Mohon tunggu...
Falah Yu
Falah Yu Mohon Tunggu... Guru - ngajar

juga suka dagang sambil nunggu warung diisi catat mencatat tulis menulis ketik mengetik kata mengata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Vonis Bebas untuk Pak Guru

24 Oktober 2024   15:46 Diperbarui: 27 Oktober 2024   10:15 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu di SMP Bulukerto begitu terik. Di lapangan olahraga, murid-murid sedang melakukan pemanasan di bawah bimbingan pak Haris, guru olahraga honorer yang sudah belasan tahun mengajar di sekolah itu. Suaranya tegas, namun penuh perhatian. Tapi hari itu, ada yang membuat alis pak Haris mengernyit ke seorang murid, Gilang, duduk di pinggir lapangan, tak ikut olahraga seperti teman-temannya.

Pak Haris menghampiri Gilang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran bercampur kesal. "Gilang, kenapa kamu nggak ikut olahraga? Ini jam pelajaran, kamu tahu itu."

Gilang mendongak dengan wajah datar. "Nggak mau, pak," jawabnya pendek.

Pak Haris merasa kesabarannya diuji. "Kenapa nggak mau? Kamu sakit?"

Gilang menatapnya dengan sikap acuh. "Bukan urusan bapak."

Pak Haris merasa kesal. "Gilang, semua murid harus ikut! Ini adalah aturan sekolah. Jangan kamu melawan aturan!"

Gilang semakin berani. "Aturan apaan? Saya tidak mau ikut. Lagipula, siapa yang peduli dengan aturan itu?"

Kata-kata Gilang membuat darah pak Haris mendidih. "Gilang, ini bukan soal mau atau nggak mau. Ini kewajiban kamu sebagai murid."

Namun, Gilang tidak menggubris, malah bangkit dan berjalan menjauh. "Saya nggak peduli, pak."

Suasana semakin memanas. Pak Haris merasa harga dirinya sebagai guru direndahkan. Tanpa bisa mengendalikan emosi, dia menarik tangan Gilang. "Kamu dengerin saya, Gilang! Ini bukan soal suka atau nggak suka. Kamu harus ikut pelajaran olah raga!"

Gilang menepis tangan pak Haris dengan keras. "Jangan sentuh saya, pak! Saya nggak mau ikut!"

Kemudian, tanpa berpikir panjang, pak Haris menampar wajah Gilang. Tamparan itu memecah keheningan di lapangan. Gilang terjatuh, wajahnya memerah, air matanya mengalir deras. "Pak, kenapa bapak lakukan ini?" tanyanya sambil menangis. Anak-anak lain yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam, terkejut.

Pak Haris merasa bersalah, tetapi ia juga merasa bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk mendisiplinkan Gilang. "Saya hanya ingin kamu mengerti pentingnya disiplin, Gilang." Namun, Gilang langsung berlari meninggalkan lapangan, menuju rumahnya. Ia merasa sangat terluka, tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional.

                                                            

                             ***

Setibanya di rumah, ia melaporkan kejadian tersebut kepada orang tuanya, pak Dedi dan istrinya, ibu Sari. "Papa, pak Haris tampar saya! Dia jahat!" teriak Gilang sambil menangis.

Pak Dedi, yang mendengar laporan anaknya, langsung marah."Pak Haris menampar kamu?" tanyanya dengan nada keras.

"Iya, Pa. Sakit sekali," jawab Gilang dengan suara yang terisak-isak.

Pak Dedi langsung meradang. "Saya tidak terima! Kita harus laporkan dia ke polisi!. Ini nggak bisa dibiarkan. Papa akan urus ini, Gilang. Guru nggak boleh main tangan sama murid!"

Ibu Sari mencoba menenangkan suaminya, "Tapi, papa, mungkin ada cara lain. Kita bisa bicara baik-baik...". Namun, Pak Dedi sudah terlanjur bertekad. Mereka pun pergi ke kantor polisi untuk melaporkan Pak Haris.

