"Penempatan yang variatif ini menandakan perbedaan dari tingkat kualitas, kekuatan si pemilik nyawa saat masih hidup, dan sejarah yang melatarbelakanginya. Semakin bagus dan layak kemasannya, maka nyawa tersebut memang berkualitas tetapi juga terdapat risiko laten bagi orang yang menggunakannya."
"Cara belinya?"
Tuan Azaril menyeringai. "Setiap transaksi yang terjadi, kau hanya perlu menyerahkan satu hal duniawi yang berharga bagimu. Bisa dikembalikan atau ditukar jika ada kesalahan. Namun, aku harus melenyapkan apa yang kaujaminkan untuk sepotong nyawa."
"Berat amat, peraturannya! Pusing!" Dewo sontak misuh. "Kalo saya nolak, gimana?"
"Selamanya kau menggantung antara fana dan kekal."Â
"Ya sudah. Saya ingin nyawa yang punya karakter lebih berani melawan risiko, berapi-api, penuh optimisme, kompeten, dan profesional. Sebab ada urusan genting yang harus diselesaikan."
"Cobalah ini." Tuan Azaril menyodorkan kaleng besi bertuliskan 'Adolf Hitler' serta sebuah kunci perak.
"Masukkan anak kunci ke lubang pengait, putar tuasnya, buka perlahan seperti saat membuka kaleng sarden, lalu teguklah tanpa sisa. Pejamkan matamu dan jangan pernah melirik isinya."
Isi kaleng hendak ditenggak, tetapi lekas dicegah.
"Tunggu! Apa yang dijadikan jaminan?"
"Dua mobil dan apartemen saya di selatan Jakarta," sergah Dewo tanpa pikir panjang. Ibu jari dan telunjuk Tuan Azaril saling berjentik melenyapkannya. Nyawa dalam kaleng itu pun buru-buru dileburkan, membuat arwah Dewo sekejap menguap lalu meletup layaknya popcorn.