Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tunjangan Profesi Dihapus, Haruskah Guru Ngojek Lagi?

9 September 2022   18:35 Diperbarui: 9 September 2022   18:45 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekilas memang terkesan sangat adil, sebab bagi guru yang berprestasi tak akan lama menunggu antrean untuk mengikuti PPG demi memperoleh haknya mendapat tunjangan profesi. Bahkan Iwan Syahril mengklaim RUU Sisdiknas sebagai wujud upaya agar semua guru mendapat penghasilan dan keberpihakan kepada guru, sebab memberi pengakuan kepada pendidik PAUD dan kesetaraan sebagai satuan pendidikan formal.

Dia menyebut pengaturan yang diusulkan dalam RUU Sisdiknas ini menjamin guru yang sudah mendapat tunjangan profesi tetap mendapat tunjangan tersebut sampai pensiun, sedangkan guru-guru yang belum mendapat tunjangan profesi akan bisa segera mendapat kenaikan penghasilan, tanpa harus menunggu antrean sertifikasi yang panjang. Lalu ayat tentang TPG yang kabarnya hilang ada dimana?

Dalam draf RUU Sisdiknas versi April 2022 yang beredar luas, Pasal 127 ayat 3 sampai 10 tertera jelas tentang pemberian tunjangan profesi bagi guru dan dosen. Namun dalam draf versi Agustus 2022, justru hilang.

Tetapi saat diklarifikasi tentang hilangnya ayat TPG, Kemendikbudristek berkilah  bahwa ayat tentang tunjangan profesi tak pernah dihapuskan, Bahkan menyebut bahwa Kemendikbudristek terus berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik di seluruh Indonesia. Dan publik gagal paham.

Efek domino sebuah keputusan

Satu hal yang menjadi sorotan dalam RUU Serdiknas adalah Pasal 7 draf RUU Sisdiknas mengubah masa wajib belajar dari 9 tahun menjadi 13 tahun, dengan rincian 10 tahun pendidikan dasar (pra sekolah dan kelas 1-9), dan 3 tahun pendidikan menengah (kelas 10-12).

Wajib belajar bukan hanya 9 tahun, tapi 13 tahun, sistem wajib belajar sejak usia pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Pertambahan waktu untuk wajib belajar sebenarnya tidak menjadi permasalahan besar jika memang pemerintah mampu untuk membiayainya. 

Sebab jika tidak, maka hal tersebut hanyalah sebuah impian tanpa kenyataan. Oleh karena itu diperlukan kesediaan pemerintah untuk menanggung biaya pendidikan secara gratis tanpa harus plin-plan seperti hilangnya ayat TPG dalam RUU Sisdiknas.

Memang sebuah cita-cita positif yang wajib diwujudkan, sebab akan meningkatkan tingkat pendidikan di tanah air, sehingga martabat dan kehormatan bangsa akan terangkat. 

Syaratnya hanya satu, mampukan pemerintah membiayainya tanpa harus membebani rakyat kembali? Sebab seperti yang kita ketahui bersama, BBM telah mengalami kenaikan harga, hutang negara meningkat, pajak pribadi dinaikkan, pajak pertambahan nilai demikian juga, dari yang semula 10 persen menjadi 11 persen.

Kekhawatiran terbesar masyarakat bila wajib belajar 13 tahun jadi dilaksanakan  akan berefek domino. Sebagai contoh adalah saat harga BBM naik, membuat harga semua barang kebutuhan pokok masyarakat juga naik secara cepat, akibatnya masyarakat menjadi terbebani. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun