Dua jam selepas salat Jumat, sepucuk kabar menyeruak ke seantero nusantara. Dari tingkat RT sampai tampuk kepemimpinan tertinggi, bahkan mulai merambahi negeri tetangga. Seorang menteri bidang Kesejahteraan dan Kemakmuran Nasional yang diketahui bernama Drs. H. Sadewo Nugroho, M.Si.---seterusnya kita sebut saja Dewo, sesuai panggilan akrab---diketahui meninggal mendadak setelah berhasil menelan habis dua porsi soto Betawi, kentang goreng, dan jus mangga di kafetaria. Menurut pengakuan sejumlah rekan sejawat kepada awak pers yang memang posisi kursinya mengelilingi almarhum, mengatakan, saat itu Dewo tiba-tiba memerah mukanya.Â
Tubuh Dewo tergolek layu di atas ranjang. Setelah kejangnya reda selama perjalanan menuju rumah sakit, napasnya pun ikut lenyap. Dokter dan perawat di IGD malah belum sempat memberikan pertolongan pertama. Kendati tak selamat, pemeriksaan tetap dilanjutkan. Dinyatakan telah mengalami penyumbatan di saluran kerongkongan, gangguan aliran darah di bagian otak kecil, dan infeksi pada lambung.
Tanpa menunggu hari berganti, ketegangan lekas menyambar bak api tersiram bensin. Pejabat di kementerian lantas menunda rapat, presiden dan wakilnya membatalkan kunjungan kerja ke luar ibukota, segenap mulut dan mata rakyat terperanjat di depan televisi. Saat musibah terjadi, kebetulan istri Dewo, Ningsih, baru masuk ke kamar hotel setelah lelah mencari tas dan arloji incarannya sepanjang mal-mal di Amsterdam. Dua anaknya juga sedang di luar negeri, sibuk bersama pasangan masing-masing. Mereka masih belum menyadari kepergian Dewo sudah cepat tersebar di seluruh laman artikel online, sosial media, radio, televisi, bahkan oplah dua koran nasional ternama---Poskam dan Ompet---naik dua kali lipat karenanya. Â Â
Jasad Dewo segera dipulangkan menuju Lavender Mist Residence, kawasan perumahan elite di barat Jakarta. Ustaz Sobri mengimbau agar prosesi pemakaman disegerakan sebelum masuk waktu magrib.
***
Masuk dini hari, ketika para peronda riuh menyaksikan Liga Inggris dan kuncen sudah mulai tarik sarung, segumpal asap mengepul dari celah batu nisan. Membubung pelan-pelan, berputar sebentar di udara, luruh mendarat di atas tanah merah basah, lalu seketika tegak membentuk sesosok bayang tanpa organ dalam. Bentuknya memang kurang sempurna; hanya dilengkapi sepasang mata sebesar bakso yang seperti hendak mencuat keluar, hidung bengkok, mulut mencong, jari kaki dan tangan tak lengkap. Dengan wujud seperti itu, Dewo menyusuri kekelaman malam.
Tujuan pertama: rumah. Di sana benar-benar lengang. Ia baru paham jika anak dan istrinya masih betah keliling dunia sejak tiga proyek yang ditanganinya---batu bara, pembangunan apartemen, dan restrukturisasi kampung nelayan disulap jadi objek pariwisata---berhasil tuntas. Keluarganya kecipratan sekian miliar dan langsung ngacir ke luar negeri saat dirinya bergelung dengan setumpuk agenda kerja. Bahkan, sopir pribadi dan tiga pembantu pulang kampung setelah ikut menikmati rezeki nomplok darinya.Â
Tujuan berikutnya: kantor. Hanya sekian detik ia sampai dan menembus masuk dari dinding. Di dalamnya, rapat besar terkait kesejahteraan rakyat masih berlangsung khidmat. Sejumlah anggota dewan ada yang tampak serius menyimak, ada pula yang nimbrung berdebat sengit, utak-atik ponsel---dari chatting simpanan sampai main game online--,bahkan tak sedikit terlihat wajah-wajah sarat kantuk dan menguap berulang kali. Dewo memandang ke seluruh penjuru ruangan, lamat-lamat terbit senyuman di sudut bibir yang mengabu.
