Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tunjangan Profesi Dihapus, Haruskah Guru Ngojek Lagi?

9 September 2022   18:35 Diperbarui: 9 September 2022   18:45 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghapusan tunjangan guru pada pasal 105 RUU Sisdiknas versi Agustus  dapat  mengakibatkan kesejahteraan guru menjadi dibawah standar minimum karena hanya mengandalkan gaji pokok yang kecil

Kabar dihapusnya tunjangan profesi guru (TPG) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebetulnya sudah berhembus sejak bulan Juni lalu saat dikabarkan masuk prolegnas, namun tak terlalu riuh. 

Meski kabarnya akan menjadi agenda prolegnas, namun anehnya ternyata Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Komisi X DPR RI yang notabene menjadi mitra kerja Kemendikbudristek belum menerima naskah asli dari kementerian. Sehingga  justru terkejut dengan banyaknya rambu-rambu dalam RUU yang sudah diketahui publik, termasuk dihapusnya pasal tentang tunjangan profesi guru.

Dwngan santernya kabar tersebut membuat Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), PP Ikatan Guru Indonesia (IGI), DPP Forum Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan, serta Poros Pelajar Nasional mengadakan audiensi dengan Komisi X DPR RI pada Senin (5/9/2022) sebagaimana dikutip dari kompas.com (5/9/2022).

Pasal-pasal kontroversi dan ayat TPG yang hilang

Wacana pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kabarnya tidak terendus oleh publik, terutama guru, entah karena kurang mengikuti berita karena kesibukan, ataukah kurang sampainya penyampaian berita secara cepat ke berbagai pelosok tanah air karena kendala sinyal internet dan sebagainya. Namun yang pasti guru sebagai pelaksana keputusan justru tidak dilibatkan dalam proses pembuatannya.

Pasal-pasal penuai kontroversi karena menimbulkan polemik, diantaranya terdapat dalam pasal 7 soal masa wajib belajar, pasal 105 yang menghilangkan tunjangan profesi guru (TPG), hingga pasal 109 yang mewajibkan para guru lulus pendidikan profesi guru (PPG).

Pasal 7 draf RUU Sisdiknas mengubah masa wajib belajar dari 9 tahun menjadi 13 tahun, dengan rincian 10 tahun pendidikan dasar (pra sekolah dan kelas 1-9), dan 3 tahun pendidikan menengah (kelas 10-12).

Pasal 109, setiap orang yang akan menjadi guru wajib dari Pendidikan Profesi Guru (PPG) pasca RUU disahkan dan berlaku secara nasional.

Sedangkan pasal 105 huruf a, RUU menghapus Tunjangan Profesi Guru (TPG). Hal ini berbeda dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur secara rinci ragam tunjangan yang diterima guru.

Bila memang benar terdapat wacana penghapusan TPG, maka negara dianggap telah merendahkan harkat dan martabat guru, sebab tanpa adanya tunjangan profesi, maka kesejahteraan guru menjadi standar minimum, bahkan di bawah minimum. 

Padahal UU Nomor 14 Tahun 2005 jelas berusaha meningkatkan standar kesejahteraan guru. Tentu saja hal ini bertentangan dengan semangat Merdeka Belajar, Guru Merdeka yang selalu digaungkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Wacana Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dikabarkan menghapus ayat tentang tunjangan profesi guru mungkin berpijak dari tidak adanya perubahan signifikan pada pendidikan di Indonesia, padahal guru telah diberikan tunjangan profesi. 

Sehingga terpkirkan akan lebih adil jika yang berhak memperoleh tunjangan profesi adalah guru-guru yang memang benar-benar berkualitas, tidak pukul rata, sebab tak semua guru berkualitas dan dapat memajukan pendidikan di Indonesia.

