Gilang menepis tangan pak Haris dengan keras. "Jangan sentuh saya, pak! Saya nggak mau ikut!"
Kemudian, tanpa berpikir panjang, pak Haris menampar wajah Gilang. Tamparan itu memecah keheningan di lapangan. Gilang terjatuh, wajahnya memerah, air matanya mengalir deras. "Pak, kenapa bapak lakukan ini?" tanyanya sambil menangis. Anak-anak lain yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam, terkejut.
Pak Haris merasa bersalah, tetapi ia juga merasa bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk mendisiplinkan Gilang. "Saya hanya ingin kamu mengerti pentingnya disiplin, Gilang." Namun, Gilang langsung berlari meninggalkan lapangan, menuju rumahnya. Ia merasa sangat terluka, tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional.
                              Â
               ***
Setibanya di rumah, ia melaporkan kejadian tersebut kepada orang tuanya, pak Dedi dan istrinya, ibu Sari. "Papa, pak Haris tampar saya! Dia jahat!" teriak Gilang sambil menangis.
Pak Dedi, yang mendengar laporan anaknya, langsung marah."Pak Haris menampar kamu?" tanyanya dengan nada keras.
"Iya, Pa. Sakit sekali," jawab Gilang dengan suara yang terisak-isak.
Pak Dedi langsung meradang. "Saya tidak terima! Kita harus laporkan dia ke polisi!. Ini nggak bisa dibiarkan. Papa akan urus ini, Gilang. Guru nggak boleh main tangan sama murid!"
Ibu Sari mencoba menenangkan suaminya, "Tapi, papa, mungkin ada cara lain. Kita bisa bicara baik-baik...". Namun, Pak Dedi sudah terlanjur bertekad. Mereka pun pergi ke kantor polisi untuk melaporkan Pak Haris.
                ***