"Masih seperti biasa," gumamnya.
Saat arwah gendut itu hendak beranjak pergi, tertangkap kasak-kusuk di barisan dua meja dari belakang, menggosipkan soal proyek prestisius. Ia mengernyit, menyorongkan telinga.
"Sebenarnya tuh proyek jadi dilanjutin kagak, sih?"
"Proyek yang mana?"
"Itu, lho, Mas, pembangunan mal di Manokwari, alih-alih pasar modern. Waktu wacananya rilis, kan, bikin huru-hara di sini. Denger-denger harus ngorbanin kawasan bakau, sepertiga hutan lindung, sama 100 rumah warga yang mesti direlokasi. Kalau diterusin, saya berani gelontorin 200 juta. Ya, itung-itung jadi amal jariyah buat kesejahteraan rakyat."
"Auk, dah! Saya juga sangsi. Pak Dewo yang jadi supervisor udah mokat. Mister Frank, si kepala konstruksi, katanya kena tulah racun pas coffee break di Copenhagen. Gosipnya si kuasa hukum, Daniel Hutapea, udah pelesiran ke Okinawa sama Eiffel. KPK tepok jidat, tuh!"
Dewo berubah terperanjat. Mata baksonya membeliak. Walau isi dadanya kosong, tapi kepanikan justru merona. Proyek menggiurkan berakhir kacau karena nasib dua orang andalan yang jadi bahan gunjingan membuatnya cemas dan gemas. Dilihatnya lagi pasangan penggosip beralih mengunyah blackforest. Seraya menembusi dinding ruangan, Dewo terus memutar otak. Menemukan cara agar bisa hidup kembali, menjadi manusia seutuhnya.
***
Di bawah terang purnama, pandangan Dewo bersirobok dengan sebuah kios. Luasnya setara toko perhiasan berjarak 700 meter dari kantor, berada pada persimpangan yang jarang dilewati. Posisinya menjorok sedikit ke dalam mulut gang yang hanya bisa dilalui satu motor, di bawah pohon kenari, diterangi satu neon yang berkedip muram. Dari penampakan luarnya, kios itu hanya memajang sebuah spanduk kain hitam bertuliskan:
JUAL CEPAT: NYAWA.
TERSEDIA BERBAGAI MACAM JENIS NYAWA DARI 500 TAHUN LALU HINGGA TERKINI. GARANSI SESUAI KEHENDAK PEMILIK KIOS. RISIKO DITANGGUNG PEMBELI.
Sejalan dengan ambisinya, Dewo memutuskan untuk mampir. Untuk hidup, ia butuh nyawa yang berbeda dari sebelumnya, sehingga proyek tersebut bisa sukses berkat tangan dinginnya.
"Permisi, Tuan. Apa benar Anda menjual nyawa?" Dewo masih tak percaya dengan penglihatannya.
"Pilih saja!"
Nyawa-nyawa yang dipajang pada sudut-sudut kios beragam jenisnya, ditempatkan dalam kemasan berlainan. Terbungkus di kaleng, botol, stoples, mangkuk gerabah, sampai plastik kresek dan karung. Bagian luar ditutupi kain hitam tebal sehingga tidak tertebak isinya. Â
"Maaf, Tuan---"
"Panggil aku Azaril."
"Ya, Tuan Azaril. Kenapa nyawa yang Anda jual ditaruh di tempat berbeda-beda?"
Tuan Azaril yang sejak kedatangan Dewo sibuk menata tumpukan kardus, beralih menyoroti wajah Dewo dengan nyalang. Si arwah bergeming. Tatapan pemilik kios terasa begitu menggetarkan, seperti sanggup membuat siapa pun gentar bergidik.