                                ***

Suasana di ruang rapat desa begitu tegang. Malam sebelumnya, pak Haris dan istrinya mendatangi rumah Kepala Desa, berharap ada jalan damai sebelum masalah ini makin besar. Namun, suasana pada pertemuan pagi itu tak berjalan mulus seperti yang diharapkan. 

Semua orang duduk berhadapan, dengan raut muka tegang. Pak Haris menunduk, sementara istrinya menggenggam tangan suaminya erat-erat, berharap ada keajaiban.

Pak Dedi, ayah Gilang, membuka pembicaraan dengan suara penuh amarah. "Saya nggak terima anak saya ditampar, apalagi sampai terluka. Pelipisnya memar, dan sekarang telinganya sebelah kanan nggak bisa dengar, berdengung! Apa ini cara mendidik murid?"

Kepala sekolah, yang duduk disamping pak Haris, berusaha menenangkan suasana. "Pak Dedi, mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin. Kami memahami situasi yang bapak hadapi, dan kami semua di sini ingin menyelesaikan masalah ini dengan baik."

Namun, pak Dedi memotongnya dengan cepat. "Bicara apa lagi, pak Kepala? Saya tadi malam sudah lapor ke Polsek. Saya cuma datang ke sini karena Kepala Desa yang minta, tapi saya sudah nggak mau berkompromi!"

Pak Haris, dengan suara bergetar, mencoba berbicara. "Pak Dedi, saya minta maaf atas kejadian ini. Saya tidak pernah bermaksud menyakiti Gilang. Saya hilang kontrol, tapi saya sungguh menyesal. Saya ingin masalah ini bisa kita selesaikan secara kekeluargaan, tanpa harus ke ranah hukum."

Pak Dedi menatap pak Haris dengan tajam. "Secara kekeluargaan? Setelah anak saya terluka, dan kalian baru bicara soal damai? Kalau mau damai, ada kompensasi yang harus dibayar. Anak saya terluka, mentalnya terganggu. Saya minta ganti rugi 50 juta, baru saya tarik laporan saya dari polisi!"

Semua terkejut. Istri pak Haris, yang tidak kalah terkejutnya, akhirnya angkat bicara dengan suara lirih. "Pak Dedi, mohon pengertiannya. Kami bukan keluarga yang punya banyak uang. Suami saya ini cuma guru honorer. Dari mana kami bisa mendapatkan uang sebesar itu?"

Pak Haris mengangguk pelan, suaranya serak menahan emosi. "Betul, Pak. Saya hanya guru honorer dengan gaji kecil. Saya tidak punya uang sebanyak itu. Saya bisa memberikan kompensasi, tapi jumlahnya jauh di bawah yang bapak minta. Saya hanya bisa menawarkan Rp 5 juta, itu semua yang saya punya."

Pak Dedi tertawa sinis. "Lima juta? Itu nggak sebanding dengan biaya rumah sakit, apalagi trauma anak saya!. Saya sudah bilang, kalau mau masalah ini selesai secara kekeluargaan, bayar 50 juta. Kalau nggak, biar hukum yang bicara."

Kepala Desa, yang sejak tadi mendengarkan dengan serius, mencoba menengahi. "Pak Dedi, tolong tenangkan diri sebentar. Kita semua di sini ingin mencari solusi terbaik. Kami bisa memahami perasaan bapak sebagai orang tua, tapi mari kita lihat lagi masalah ini secara proporsional. Pak Haris sudah meminta maaf dan menawarkan kompensasi. Mungkin kita bisa mencari jalan tengah?"

Namun, Pak Dedi menggeleng keras. "Nggak ada jalan tengah, Pak. Ini soal anak saya. Apa yang terjadi sudah terlalu besar. Kalau nggak ada kompensasi sesuai yang saya minta, biar laporan ke polisi jalan terus."