UU tentang Guru dan Dosen berhasil mengangkat harkat martabat profesi guru dengan kesejahteraan di atas minimum, sebab dalam pasal 15 menyebut bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum, berupa gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi (pasal 16 ayat 1-6), tunjangan khusus (pasal 18 ayat 1-4),hingga tunjangan kehormatan. Namun bila benar wacana penghapusan ayat TPG dalam RUU Sisdiknas, maka penghasilan guru menjadi standar minimum bahkan di bawah minimum.

Akibat gonjang-ganjingnya wacana penghapusan TPG membuat para guru di seluruh Indonesia makin pusing tujuh keliling, apa maksudnya ini? Kenapa Kemendikbudristek sekejam itu?

Sudah jelas ayat yang menyebutkan secara jelas tentang pemberian tunjangan profesi pada pendidik di UU Guru dan Dosen, namun ayat ini hilang saat masuk prolegnas. Tetapi Kemendikbudristek membantah dengan menyebut tak pernah menghapus, namun disisi lain justru menyatakan bahwa  bertujuan meningkatkan kesejahteraan guru. 

Jadi pemberian tunjangan profesi tetap diberikan, namun bagi yang belum memperoleh juga memperoleh kesempatan sama, dengan tanpa ribet mengikuti  PPG yang cukup memakan waktu, asalkan berprestasi dan bermutu, maka akan cepat memperolehnya tanpa antrean panjang. Lalu benarkah demikian?

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim mengklaim Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menjadi salah satu kebijakan yang paling berdampak positif terhadap kesejahteraan guru. 

Demikian juga Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Iwan Syahril menyebut bahwa RUU Sisdiknas menjadi upaya Kemendikbud untuk memberikan upah yang layak bagi para guru.

Guru yang telah mendapat tunjangan profesi, baik guru ASN (aparatur sipil negara) maupun non-ASN tetap mendapat tunjangan tersebut sampai pensiun asalkan masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara untuk guru yang sudah mengajar tapi belum memiliki sertifikat pendidik bisa segera mendapatkan penghasilan yang layak tanpa perlu menunggu antrean sertifikasi sesuai Undang-undang ASN. 

Sekilas memang terkesan sangat adil, sebab bagi guru yang berprestasi tak akan lama menunggu antrean untuk mengikuti PPG demi memperoleh haknya mendapat tunjangan profesi. Bahkan Iwan Syahril mengklaim RUU Sisdiknas sebagai wujud upaya agar semua guru mendapat penghasilan dan keberpihakan kepada guru, sebab memberi pengakuan kepada pendidik PAUD dan kesetaraan sebagai satuan pendidikan formal.

Dia menyebut pengaturan yang diusulkan dalam RUU Sisdiknas ini menjamin guru yang sudah mendapat tunjangan profesi tetap mendapat tunjangan tersebut sampai pensiun, sedangkan guru-guru yang belum mendapat tunjangan profesi akan bisa segera mendapat kenaikan penghasilan, tanpa harus menunggu antrean sertifikasi yang panjang. Lalu ayat tentang TPG yang kabarnya hilang ada dimana?

Dalam draf RUU Sisdiknas versi April 2022 yang beredar luas, Pasal 127 ayat 3 sampai 10 tertera jelas tentang pemberian tunjangan profesi bagi guru dan dosen. Namun dalam draf versi Agustus 2022, justru hilang.

Tetapi saat diklarifikasi tentang hilangnya ayat TPG, Kemendikbudristek berkilah  bahwa ayat tentang tunjangan profesi tak pernah dihapuskan, Bahkan menyebut bahwa Kemendikbudristek terus berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik di seluruh Indonesia. Dan publik gagal paham.

Efek domino sebuah keputusan

Satu hal yang menjadi sorotan dalam RUU Serdiknas adalah Pasal 7 draf RUU Sisdiknas mengubah masa wajib belajar dari 9 tahun menjadi 13 tahun, dengan rincian 10 tahun pendidikan dasar (pra sekolah dan kelas 1-9), dan 3 tahun pendidikan menengah (kelas 10-12).

