Ferdian, Kurniawan, Krisbiantoro, & Indrajat, 2020).

Walaupun tiap partai politik pasti memiliki anggota, namun signifikansi anggotanya berbeda-beda. Pada partai politik bertipe partai massa, peran anggota partai lebih signifikan ketimbang pada partai bertipe catch-all. Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh konteks sosial yang ada di masyarakat. Partai politik yang memiliki segmentasi khusus di masyarakat, seperti agama, ras, dan kelompok sosial, akan memiliki ikatan yang lebih kuat dengan anggotanya (Heidar, 2006).

Perbedaan signifikansi peran kader partai politik tersebut dapat dilihat dari semakin berkurangnya jumlah kader partai politik. Walaupun sudah ada mekanisme rekrutmen melalui mobilisasi anggota partai politik untuk menjalin komunikasi politik dengan masyarakat dan melalui organisasi underbouw partai politik, jumlah anggota partai terus berkurang pada satu dekade ini. Hal ini disebabkan karena partai politik lebih mementingkan kemenangan elektoral ketimbang merepresentasikan suatu kelompok sosial. Akibatnya, partai politik lebih mendahulukan kampanye sederhana untuk menarik suara pemilih ketimbang menggunakan mobilisasi kader (Biezen & Poguntke, 2014).

Selain itu, kemunculan model partai catch-all dan partai kartel juga memiliki pengaruh dalam penurunan jumlah anggota partai politik. Kemunculan partai catch-all menyebabkan hubungan antara partai politik dengan konstituennya menjadi renggang. Hal ini disebabkan karena partai catch-all berusaha untuk mendapatkan suara dari semua kelompok sosial ketimbang hanya merepresentasikan satu kelompok sosial tertentu. Hal ini diperparah dengan adanya fenomena partai kartel. Dengan adanya fenomena partai kartel ini, peran anggota partai semakin termarginalisasi lagi. Hal ini disebabkan karena partai kartel lebih dekat ke negara sebagai upaya mendapatkan keuntungan ekonomi (Biezen & Poguntke, 2014).

Akibat dari munculnya fenomena partai catch-all dan partai kartel ini adalah pertarungan politik hanya menjadi persaingan antar elit partai saja. Partai politik berubah menjadi sebuah organisasi yang independen dan tidak lagi bergantung pada suatu kelompok sosial. Arena pertarungan partai politik pun bergeser dari persaingan jumlah massa ke persaingan dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat negara (Biezen & Poguntke, 2014).

Sejarah Perkembangan Partai Keadilan Sejahtera

Partai Keadilan Sejahtera adalah salah satu partai politik yang berdiri pasca runtuhnya rezim orde baru. Partai ini berdiri pada tahun 1998 dengan nama Partai Keadilan (PK). Pada tahun 2003, PK tidak dapat memenuhi kuota electoral threshold. Akibatnya, PK terpaksa mengubah namanya menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (Yuniartin, 2018).

Sejarah pendirian PKS bisa ditarik kembali sampai tahun 1980-an. Asal mula PKS dimulai dari berdirinya gerakan dakwah di kampus-kampus sekuler yang ada di Indonesia. Berdirinya gerakan dakwah ini disebabkan oleh sikap rezim orde baru yang merepresi pergerakan Islam. Dengan adanya gerakan dakwah ini, kelompok Islam dapat menciptakan gerakan yang bebas dari kontrol negara. Agar lolos dari kontrol negara, gerakan dakwah ini memanfaatkan masjid kampus sebagai pusat gerakannya (Muhtadi, 2008).

Gerakan dakwah di kampus ini pun berkembang pesat. Selanjutnya, berdiri banyak Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di kampus-kampus sekuler yang ada di Indonesia. LDK-LDK ini pun mendirikan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) sebagai usaha untuk meluaskan jaringan dakwah antar kampus. Penguatan jaringan dakwah antar kampus ini pun berhasil menarik perhatian banyak mahasiswa pada saat itu (Muhtadi, 2008).

Pada musyawarah tahunan FSLDK tahun 1988, FSLDK melahirkan organisasi bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Pembentukan KAMMI ini tidak terlepas dari peran gerakan Tarbiyah yang ada di FSLDK. Walaupun begitu, kubu Hizbut Tahrir yang ada di FSLDK menolak pendirian organisasi KAMMI. Pada penghujung era rezim orde baru, KAMMI muncul sebagai organisasi Islam yang vokal menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Soeharto (Muhtadi, 2008).