Pak Kepala Sekolah berusaha menengahi lagi. "Pak Dedi, mari kita renungkan lagi. Bukan berarti kami menyepelekan kondisi Gilang, tapi alangkah baiknya jika masalah ini bisa diselesaikan tanpa harus ke jalur hukum. Bapak juga pasti tahu dampaknya nanti untuk semua pihak, termasuk untuk Gilang sendiri. Kami dari pihak sekolah akan menambah 5 juta lagi bapak"

Pak Dedi tak goyah. "Jadi, kalian mau bilang luka anak saya sepele? Ini bukan cuma soal fisik, tapi mentalnya juga. Dia trauma! Anak saya nggak bisa tidur nyenyak sejak kejadian itu!. Apa lagi cuma nambah 5 juta, jadi 10 juta gitu?"

Salah satu guru senior, bu Laila, yang sejak tadi mendengarkan, ikut bicara. "Pak Dedi, kami semua ikut prihatin dengan apa yang terjadi. Saya tahu Pak Haris juga sangat menyesal. Kami semua bersedia mendampingi Gilang untuk pulih, baik secara fisik maupun mental. Tapi, mari kita selesaikan ini dengan damai."

Pak Dedi menatap bu Laila dengan mata berkilat. "Damai? Kalian terus bicara soal damai, tapi anak saya yang menanggung akibatnya. Kalau kalian nggak punya uang, saya nggak mau dengar omongan lagi. Biarkan polisi yang urus!"

Istri pak Haris tak tahan lagi, air mata mengalir di pipinya. "Pak Dedi, tolong... Kasihani kami. Kami benar-benar tidak punya uang sebanyak itu. Suami saya sudah berusaha menjadi guru terbaik untuk murid-murid, termasuk Gilang. Kami tidak meminta belas kasihan, tapi mohon pertimbangkan ini dengan hati." berhenti sejenak  kemudian berkata. "Terima kasih pak Kepala Sekolah telah membantu Kami". 

Pak Dedi mengalihkan pandangannya sejenak, tapi kemudian ia kembali menatap pak Haris dengan dingin. "Baiklah. Kalau kalian nggak bisa memenuhi tuntutan saya, biar polisi yang memutuskan. Saya sudah lapor, dan laporan itu tetap jalan kalau nggak ada 50 juta. Selesai!"

Pak Haris dan istrinya terdiam, tak tahu lagi harus berkata apa. Kepala Desa dan Kepala Sekolah saling berpandangan, sadar bahwa upaya mediasi ini telah gagal.

Kepala Desa akhirnya menghela napas panjang, lalu berbicara dengan nada penuh kekecewaan. "Baiklah, pak Dedi. Kami sudah berusaha semampu kami. Kalau itu keputusan bapak, kami tak bisa memaksa."

Pak Dedi berdiri dengan angkuh, lalu melirik pak Haris dan istrinya. "Saya harap kalian sadar, ini bukan soal uang".

                                                    ***

Esok jam 13.13 polisi datang ke rumah pak Haris dan menangkapnya. Kasus penamparan itu dilaporkan ke Polsek Bulukerto, dan pak Haris harus menjalani proses hukum. 

Dalam penahanannya, pak Haris merasa terpuruk. Ia tak pernah menyangka tamparan yang dilakukan dalam emosi akan berujung pada jeruji besi.

"Saya hanya ingin mendidik mereka. Saya tidak pernah bermaksud menyakiti Gilang. Ini semua terjadi begitu cepat," ucap pak Haris saat diinterogasi oleh seorang penyidik.

Di sisi lain, pak Dedi berusaha menguatkan tuntutannya di hadapan penyidik, sambil membawa visum dari rumah sakit yang menunjukkan adanya luka pada telinga Gilang. Namun, di belakang layar, pak Dedi juga menutupi permintaan uang damai yang diajukannya. "Kami tidak meminta uang apa pun. Pak Haris yang datang ke rumah membawa amplop, tapi kami menolaknya," kata pak Dedi, berbohong demi memperkuat posisinya.

Istri pak Haris hanya bisa menangis dalam diam, tak sanggup membayangkan bagaimana nasib suaminya. Guru-guru lain yang selama ini bekerja bersama pak Haris merasa iba, namun tak mampu berbuat banyak. Mereka tahu, hukum di Indonesia kadang sulit diduga arahnya. 

Dengan segala upaya yang dilakukan, pak Haris tetap terjebak dalam proses hukum. Ia hanya bisa berharap, keadilan akan berpihak padanya, meskipun di dalam hatinya.

                          ***

Saat sidang akhirnya mencapai puncak, suasana di ruang pengadilan penuh ketegangan. Semua mata tertuju pada hakim yang bersiap-siap membacakan putusannya. Di depan, pak Haris duduk dengan penuh kecemasan, sementara istrinya, guru-guru, serta para hadirin yang mendukungnya berdoa dalam hati. Disisi lain, pak Dedi dan keluarganya menunggu dengan wajah tegang.

Hakim memulai dengan suara tegas, tapi tenang. "Setelah menimbang seluruh bukti yang diajukan ke persidangan, baik dari pihak pelapor maupun terdakwa, serta mendengar keterangan saksi-saksi yang relevan, pengadilan ini telah sampai pada kesimpulan yang jelas dan objektif."

Seluruh ruangan hening, menunggu kata-kata berikutnya dari hakim.

"Pertama, terkait dengan klaim bahwa anak pelapor, Gilang, mengalami luka serius di telinganya sehingga menyebabkan gangguan pendengaran, berdasarkan hasil visum terbaru yang sah, pengadilan menemukan bahwa laporan awal yang menyebutkan adanya kerusakan permanen atau gangguan pendengaran berat adalah tidak benar. Dokumen visum awal tersebut telah dipalsukan, dan ternyata yang dialami Gilang hanyalah memar biasa yang tidak menyebabkan kerusakan permanen pada telinga atau tuli."

Mata Pak Haris melebar, sementara istri Pak Haris menutupi mulutnya, terharu mendengar putusan ini.

Hakim melanjutkan, "Selain itu, pengadilan juga memeriksa bukti tambahan berupa rekaman video percakapan antara pihak pelapor, yaitu pak Dedi, dengan terdakwa, dimana terbukti bahwa telah terjadi upaya pemerasan terhadap pak Haris. Dalam rekaman video yang diserahkan sebagai barang bukti oleh salah satu rekan terdakwa, yaitu bu Laila, jelas terdengar bahwa ada permintaan uang sebesar Rp 50 juta sebagai syarat perdamaian berupa konpensasi, yang jika tidak dipenuhi, laporan ke polisi akan tetap dilanjutkan."

Hakim berhenti sejenak, memandangi ruang sidang sebelum melanjutkan, "Tindakan ini merupakan bentuk pemerasan yang sangat serius. Berdasarkan bukti rekaman tersebut, pengadilan menilai bahwa laporan polisi yang diajukan oleh pihak pelapor bukanlah didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan keadilan, melainkan sebagai sarana untuk menekan dan memeras terdakwa."

Pak Dedi, yang duduk di barisan depan, tampak terguncang. Ia menunduk, wajahnya memerah saat para hadirin mulai berbisik-bisik.

Hakim lalu menghela napas sebelum mengumumkan keputusan akhir, "Berdasarkan seluruh bukti-bukti yang ada, pengadilan memutuskan bahwa tidak ada bukti pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014. Pasal 80 (1) oleh terdakwa. Diputuskan terdakwa yaitu bapak Haris tidak bersalah atas tuduhan penganiayaan anak di bawah umur. Terdakwa bebas dari segala tuntutan hukum yang diajukan kepadanya. Pengadilan juga memerintahkan penyelidikan lebih lanjut atas dugaan pemalsuan hasil visum dan dan upaya pemerasan yang dilakukan oleh pelapor, serta orang-orang yang terlibat dalam tindakan tersebut."

Suasana di ruang sidang berubah drastis. Wajah pak Haris langsung basah oleh air mata kelegaan, istrinya memeluknya tak kuasa menahan emosi. Guru-guru yang hadir tampak terharu dan bersyukur, sementara Pak Dedi menunduk malu, menyadari bahwa rencananya telah terbongkar.

Hakim mengakhiri sidang dengan ketukan palu, "Sidang selesai."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun