Tragis memang, Omnibus Law seakan akan seperti aturan baru dalam sebuah rumah, dimana orangtua mengizinkan anak-anak tetangga masuk ke dalam rumah dan bersaing dengan anak-anaknya sendiri.Â
Siapa pintar, siapa mampu bersaing, maka dia yang berhak tinggal di rumah itu. Orangtua hanya menjadi penonton, melihat dan mengamati tapi tak mampu membantu anak-anaknya sendiir, sebab keinginan orangtua agar anak anaknya mandiri melawan persaingan dari anak-anak tetangga, sebuah keinginan positif tapi melupakan perlindungan maksimal terrhadap anak-anak sendiri.
Beberapa waktu lalu, Â Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat melontarkan pernyataan bahwa keuangan negara banyak dihabiskan hanya untuk membayar pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar Rp 2.800 triliun, yang tentu saja selain pensiunan tentara, polisi, pasti ada juga guru. Dianggap membebani keuangan negara, padahal ada banyak jasa yang hilang akibat terlupakan.Â
Saat muda mengabdi dan bekerja keras untuk negara, apa setelah tua negara tak mau tahu dan dibiarkan begitu saja? Lalu apa bedanya dengan robot, yang soak dan tak diperlukan  lagi, sehingga timbul pemikiran dibuang begitu saja daripada buang-buang biaya memperbaiki atau merawat. Sungguh sikap yang tak elok.
Keinginan merubah skema pensiunan dan menganggap pensiunan PNS sebagai beban negara sekilas terkesan liberalistik, sebab dibandingkan pensiunan PNS, pensiunan DPR lebih menjadi beban, sebab digaji seumur hidup padahal hanya menjabat 5 tahun, bahkan setelah meninggalpun, uang warisan masih diteruskan kepada anak istrinya. Jadi ketika hanya pensiunan PNS yang dianggap beban negara, adilkah?
Wacana-wacana penghapusan tunjangan profesi selalu terulang bukan hal mengejutkan lagi, sebab banyak kalangan yang melihat pendidik hanya dari kacamata internasional, tanpa berusaha adil melihatnya dalam kacamata nasionalisme.
Ketidakmampuan pendidik secara internasional memajukan pendidikan dianggap dapat menghambat Indonesia maju di kancah pendidikan internasional. Padahal pemerintah lupa, ada sisi keistimewaan lain dari sisi pendidik Indonesia, yang benar-benar asli Indonesia, yaitu etika dan tata krama Pancasila yang selama ini digembar-gemborkan Kemendikbudristek sebagai Karakter Pancasila dalam Kurikulum Merdeka, pendidik Indonesia telah memiliki tata krama dan budi luhur yang belum tentu dimiliki bangsa lain.
Guru Indonesia sudah pasti memiliki Karakter Pancasila, musyawarah mufakat, gotong royong, toleransi, dan mampu mewariskannya pada generasi negeri ini. Sebuah etika yang tidak dimiliki negara lain, negara liberal tak memiliki pancasila, negara sosialis juga tak memiliki pancasila, komunis apalagi.Â
Namun etika pancasila guru Indonesia tak pernah diperhitungkan sebab tak masuk dalam perhitungan Internasional, karena dunia tak ada yang menerapkan pancasila. Lalu haruskah karena persaingan global membuat etika guru Indonesia terlupakan?Â
Mungkin guru Indonesia masih kalah jauh dalam meningkatkan mutu pendidikan pada tingkat dunia, tapi setidaknya pada tingkat nasional, etika pancasila guru Indonesia tetap terjaga, dan mampu mewariskan ke generasi berikutnya.Â
Santun, tepaslira, toleransi, musyawarah mufakat, dan gotong-royong yang telah mulai terkikis dari bangsa ini mengakibatkan banyak terjadinya tawuran, intoleransi, freesex, bullying. Mungkinkah terjadinya hal tersebut menjadi awal kesimpulan  bahwa para pendidik di Indonesia selain gagal memajukan pendidikan namun juga gagal memperbaiki moral bangsa?