Setelah runtuhnya rezim orde baru, KAMMI berusaha untuk menginisiasi pembentukan partai politik. Inisiasi ini pun disambut baik oleh gerakan dakwah yang ada di kampus. Inisiasi ini selanjutnya diwujudkan dengan berdirinya Partai Keadilan (PK) yang dalam perkembangan selanjutnya berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (Muhtadi, 2008).

Ideologi Partai Keadilan Sejahtera

Walaupun dalam pendiriannya diinisiasi oleh KAMMI, PKS menolak mengakui adanya hubungan formal dengan KAMMI. Walaupun begitu, tetap ada beberapa kesamaan antara PKS dengan KAMMI. Salah satu kesamaan itu adalah kesamaan ideologi (Muhtadi, 2008).

Ideologi yang dianut oleh PKS dapat dilacak kembali dari gerakan dakwah kampus. Tujuan dari berdirinya gerakan dakwah adalah untuk menegakan syariat Islam di Indonesia. Hal ini banyak dipengaruhi oleh gerakan Ikhwanul Muslimin yang berada di Mesir. Oleh karena itu, ideologi gerakan dakwah ini banyak bersandar pada pemikir muslim seperti Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb (Muhtadi, 2008).

Walaupun memiliki satu tujuan, terdapat perdebatan di internal gerakan dakwah mengenai metode untuk mencapai tujuan tersebut. Kubu Tarbiyah meyakini bahwa untuk menegakan syariat Islam dapat memanfaatkan sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Sebaliknya, kubu Hizbut Tahrir menolak penggunaan sistem demokrasi karena dianggap sesat (Muhtadi, 2008).

Karena kelahiran PKS tidak terlepas dari peran kubu Tarbiyah, maka ideologi yang dianutnya pun mirip. PKS berusaha untuk mentransformasikan ideologi dari gerakan dakwah menjadi sebuah gerakan politik (Muhtadi, 2008). PKS berusaha untuk menegakan syariat Islam secara evolusioner dan gradual. 

Hal ini bisa dilihat dari PKS yang masih memperjuangkan nilai-nilai Islam fundamentalistik. Selain itu, sebagian kader PKS masih mendukung berdirinya khilafah atau, setidak-tidaknya, tegaknya syariat Islam di Indonesia (Rokhmad, 2014).

Rekrutmen dan Mobilisasi Kader Partai Keadilan Sejahtera

Salah satu metode yang digunakan oleh PKS untuk rekrutmen dan mobilisasi kader adalah melalui organisasi underbouw partai. Salah satu organisasi itu adalah Garuda Keadilan. Garuda Keadilan merupakan organisasi kepemudaan yang berada di bawah PKS. Anggota dari Garuda Keadilan terdiri dari pemuda tingkat SMA sampai tingkat mahasiswa (Ferdian, Kurniawan, Krisbiantoro, & Indrajat, 2020).

Proses rekrutmen Garuda Keadilan bersifat tertutup dan berjenjang. Rekrutmen Garuda Keadilan bersifat tertutup karena Garuda Keadilan hanya menerima calon anggota yang beragama Islam dan mempunyai nilai religius yang tinggi. Hal ini tidak terlepas dari ideologi yang dianut oleh PKS. 

Selain itu, kaderisasi di organisasi Garuda Keadilan juga bersifat berjenjang. Jenjang kaderisasi ini merupakan manifestasi dari AD/ART PKS yang menerapkan tingkatan anggota. Akibatnya, setiap anggota Garuda Keadilan harus mengikuti berbagai tingkatan training yang ada (Ferdian, Kurniawan, Krisbiantoro, & Indrajat, 2020).

Selain melalui organisasi underbouw, metode lain yang digunakan oleh PKS adalah dengan memanfaatkan gerakan dakwah. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang historis pembentukan PKS yang berawal dari gerakan dakwah. Oleh karena itu, proses rekrutmen dan mobilisasinya masih berhubungan dengan organisasi KAMMI walaupun tidak ada hubungan formal diantara keduanya (Suseno, 2014).

Karena menggunakan afiliasinya dengan KAMMI, maka proses rekrutmen PKS ini terjadi di tingkat kampus. Proses rekrutmen ini dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dakwah. Kegiatan dakwah ini dikenal dengan nama liqo dan halaqah. Kegiatan liqo dan halaqah ini merupakan adaptasi dari gerakan dakwah yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir. Walaupun begitu, liqo dan halaqah bukan merupakan bagian dari kaderisasi formal KAMMI, karena kaderisasi formal KAMMI bersifat berjenjang dan bernama Daurah Marhalah (Suseno, 2014).