Wajib belajar bukan hanya 9 tahun, tapi 13 tahun, sistem wajib belajar sejak usia pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Pertambahan waktu untuk wajib belajar sebenarnya tidak menjadi permasalahan besar jika memang pemerintah mampu untuk membiayainya. 

Sebab jika tidak, maka hal tersebut hanyalah sebuah impian tanpa kenyataan. Oleh karena itu diperlukan kesediaan pemerintah untuk menanggung biaya pendidikan secara gratis tanpa harus plin-plan seperti hilangnya ayat TPG dalam RUU Sisdiknas.

Memang sebuah cita-cita positif yang wajib diwujudkan, sebab akan meningkatkan tingkat pendidikan di tanah air, sehingga martabat dan kehormatan bangsa akan terangkat. 

Syaratnya hanya satu, mampukan pemerintah membiayainya tanpa harus membebani rakyat kembali? Sebab seperti yang kita ketahui bersama, BBM telah mengalami kenaikan harga, hutang negara meningkat, pajak pribadi dinaikkan, pajak pertambahan nilai demikian juga, dari yang semula 10 persen menjadi 11 persen.

Kekhawatiran terbesar masyarakat bila wajib belajar 13 tahun jadi dilaksanakan  akan berefek domino. Sebagai contoh adalah saat harga BBM naik, membuat harga semua barang kebutuhan pokok masyarakat juga naik secara cepat, akibatnya masyarakat menjadi terbebani. 

Bantuan pemerintah dengan mencari solusi adil melalui pembagian BLT imbas dari kenaikan BBM justru dinilai tak tepat sasaran, sebab yang menerima BLT belum tentu membeli BBM karena tak memiliki kendaraan yang memerlukan pengisian BBM. Dapat dipahami bahwa yang memerlukan tambahan uang adalah wong cilik yang mengkonsumsi BBM.

Meskipun pemberian BLT dianggap sebuah solusi, namun solusi tersebut tak dapat memecahkan masalah, karena sulit mencegah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, BBM tetap mahal bagi pemakainya, sedangkan bagi penerima BLT yang tidak memiliki kendaraan sudah pasti bukan masalah, namun efek dominonya terletak pada meroketnya harga-harga.

Pemerintah beralasan menaikkan harga BBM justru di saat harga minyak dunia turun sebagai sebuah solusi untuk menyelamatkan keuangan negara. Dan imbasnya kemudian, rakyat menjerit sebab harga-harga kebutuhan pokok meroket tinggi, bahkan hal ini merupakan jeritan kedua setelah naiknya pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai beberapa waktu lalu. 

Guru adalah juga bagian dari rakyat yang terimbas. Jika tunjangan profesinya benar-benar dicabut, lalu bagaimana kelanjutan nasib guru? Pasti penghasilannya akan kembali merosot dibawah upah minimum sepeti di saat-saat lalu. Yang akhirnya memaksa para guru mencari tambahan penghasilan, seperti mengojek dan sebagainya. Apakah Pemerintah tidak malu?

Selama sekian waktu setelah penghasilan guru ditunjang oleh TPG, mulailah berubah nasib guru, harumlah nama pemerintah karena berhasil memuliakan sang pahlawan tanpa tanda jasa. 

Guru mempetoleh penghasilan diatas upah rata-rata minimum, tidak lagi mengojek, tidak lagi gali lobang tutup lobang, kehormatannya pun terjaga. Memang sudah selayaknya kehormatan guru di sebuah negara dijaga, sebab hanya negara yang bermartabat dan memiliki harga diri yang menghormati guru.

Tetapi yang mengejutkan dalam pasal 105 RUU Sisdiknas versi Agustus, tunjangan guru justru dihapus. Penghapusan jenis tunjangan ini otomatis membuat guru hanya mengandalkan gaji pokok yang kecil, sebab tak semua guru mendapat tunjangan khusus. Bahkan tunjangan lain pun seperti tunjangan fungsional ataupun tunjangan kinerja tak bisa diandalkan karena jumlahnya tidak signifikan akibat bergantung pada kekuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Memang harus diakui mutu pendidikan di Indonesia tertinggal jauh bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, namun janganlah kesalahan tersebut hanya ditudingkan pada guru yang dianggap tak becus meningkatkan mutu pendidikan di negara ini.