"Penempatan yang variatif ini menandakan perbedaan dari tingkat kualitas, kekuatan si pemilik nyawa saat masih hidup, dan sejarah yang melatarbelakanginya. Semakin bagus dan layak kemasannya, maka nyawa tersebut memang berkualitas tetapi juga terdapat risiko laten bagi orang yang menggunakannya."
"Cara belinya?"
Tuan Azaril menyeringai. "Setiap transaksi yang terjadi, kau hanya perlu menyerahkan satu hal duniawi yang berharga bagimu. Bisa dikembalikan atau ditukar jika ada kesalahan. Namun, aku harus melenyapkan apa yang kaujaminkan untuk sepotong nyawa."
"Berat amat, peraturannya! Pusing!" Dewo sontak misuh. "Kalo saya nolak, gimana?"
"Selamanya kau menggantung antara fana dan kekal."Â
"Ya sudah. Saya ingin nyawa yang punya karakter lebih berani melawan risiko, berapi-api, penuh optimisme, kompeten, dan profesional. Sebab ada urusan genting yang harus diselesaikan."
"Cobalah ini." Tuan Azaril menyodorkan kaleng besi bertuliskan 'Adolf Hitler' serta sebuah kunci perak.
"Masukkan anak kunci ke lubang pengait, putar tuasnya, buka perlahan seperti saat membuka kaleng sarden, lalu teguklah tanpa sisa. Pejamkan matamu dan jangan pernah melirik isinya."
Isi kaleng hendak ditenggak, tetapi lekas dicegah.
"Tunggu! Apa yang dijadikan jaminan?"
"Dua mobil dan apartemen saya di selatan Jakarta," sergah Dewo tanpa pikir panjang. Ibu jari dan telunjuk Tuan Azaril saling berjentik melenyapkannya. Nyawa dalam kaleng itu pun buru-buru dileburkan, membuat arwah Dewo sekejap menguap lalu meletup layaknya popcorn.
***
Tubuh Dewo yang sudah terisi nyawa pemimpin Nazi itu nyatanya berbuah celaka. Lima hari setelah penggunaan, tabiat dan arus pikirannya terkontaminasi karakter si pemilik; berdarah dingin dan tanpa ampun. Lidahnya berhasil menghabisi tiga rival sesama anggota dewan yang berusaha menjegal pengembangan proyek kemudian melenyapkannya diam-diam, persis Hitler di masa kejayaannya menginjak-injak asasi Berlin. Aksi itu akhirnya terendus kepolisian. Mulai dikerahkan agen intelijen yang khusus menyoroti segala gerik Dewo andaikata jatuh korban lagi. Jika malam datang, seperempat kesadaran tersentak menyadari kegilaan yang dibuatnya. Resah dan takut menghantui jika tak bisa menyambut hari esok, sementara proyek ambisius hampir memasuki separuh jalan.
Jelang seminggu, Dewo kembali menyambangi kios. Gusar menggumuli dadanya.
"Tuan, apa saya bisa mengganti nyawa?"
"Terserah. Asal sesuatu yang kaujaminkan bernilai sebanding."
Seiring misi proyek terus digulirkan, tanpa sadar Dewo menjadikan dirinya entitas tidak beraturan. Nyawa-nyawa penguasa masa lampau berkelindan mengunci raga dan terus memaksanya berubah. Usai Hitler mengancam akan menyiksanya dengan revolver jika tak dikembalikan ke asal, bergantian ia membeli nyawa Napoleon, Coen, Ken Arok, hingga Oda Nobunaga. Sempat dibujuknya Tuan Azaril untuk menyerahkan nyawa sosok-sosok pemberani seperti Umar Bin Khattab, Diponegoro, Gandhi, dan Soedirman. Walau Dewo berani mempertaruhkan aset rahasia, tetap ditentang keras.
"Mereka terlalu mulia untuk pria serakah sepertimu!" sergahnya. Â Â Â Â
 Sewindu tanpa hasil, Dewo malah lekat terperangkap dalam raga babi ngepet yang mati penasaran, setelah Raja Iblis berganti rupa dan sukses menipunya.[]
(*) Bekasi---Jakarta, 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H