Kelompok liqo dan halaqah terdiri dari 3-12 orang dan dibimbing oleh seorang murabbi atau pembina. Kegiatan yang dilakukan dalam liqo dan halaqah ini adalah mengkaji dan mendiskusikan perihal ajaran-ajaran Islam. Mengenai materi ajaran Islam yang akan dikaji dan didiskusikan, telah diatur dalam sebuah kurikulum atau manhaj. Penentuan kurikulum ini tidak terlepas dari peran kader-kader PKS yang berada di KAMMI (Suseno, 2014).

Peran liqo dan halaqah di sini adalah sebagai instrumen untuk mencari bibit unggul calon kader PKS. Dari kelompok kecil liqo dan halaqah, seorang murabbi akan mengamati anggota-anggotanya. Jika ada yang menurutnya memiliki potensi, murabbi akan merekomendasikan anggota tersebut untuk mengikuti jenjang kaderisasi PKS selanjutnya. Jenjang kaderisasi PKS terdiri dari Training Orientasi Partai 1, Training Orientasi Partai 2, Training Dasar 1, Training Dasar 2, Training Lanjutan 1, Training Lanjutan 2, hingga terakhir yaitu Training Manajemen dan Kepemimpinan Sosial (Suseno, 2014).

Analisis

PKS masih merupakan partai kader. Hal ini dapat dilihat dari sistem rekrutmen kader partai yang kompleks dan ekstensif. Masih berjalannya metode dakwah sebagai wadah rekrutmen kader menunjukan bahwa kader partai masih memiliki signifikansi yang penting bagi PKS. Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Heidar (2006), yaitu kader partai memiliki peran penting untuk melakukan mobilisasi demi kepentingan elektoral.

Mobilisasi kader yang dilakukan oleh PKS dilakukan untuk dua tujuan, yaitu untuk merekrut anggota baru dan menyebarkan gagasan kepartaian. Kader PKS dimobilisasi untuk menjadi murabbi dari sebuah kelompok liqo dan halaqah. Dari kelompok liqo dan halaqah ini, kader PKS yang bertugas menjadi murabbi akan berusaha menginternalisasi nilai-nilai kepartaian kepada anggotanya. Selain itu, murabbi juga sekaligus melakukan seleksi terhadap anggotanya yang memiliki potensi untuk dikader oleh PKS. Oleh karena itu, strategi komunikasi politik kepada masyarakat yang digunakan oleh PKS adalah conversion strategy.

Dengan conversion strategy ini, PKS berusaha untuk meluaskan basis massanya. Usaha meluaskan basis massa ini dilakukan dengan terselubung dibalik kegiatan dakwah. Walaupun dari luar terlihat seperti gerakan menyebarkan ajaran Islam Tarbiyah ala Ikhwanul Muslimin, tetapi di dalamnya diselipkan materi nilai-nilai kepartaian PKS. Akibatnya, usaha perluasan basis massa ini tidak terlihat sebagai suatu gerakan politik sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Salah satu kunci keberhasilan conversion strategy adalah masyarakat harus dikontak oleh tokoh yang mereka percaya. Di sinilah peran penting murabbi sebagai agen partai. Murabbi akan memposisikan dirinya sebagai tokoh agama ketimbang sebagai tokoh politik. Dengan begitu, ia akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh agama. Menurut survei yang dilakukan oleh LSI, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama sebesar 85,1% (Gunadha & Aranditio, 2019).

Selain menggunakan metode dakwah, PKS juga menggunakan organisasi underbouw untuk melakukan rekrutmen dan mobilisasi. Melalui Garuda Keadilan dan KAMMI, PKS melakukan rekrutmen dan pembinaan kader. Proses pembinaan ini dilakukan melalui kegiatan training yang dilakukan di Garuda Keadilan maupun melalui kegiatan liqo dan halaqah di KAMMI. Melalui organisasi underbouw ini pula PKS memobilisasi kadernya untuk menyebarkan nilai-nilai kepartaian serta merekrut kader baru.

Dengan organisasi underbouw juga PKS bisa melebarkan sayap partai. Lingkungan kampus yang tidak bisa dimasuki langsung oleh partai politik dapat dimasuki oleh PKS melalui afiliasi informalnya dengan KAMMI. Begitu juga dengan Garuda Keadilan. Karena segmentasi Garuda Keadilan adalah pemuda tingkat SMA sampai mahasiswa, maka PKS dapat memasuki lingkungan sekolah yang seharusnya bebas dari praktik politik praktis.