Guru tidak mungkin seperti tukang sulap yang bisa "bim salabim" membuat siswa mendadak pintar, semua perlu proses, perlu waktu, apalagi terkadang guru menjadi korban kurikulum terbaru. Belum menguasai kurikulum yang ini, tapi sudah harus dikejar deadline kurikulum yang itu, sehingga guru menjadi serba kelabakan dan kagok, lalu kapan ada waktu membuat siswanya pintar?

Menjadi guru di sebuah negara dengan perubahan kurikulum yang serba cepat memang serba salah. Di saat sebuah kurikulum yang dianggap formula hebat belum begitu menguasai, tiba-tiba sudah harus siap mengadaptasi kurikulum yang lainnya. Guru yang shock terkadang cuma busa mengelus dada dan pusing tujuh keliling, sedangkan pembuat formulasi kurikulum yang tak pernah terjun praktek mengajar seperti guru tak pernah memahami keadaan tersebut. 

Penghapusan Tunjangan Profesi Guru, wacana yang selalu terulang

Bukan hal mengejutkan bila tunjangan profesi guru selalu menjadi wacana terulang yang didengungkan untuk dihapus oleh pemerintah karena dianggap membebani anggaran negara, sementara disisi lain mutu pendidikan di negara ini tak ada peningkatan signifikan. 

Isu krusial penghapusan tunjangan guru yang santer terdengar adalah akibat ketidakmampuan guru di Indonesia meningkatkan mutu pendidikan siswa-siswanya, padahal telah diberi uang lebih, berupa tunjangan profesi.

Di satu sisi memang tak bisa menyalahkan pemerintah tentang wacana penghapusan tunjangan profesi, sebab pemerintah merasa sebagai pemberi uang tambahan penghasilan. Namun disisi lain juga menimbulkan pertanyaan, mengapa pemerintah sedemikian tidak ikhlasnya meningkatkan penghasilan guru, sehingga selalu mengungkit-ungkit untuk menghapusnya? 

Pemerintah telah beberapa kali mewacanakan hilangnya tunjangan profesi. Seperti pada tahun 2015, Kemendikbud ingin menghapuskan tunjangan profesi guru saat rapat bersama Komisi X DPR RI. 

Kemudian tahun 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyebut bahwa besarnya tunjangan profesi dalam bentuk sertifikasi tidak mencerminkan kualitas pendidik, dan menganggap tunjangan profesi hanya membebani APBN. Bahkan pada tahun 2021, pemerintah berencana hanya memberikan tunjangan profesi kepada guru yang berprestasi.

Pemerintah menilai guru tidak becus meningkatkan mutu pendidikan padahal sudah diberi uang berlebih adalah dilihat dari ketidakmampuan pendidikan di Indonesia bersaing dengan pendidikan di luar negeri. Apalagi di era globalisasi, perdagangan bebas, mau tak mau pendidikan menjadi sebuah bisnis yang harus mampu menghasilkan nilai lebih.

Kesalahan besar munculnya sejumlah pasal kontroversial dalam RUU Sisdiknas diduga akibat tidak dilibatkannya guru dalam proses penyusunannya. Padahal, para guru dan dosen adalah tulang punggung utama sistem pendidikan di Indonesia, yang terjun langsung di lapangan, berbeda dengan pembuat RUU yang kurang memahami situasi lingkungan tempat guru dan dosen mempraktekkan ilmunya. Akibatnya muncullah RUU yang terkesan diam-diam, terburu-buru, dan tidak transparan.

Dari hal ini kita akhirnya mengetahui bahwa Omnibus Law juga merangsek dalam dunia pendidikan. Selama sekian waktu kita selalu beranggapan bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya berimbas pada buruh dan sektor-sektor perekonomian. Kini setelah kita cermati ternyata berimbas pada dunia pendidikan di Indonesia. 

