"Itu, lho, Mas, pembangunan mal di Manokwari, alih-alih pasar modern. Waktu wacananya rilis, kan, bikin huru-hara di sini. Denger-denger harus ngorbanin kawasan bakau, sepertiga hutan lindung, sama 100 rumah warga yang mesti direlokasi. Kalau diterusin, saya berani gelontorin 200 juta. Ya, itung-itung jadi amal jariyah buat kesejahteraan rakyat."
"Auk, dah! Saya juga sangsi. Pak Dewo yang jadi supervisor udah mokat. Mister Frank, si kepala konstruksi, katanya kena tulah racun pas coffee break di Copenhagen. Gosipnya si kuasa hukum, Daniel Hutapea, udah pelesiran ke Okinawa sama Eiffel. KPK tepok jidat, tuh!"
Dewo berubah terperanjat. Mata baksonya membeliak. Walau isi dadanya kosong, tapi kepanikan justru merona. Proyek menggiurkan berakhir kacau karena nasib dua orang andalan yang jadi bahan gunjingan membuatnya cemas dan gemas. Dilihatnya lagi pasangan penggosip beralih mengunyah blackforest. Seraya menembusi dinding ruangan, Dewo terus memutar otak. Menemukan cara agar bisa hidup kembali, menjadi manusia seutuhnya.
***
Di bawah terang purnama, pandangan Dewo bersirobok dengan sebuah kios. Luasnya setara toko perhiasan berjarak 700 meter dari kantor, berada pada persimpangan yang jarang dilewati. Posisinya menjorok sedikit ke dalam mulut gang yang hanya bisa dilalui satu motor, di bawah pohon kenari, diterangi satu neon yang berkedip muram. Dari penampakan luarnya, kios itu hanya memajang sebuah spanduk kain hitam bertuliskan:
JUAL CEPAT: NYAWA.
TERSEDIA BERBAGAI MACAM JENIS NYAWA DARI 500 TAHUN LALU HINGGA TERKINI. GARANSI SESUAI KEHENDAK PEMILIK KIOS. RISIKO DITANGGUNG PEMBELI.
Sejalan dengan ambisinya, Dewo memutuskan untuk mampir. Untuk hidup, ia butuh nyawa yang berbeda dari sebelumnya, sehingga proyek tersebut bisa sukses berkat tangan dinginnya.
"Permisi, Tuan. Apa benar Anda menjual nyawa?" Dewo masih tak percaya dengan penglihatannya.
"Pilih saja!"
Nyawa-nyawa yang dipajang pada sudut-sudut kios beragam jenisnya, ditempatkan dalam kemasan berlainan. Terbungkus di kaleng, botol, stoples, mangkuk gerabah, sampai plastik kresek dan karung. Bagian luar ditutupi kain hitam tebal sehingga tidak tertebak isinya. Â
"Maaf, Tuan---"
"Panggil aku Azaril."
"Ya, Tuan Azaril. Kenapa nyawa yang Anda jual ditaruh di tempat berbeda-beda?"
Tuan Azaril yang sejak kedatangan Dewo sibuk menata tumpukan kardus, beralih menyoroti wajah Dewo dengan nyalang. Si arwah bergeming. Tatapan pemilik kios terasa begitu menggetarkan, seperti sanggup membuat siapa pun gentar bergidik.