Walaupun memiliki basis kader yang kuat, PKS tetap tidak bisa menghindar dari tren pergeseran partai politik menjadi partai catch-all. Demi persaingan elektoral, PKS tidak bisa hanya memanfaatkan suara dari basis gerakan Tarbiyah saja. Oleh karena itu, PKS juga harus menarik simpati dari segmentasi masyarakat yang lain. Walaupun begitu, tidak seperti partai Islam lainnya, PKS dapat tetap menjaga idealismenya mengenai gagasan keislaman yang dianut oleh partai (Mayrudin & Akbar, 2019). Hal ini berkat adanya sistem kaderisasi yang berjenjang dan kompleks. Dengan begitu, quality control terhadap calon kader tetap bisa berjalan.

Kesimpulan

Kader masih memegang peranan penting di PKS. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya tahapan kaderisasi yang panjang dan kompleks. Adanya tahapan kaderisasi ini, PKS berusaha untuk tetap mempertahankan ideologi partai yang berakar dari gerakan Tarbiyah. Karena berakar dari gerakan Tarbiyah, metode kaderisasi yang dilakukan oleh PKS menggunakan media dakwah.

Selain digunakan sebagai metode kaderisasi, media dakwah juga digunakan sebagai media mobilisasi kader. PKS memobilisasi kadernya untuk menjadi murabbi dalam kegiatan liqo dan halaqah. Tujuannya adalah menyebarkan nilai-nilai kepartaian sekaligus mencari calon kader yang potensial. Dengan begitu, kualitas kader PKS dapat tetap terjaga dan proses regenerasi kader dapat terus berjalan.

Walaupun PKS masih sangat mengandalkan kader-kadernya, PKS tetap tidak bisa terhindar dari tren pergeseran partai. Demi kepentingan elektoral, PKS harus menarik dukungan dari berbagai kelompok sosial. Namun, yang membedakan antara PKS dengan partai Islam lainnya adalah idealisme kadernya. Karena sudah melalui tahapan kaderisasi yang panjang dan kompleks, idealisme gerakan Tarbiyah masih tetap dipegang dengan teguh oleh kader PKS.

Referensi

Biezen, I. v., & Poguntke, T. (2014). The Decline of Membership-based Politics. Party Politics, 205-216.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ferdian, R., Kurniawan, R. C., Krisbiantoro, R. S., & Indrajat, H. (2020). Model Kaderisasi Partai Politik Melalui Sayap Partai. Wacana Publik, 35-40.

Gunadha, R., & Aranditio, S. (2019, November 13). Survei LSI: Usai Pilpres 2019, Kepercayaan Publik Terhadap Ulama Turun. Diambil kembali dari Suara.com: https://www.suara.com/news/2019/11/13/201205/survei-lsi-usai-pilpres-2019-kepercayaan-publik-terhadap-ulama-turun

Heidar, K. (2006). Party Membership and Participation. Dalam R. S. Katz, & W. Crotty, Handbook of Party Politics (hal. 301-315). London: Sage.

Karp, J. A., & Banducci, S. A. (2007). Party Mobilization and Political Participation in New and Old Democracies. Party Politics, 217-234.

Mayrudin, Y. M., & Akbar, M. C. (2019). Pergulatan Politik Identitas Partai-partai Politik Islam: Studi tentang PAN, PKB dan PKS . MADANI: Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, 169-186.

Mietzner, M. (2008). Comparing Indonesia's party systems of the 1950s and the post-Suharto era: From centrifugal to centripetal inter-party competition. Journal of Southeast Asian Studies, 431-453.

Muhtadi, B. (2008). THINKING GLOBALLY, ACTING LOCALLY: A SOCIAL MOVEMENT THEORY APPROACH OF THE PROSPEROUS JUSTICE PARTY (PKS) AND ITS ISLAMIST TRANSNATIONAL FRAMING. Master Thesis of The Australian National University.

Rokhmad, A. (2014). Dasar Negara dan Taqiyyah Politik PKS. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 1-24.

Suseno, L. K. (2014). Pola Afiliasi Informal Organisasi Gerakan Mahasiswa dengan Partai Politik (Studi Kasus Sistem Kaderisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dengan Partai Keadilan Sejahtera). Journal of Politic and Government Studies, 26-35.

Yuniartin, T. (2018). Identitas Politik Partai Keadilan Sejahtera. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 257-274.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun