Ketika Kurikulum Merdeka telah betul-betul berhasil membentuk karakter siswa berkat karakter guru, maka tidak akan ada lagi kejadian guru bersenjatakan gunting mengejar-ngejar siswa demi merazia rambutnya. Jika masih terjadi hal tersebut, maka jelas terlihat bahwa pola pendidikan belum berpusat pada siswa, namun berpusat pada kepentingan sekolah.Â
Siswa tidak pernah diajak berpikir dan berdiskusi tentang sebuah peraturan, yang ada hanya lakukan dan jangan banyak bertanya, titik. Bila sudah sedemikian, jelas menunjukkan bukan pola merdeka dalam pendidikan, namun justru pola penjajahan sebab kental pemaksaan.
Dalam kemerdekaan belajar yang berpusat pada siswa, sudah sepatutnya guru membicarakan suatu hal dari hati ke hati dengan siswa, dengan pola pikir demokratis, bukan otoriter.Â
Dengan kemerdekaan berpikir maka siswa dapat berpikir secara kritis dan mandiri, tetapi bila yang terjadi adalah sebaliknya, selalu didikte, dipaksa dan dijajah, akan melahirkan karakter murid yang keras kepala, melawan, dan sulit menerima perbedaan.
Ketika murid memahami segala perilakunya, melihat kesabaran gurunya dalam memberikan tulodho (contoh), karso (semangat dan nasehat), handayani (dorongan luhur), maka akan terlahir kesadaran tentang perarturan dari lubuk hati tanpa harus dipaksakan. Disinilah wujud hakiki kemerdekaan belajar yang  sesungguhnya.
Maka sudah tidak selayaknya lagi bila dalam dunia pendidikan masih didapati guru yang sibuk mengejar-ngejar muridnya demi membotaki kepalanya karena pola aturan tidak jelas yang dipaksakan. Apalagi bila sekolah tersebut telah menerapkan kurikulum merdeka, sungguh tak patut menjadikan siswa sebagai arena jajahannya.
Sekolah militer memiliki sisi positif dari ketaatan dan kepatuhan terhadap atasan, hal tersebut bisa saja diterapkan pada sekolah biasa. Namun harus tetap mengedepankan sisi kemanusiaan dengan tidak melanggar konsep hak asasi manusia (HAM) dan hak anak, sehingga bisa sejalan dengan konsep merdeka belajar.
Finlandia sebagai the best education world, dengan pola pendidikan yang dianggap terbaik sedunia telah berhasil dalam meningkatkan mutu pendidikan negaranya.Â
Para pakar pendidikan di negara tersebut lebih berfokus pada hasil. Sejak pertama mengenal bangku sekolah, anak terlebih dahulu diperkenalkan pada karakter perilaku yang baik, emotional quotient (EQ), barulah untuk selanjutnya membahas masalah intelligent quotient (IQ). Sedangkan penampilan luar seperti aturan potongan rambut dan lainnya berada di urutan paling terakhir sebab dianggap kurang urgent.
Pola pendidikan yang terlalu feodal dan kuno telah mulai ditinggalkan, sebab dinilai tak sesuai dengan perkembangan zaman, melanggar hak asasi manusia (HAM), dan mengungkung pola berpikir kritis. Sehingga pola pendidikan yang feodal biasanya hanya diterapkan oleh guru jadul ketimbang guru zaman now.
Telah tiba saatnya untuk mengajak bicara dari hati ke hati dengan siswa tentang segala sebab akibat dari sebuah perilaku hingga melahirkan sebuah peraturan. Pola pendidikan yang demokratis, bukan otoriter, bukan feodal akan melahirkan karakter siswa yang mandiri, mampu berpikir kritis, cakap berkolaborasi, dan memahami hak dan kewajibannya.