Pagi itu, saya mendengar teriakan keras dari kamar utama. Bapak Ir. Bambang Kusuma, M.P, mantan Kepala Dinas Pertanian yang pernah berjaya di masa lalu, kembali terbangun dengan mimpi-mimpi masa kejayaannya. Ia berteriak. "Mana berkas-berkas itu? Saya harus tandatangani sebelum rapat dimulai!"
Saya sebagai ajudan dan sopir setia bapak segera bergegas masuk ke kamar. Saya tahu, ini bukan pertama kalinya bapak terbangun dengan anggapan bahwa ia masih menjabat. Padahal, beliau sudah pensiun beberapa tahun yang lalu.
"Pak, tenang, Pak. Hari ini tidak ada rapat. Bapak sudah pensiun," ujar saya sambil berusaha menenangkan.
Namun, wajah bapak berubah merah padam. "Kau tahu apa, Pala? Siapkan semua! Saya harus rapat hari ini tentang swasembada pangan. Kita tidak boleh gagal! Cepat buat undangan!"
Saya hanya bisa mengangguk, mengikuti perintahnya. Saya tahu, post power syndrome yang dialami bapak semakin parah. Kadang, saya merasa kasihan, tapi di sisi lain, saya sadar bahwa ini adalah peluang bagi saya. Sebagai orang yang dipercaya dan satu-satunya yang masih peduli, saya mendapat tambahan bonus dari istri beliau, Ibu Prameswari dan anak-anak bapak  untuk menjaga ayahnya. Anak-anak beliau jarang pulang, sibuk dengan karir dan keluarga masing-masing, tempat tinggal berjauhan mas Indra di Jakarta, mas Dono di Medan dan yang ragil yaitu mas Kasno di Samarinda.
***
Pukul 10 pagi, rapat "dinas" yang diinginkan bapak akhirnya dimulai di ruang tamu. Saya sudah mengatur semuanya, meskipun hanya ada empat orang yaitu bapak, Â ibu Prameswari, Sisri si asisten rumah tangga, dan saya sendiri. Di depan kami, ada papan tulis kecil dan beberapa berkas yang saya buat seolah-olah serius. Saya tahu ini hanya sandiwara, tapi saya harus melakukannya demi menenangkan bapak.
"Baik, hadirin sekalian. Hari ini kita bahas tentang swasembada pangan di daerah kita," kata bapak dengan nada serius. Matanya menyipit, seolah ia benar-benar sedang memimpin rapat penting.
Ibu Prameswari hanya menatap suaminya dengan pandangan hampa, tapi tetap berusaha tersenyum. "Iya, Pak, apa yang bisa kita lakukan?"
Bapak menepuk meja, "Masalah beras di daerah ini sudah terlalu parah! Kita harus cari alternatif!" teriaknya dengan semangat, seakan-akan seluruh daerah bergantung pada keputusannya.
Sisri, yang duduk di sudut, terlihat bingung. Ia hanya mengangguk-angguk sambil menatap saya, mencari petunjuk. Saya memberi isyarat dengan mata agar dia ikut dalam permainan ini.