Bantuan pemerintah dengan mencari solusi adil melalui pembagian BLT imbas dari kenaikan BBM justru dinilai tak tepat sasaran, sebab yang menerima BLT belum tentu membeli BBM karena tak memiliki kendaraan yang memerlukan pengisian BBM. Dapat dipahami bahwa yang memerlukan tambahan uang adalah wong cilik yang mengkonsumsi BBM.
Meskipun pemberian BLT dianggap sebuah solusi, namun solusi tersebut tak dapat memecahkan masalah, karena sulit mencegah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, BBM tetap mahal bagi pemakainya, sedangkan bagi penerima BLT yang tidak memiliki kendaraan sudah pasti bukan masalah, namun efek dominonya terletak pada meroketnya harga-harga.
Pemerintah beralasan menaikkan harga BBM justru di saat harga minyak dunia turun sebagai sebuah solusi untuk menyelamatkan keuangan negara. Dan imbasnya kemudian, rakyat menjerit sebab harga-harga kebutuhan pokok meroket tinggi, bahkan hal ini merupakan jeritan kedua setelah naiknya pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai beberapa waktu lalu.Â
Guru adalah juga bagian dari rakyat yang terimbas. Jika tunjangan profesinya benar-benar dicabut, lalu bagaimana kelanjutan nasib guru? Pasti penghasilannya akan kembali merosot dibawah upah minimum sepeti di saat-saat lalu. Yang akhirnya memaksa para guru mencari tambahan penghasilan, seperti mengojek dan sebagainya. Apakah Pemerintah tidak malu?
Selama sekian waktu setelah penghasilan guru ditunjang oleh TPG, mulailah berubah nasib guru, harumlah nama pemerintah karena berhasil memuliakan sang pahlawan tanpa tanda jasa.Â
Guru mempetoleh penghasilan diatas upah rata-rata minimum, tidak lagi mengojek, tidak lagi gali lobang tutup lobang, kehormatannya pun terjaga. Memang sudah selayaknya kehormatan guru di sebuah negara dijaga, sebab hanya negara yang bermartabat dan memiliki harga diri yang menghormati guru.
Tetapi yang mengejutkan dalam pasal 105 RUU Sisdiknas versi Agustus, tunjangan guru justru dihapus. Penghapusan jenis tunjangan ini otomatis membuat guru hanya mengandalkan gaji pokok yang kecil, sebab tak semua guru mendapat tunjangan khusus. Bahkan tunjangan lain pun seperti tunjangan fungsional ataupun tunjangan kinerja tak bisa diandalkan karena jumlahnya tidak signifikan akibat bergantung pada kekuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Memang harus diakui mutu pendidikan di Indonesia tertinggal jauh bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, namun janganlah kesalahan tersebut hanya ditudingkan pada guru yang dianggap tak becus meningkatkan mutu pendidikan di negara ini.
Guru tidak mungkin seperti tukang sulap yang bisa "bim salabim" membuat siswa mendadak pintar, semua perlu proses, perlu waktu, apalagi terkadang guru menjadi korban kurikulum terbaru. Belum menguasai kurikulum yang ini, tapi sudah harus dikejar deadline kurikulum yang itu, sehingga guru menjadi serba kelabakan dan kagok, lalu kapan ada waktu membuat siswanya pintar?
Menjadi guru di sebuah negara dengan perubahan kurikulum yang serba cepat memang serba salah. Di saat sebuah kurikulum yang dianggap formula hebat belum begitu menguasai, tiba-tiba sudah harus siap mengadaptasi kurikulum yang lainnya. Guru yang shock terkadang cuma busa mengelus dada dan pusing tujuh keliling, sedangkan pembuat formulasi kurikulum yang tak pernah terjun praktek mengajar seperti guru tak pernah memahami keadaan tersebut.Â
Penghapusan Tunjangan Profesi Guru, wacana yang selalu terulang