Menimbulkan pertanyaan, mampukah pendidik di Indonesia bersaing dengan pendidik dari luar negeri? Mungkinkah hal itu yang menjadi sumber kegelisahan pemerintah. Sebab seperti persaingan dalam dunia perburuhan, bahwa tenaga kerja dari luar negeri banyak merangsek masuk ke negara kita, maka dengan disahkannya Omnibus Law, demikian juga yang akan terjadi pada dunia pendidikan. 

Omnibus Law membuka peluang lebar bagi pendidik luar negeri untuk masuk dan mencari pekerjaan di Indonesia, yang dikhawatirkan adalah jika mereka dianggap lebih bermutu, maka lama kelamaan akan bisa menggeser pendidik-pendidik yang justru anak bangsa sendiri.

Di era perdagangan bebas, apalagi ditambah adanya UU Ketenagakerjaan yang baru memang membuka peluang globalisasi pekerjaan secara luas, siapa bermutu, siapa cepat, siapa mampu bersaing, dialah yang menjadi pemenangnya. Tak dapat dipungkiri, hal itulah yang akan terjadi.

Tragis memang, Omnibus Law seakan akan seperti aturan baru dalam sebuah rumah, dimana orangtua mengizinkan anak-anak tetangga masuk ke dalam rumah dan bersaing dengan anak-anaknya sendiri. 

Siapa pintar, siapa mampu bersaing, maka dia yang berhak tinggal di rumah itu. Orangtua hanya menjadi penonton, melihat dan mengamati tapi tak mampu membantu anak-anaknya sendiir, sebab keinginan orangtua agar anak anaknya mandiri melawan persaingan dari anak-anak tetangga, sebuah keinginan positif tapi melupakan perlindungan maksimal terrhadap anak-anak sendiri.

Beberapa waktu lalu,  Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat melontarkan pernyataan bahwa keuangan negara banyak dihabiskan hanya untuk membayar pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar Rp 2.800 triliun, yang tentu saja selain pensiunan tentara, polisi, pasti ada juga guru. Dianggap membebani keuangan negara, padahal ada banyak jasa yang hilang akibat terlupakan. 

Saat muda mengabdi dan bekerja keras untuk negara, apa setelah tua negara tak mau tahu dan dibiarkan begitu saja? Lalu apa bedanya dengan robot, yang soak dan tak diperlukan  lagi, sehingga timbul pemikiran dibuang begitu saja daripada buang-buang biaya memperbaiki atau merawat. Sungguh sikap yang tak elok.

Keinginan merubah skema pensiunan dan menganggap pensiunan PNS sebagai beban negara sekilas terkesan liberalistik, sebab dibandingkan pensiunan PNS, pensiunan DPR lebih menjadi beban, sebab digaji seumur hidup padahal hanya menjabat 5 tahun, bahkan setelah meninggalpun, uang warisan masih diteruskan kepada anak istrinya. Jadi ketika hanya pensiunan PNS yang dianggap beban negara, adilkah?

Wacana-wacana penghapusan tunjangan profesi selalu terulang bukan hal mengejutkan lagi, sebab banyak kalangan yang melihat pendidik hanya dari kacamata internasional, tanpa berusaha adil melihatnya dalam kacamata nasionalisme.

Ketidakmampuan pendidik secara internasional memajukan pendidikan dianggap dapat menghambat Indonesia maju di kancah pendidikan internasional. Padahal pemerintah lupa, ada sisi keistimewaan lain dari sisi pendidik Indonesia, yang benar-benar asli Indonesia, yaitu etika dan tata krama Pancasila yang selama ini digembar-gemborkan Kemendikbudristek sebagai Karakter Pancasila dalam Kurikulum Merdeka, pendidik Indonesia telah memiliki tata krama dan budi luhur yang belum tentu dimiliki bangsa lain.

Guru Indonesia sudah pasti memiliki Karakter Pancasila, musyawarah mufakat, gotong royong, toleransi, dan mampu mewariskannya pada generasi negeri ini. Sebuah etika yang tidak dimiliki negara lain, negara liberal tak memiliki pancasila, negara sosialis juga tak memiliki pancasila, komunis apalagi. 

Namun etika pancasila guru Indonesia tak pernah diperhitungkan sebab tak masuk dalam perhitungan Internasional, karena dunia tak ada yang menerapkan pancasila. Lalu haruskah karena persaingan global membuat etika guru Indonesia terlupakan? 

Mungkin guru Indonesia masih kalah jauh dalam meningkatkan mutu pendidikan pada tingkat dunia, tapi setidaknya pada tingkat nasional, etika pancasila guru Indonesia tetap terjaga, dan mampu mewariskan ke generasi berikutnya. 

Santun, tepaslira, toleransi, musyawarah mufakat, dan gotong-royong yang telah mulai terkikis dari bangsa ini mengakibatkan banyak terjadinya tawuran, intoleransi, freesex, bullying. Mungkinkah terjadinya hal tersebut menjadi awal kesimpulan  bahwa para pendidik di Indonesia selain gagal memajukan pendidikan namun juga gagal memperbaiki moral bangsa?

Sudah diberi tunjangan kebih tapi mutu pendidikan tidak pernah maju, sementara moralnya pun amburadul, lalu apa yang diharapkan dari guru-guru di Indonesia, mungkin hal itu yang terlihat dalam pikiran pemerintah sehingga selalu muncul wacana menghapus tunjangan profesi guru. benarkah sedemikian simple dalam emnilai keberhasilan guru di Indonesia.

Anda bingung, saya juga bingung, mau dibawa kemana arah oendidikan di Indonesia secara nyata? Secara gambaran kita sudah pasti tahu tujuan pendidikannya, namun secara nyata dalm kesehariannya, apakah gambaran itu telah terlihat nyata? Ataukah masih samar samar? 

Benarkah para pendidik indonesia telah benar-benar merdeka dalam mewujudkan arah pendidikan di negara ini? Atau masih tetap dalm koridor dikte penguasa, lalu dimana letak kemerdekaannnya? Mungkinkah kemerdekaan itu baru ada serelah tunjangan profesi tak ada lagi, sebab toh diangap sebagai beban negara, karena mutu pendidikan Indonesia tak cepat meningkat?

Saat ini banyak tudingan materialistis yang diarahkan pada guru. Mungkin memang ada sebagian oknum yang seperti dituduhkan, namun tak semua guru seperti itu. Masih banyak guru-guru yang bekerja ikhlas, mengajar tanpa merasa terbebani, tulus memberikan ilmu pada siswa. Pantaskah sikap yang sedemikian tulus dibalas dengan penghapusan TPG?

Guru adalah makhluk yang sangat tahu malu dalm menuntut hak-haknya, selama mereka masih mampu menahan, mereka akan menahannya, namun bila mereka telah menyuarakan ketidakadilan itu, berarti ada yang tidak beres dalam memperlakukan pada guru. Guru tak menuntut dihormati, tak menuntut jasanya dihargai, tak menuntut penghasilan berlebih, tetapi sudah selayaknya pemangku negeri ini memahami semua itu tanpa guru harus berteriak-teriak meminta haknya.

Sudah menjadi kewajiban bagi bangsa ini untuk menjaga marwah dan kehormatan guru, negara yang mulia adalah negara yang memuliakan guru, hanya negara hina juga merendahkan guru. Bila demikian, mengapa harus sedemikian pelit dan perhitungan pada guru? Bukankah guru tak pelit dan tak perhitungan dalam memberi ilmu, menjaga dan melindungi anak-anak bangsa saat dititipkan di sekolah?

Jadi, setelah ini masih adakah wacana mengungkit-ungkit tunjangan profesi guru? Sungguh tak elok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun