Namun, Pak Dedi menggeleng keras. "Nggak ada jalan tengah, Pak. Ini soal anak saya. Apa yang terjadi sudah terlalu besar. Kalau nggak ada kompensasi sesuai yang saya minta, biar laporan ke polisi jalan terus."
Pak Kepala Sekolah berusaha menengahi lagi. "Pak Dedi, mari kita renungkan lagi. Bukan berarti kami menyepelekan kondisi Gilang, tapi alangkah baiknya jika masalah ini bisa diselesaikan tanpa harus ke jalur hukum. Bapak juga pasti tahu dampaknya nanti untuk semua pihak, termasuk untuk Gilang sendiri. Kami dari pihak sekolah akan menambah 5 juta lagi bapak"
Pak Dedi tak goyah. "Jadi, kalian mau bilang luka anak saya sepele? Ini bukan cuma soal fisik, tapi mentalnya juga. Dia trauma! Anak saya nggak bisa tidur nyenyak sejak kejadian itu!. Apa lagi cuma nambah 5 juta, jadi 10 juta gitu?"
Salah satu guru senior, bu Laila, yang sejak tadi mendengarkan, ikut bicara. "Pak Dedi, kami semua ikut prihatin dengan apa yang terjadi. Saya tahu Pak Haris juga sangat menyesal. Kami semua bersedia mendampingi Gilang untuk pulih, baik secara fisik maupun mental. Tapi, mari kita selesaikan ini dengan damai."
Pak Dedi menatap bu Laila dengan mata berkilat. "Damai? Kalian terus bicara soal damai, tapi anak saya yang menanggung akibatnya. Kalau kalian nggak punya uang, saya nggak mau dengar omongan lagi. Biarkan polisi yang urus!"
Istri pak Haris tak tahan lagi, air mata mengalir di pipinya. "Pak Dedi, tolong... Kasihani kami. Kami benar-benar tidak punya uang sebanyak itu. Suami saya sudah berusaha menjadi guru terbaik untuk murid-murid, termasuk Gilang. Kami tidak meminta belas kasihan, tapi mohon pertimbangkan ini dengan hati." berhenti sejenak  kemudian berkata. "Terima kasih pak Kepala Sekolah telah membantu Kami".Â
Pak Dedi mengalihkan pandangannya sejenak, tapi kemudian ia kembali menatap pak Haris dengan dingin. "Baiklah. Kalau kalian nggak bisa memenuhi tuntutan saya, biar polisi yang memutuskan. Saya sudah lapor, dan laporan itu tetap jalan kalau nggak ada 50 juta. Selesai!"
Pak Haris dan istrinya terdiam, tak tahu lagi harus berkata apa. Kepala Desa dan Kepala Sekolah saling berpandangan, sadar bahwa upaya mediasi ini telah gagal.
Kepala Desa akhirnya menghela napas panjang, lalu berbicara dengan nada penuh kekecewaan. "Baiklah, pak Dedi. Kami sudah berusaha semampu kami. Kalau itu keputusan bapak, kami tak bisa memaksa."
Pak Dedi berdiri dengan angkuh, lalu melirik pak Haris dan istrinya. "Saya harap kalian sadar, ini bukan soal uang".
                          ***