Tampaknya kehidupan toleransi di Indonesia tidak seindah apa yang dicitrakan selama ini. SETARA Institute mencatat, antara tahun 2007 sampai dengan 2018 terdapat 2400 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia (Tempo, 11 November 2019).
Selama kurun waktu 12 tahun tersebut, terdapat 398 gangguan pada tempat ibadah dengan derajat yang beragam, baik pembakaran, perusakan atau gagal didirikan dengan alasan perizinan, serta gangguan lainnya.
Gereja dan masjid menempati angka tertinggi, yakni gereja sebanyak 199 gangguan dan masjid sebanyak 133 gangguan (databoks.katadata.co.id, 31 Desember 2019). Sementara Wahid Foundation (Agustus, 2019), mencatat dalam kurun waktu tahun 2016 – 2018 terdapat 609 peristiwa dan 854 tindakan intoleransi beragama, dengan aktor negara maupun non negara.
Intoleransi beragama ini tentu saling berkaitan dengan intoleransi politik dan sosial, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan september 2019 lalu (LSI, Rilis Survei Nasional, 3 November 2019), dalam politik skala nasional dengan muslim sebagai konstituen mayoritas ditemukan fakta bahwa, sebanyak 59,1% muslim keberatan apabila non-muslim menjadi Presiden, 56,1 % keberatan apabila non-muslim menjadi Wakil Presiden, dan 51,8 % keberatan apabila non-muslim menjadi kepala daerah.
Berkaitan dengan kehidupan sosial, terdapat sebanyak 36,4 % muslim keberatan apabila non-muslim mengadakan acara ibadah di dekat tempat tinggal mereka, dan sebesar 53 % keberatan apabila non-muslim membangun tempat ibadah berdekatan dengan tempat tinggal mereka. Meskipun angka persentase non-muslim yang tidak merasa keberatan terhadap pelaksanaan dan pembangunan rumah ibadah muslim di sekitar tempat tinggal mereka berada di atas 60%, namun dibandingkan tahun 2018 terjadi penurunan.
Secara kualitatif temuan LSI tersebut tidak jauh berbeda dengan temuan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2016 lalu, yakni terdapat sebanyak 33% masyarakat Indonesia tidak nyaman hidup berdekatan dengan orang yang berbeda agama, 68% dari 33% tersebut tidak nyaman apabila tempat ibadah agama yang berbeda didirikan dalam wilayah komunitas mereka. Intoleransi suku dan etnis sama mengkhawatirkannya, Komnas HAM mencatat antara tahun 2011 sampai dengan 2018 terdapat 101 kasus diskriminasi ras dan etnis dilaporkan kepada mereka.
Jika kita mundur ke belakang, sikap intoleransi sebenarnya sudah ada sejak awal kemerdekaan dengan pola yang berbeda. Masa orde lama pada periode demokrasi terpimpin dan orde baru dengan karakter pemerintahan yang otoriter, sikap intoleransi didominasi oleh kekuasaan, dengan mengungkung kebebasan berpendapat serta periode tanpa Pemilihan Umum yang sebenarnya.
Pasca reformasi, sikap intoleransi muncul sebagai paradoks demokrasi. Kebebasan berpendapat dan berkumpul tidak diikuti dengan penghormatan kepada pendapat, sikap, dan pendirian yang berbeda.
Akibatnya intoleransi agama, politik, serta etnis dan rasis menjadi sangat terasa. Cukup mengkhawatirkan bagi bangsa yang didirikan berlandaskan keragaman agama, budaya, suku, dan etnis ini. Jika terus dibiarkan maka potensi konflik “masyarakat vs masyarakat” dan “masyarakat vs negara” akan terjadi. Terlampau besar resiko yang akan kita tanggung.
Menilik Prakondisi Intoleransi
Menurut penulis, terdapat beberapa prakondisi yang mendorong lahirnya sikap intoleransi, yakni tirani mayoritas, komunitas tertutup dan indoktrinasi, serta politik identitas dan buruknya pendidikan politik.
Tirani Mayoritas
Mayority rules merupakan ekses yang muncul dari demokrasi, alih-alih perlindungan terhadap kaum minoritas, arogansi kelompok mayoritas cenderung lebih menonjol, khususnya di Indonesia.
Daya tawar yang tinggi dalam politik demokrasi dengan sistem one person-one vote, telah menempatkan kelompok mayoritas merasa memiliki privelege dalam kehidupan sosial. Kebebasan tanpa batas seakan-akan dimiliki oleh kelompok ini, sehingga seringkali merasa terganggu apabila hak-hak minoritas disamakan dengan hak- hak kelompok mayoritas.
Mengerdilkan makna pepatah “di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung” untuk menuntut kepada minoritas agar “tahu diri” dan mengalah pada mayoritas, seringkali digaungkan apabila dihadapkan pada sebuah fenomena yang dirasa memereteli halusinasi kebebasan tanpa batas itu.
Di sisi lain, pemerintah yang lahir dari proses pemilihan langsung, seringkali memilih kebijakan menurut kehenak mayoritas. Baik dan buruk suatu kebijakan tidak lagi menjadi pertimbangan utama, namun bagaimana penerimaan kelompok mayoritas.
Di Indonesia, arogansi kelompok mayoritas selalu terjadi pada setiap agama, tidak hanya terbatas pada muslim. Daerah yang kelompok mayoritas adalah pemeluk agama selain Islam, juga cenderung merasa memiliki privilege di bidang kehidupan sosial. Dalam survei yang dilakukan LSI (Rilis Survei Nasional, 3 November 2019) terdapat sebanyak 37.2 % warga muslim dan 14,8 % warga non-muslim yang memiliki kecenderungan tersebut.
Komunitas yang Tertutup dan Indoktrinasi
Ternyata hidup berdampingan yang seringkali kita gaungkan hanya sebatas retorika semata. Faktanya dari survei yang dilakukan Komnas HAM dan Litbang Kompas pada tahun 2018 lalu, sebesar 89% masyarakat Indonesia lebih nyaman hidup dalam keturunan yang sama, 83,1 % lebih nyaman hidup kelompok etnis yang sama, dan sebesar 82,7 % lebih nyaman hidup dalam kelompok ras yang sama.
Survei yang dilakukan CSIS lebih merinci mengenai hidup berdampingan antara agama, bahwa terdapat 33% masyarakat Indonesia tidak nyaman hidup berdekatan dengan orang yang berbeda agama. Tampaknya kebiasaan merantau sejak dulu tidak berpengaruh banyak, sebab di tanah rantau orang-orang tersebut juga membentuk komunitasnya sendiri, serta menganggap yang lain sebagai orang luar.
Kebiasaan itu tentunya telah memengaruhi cakrawala berpikir tentang takdir perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dampaknya, perbedaan-perbedaan yang tidak lazim dalam komunitasnya dianggap mengganggu eksistensinya.
Akibatnya, terbentuklah kelompok belajar, organisasi massa, atau perkumpulan biasa yang bersifat sangat tertutup. Jajaring media sosial yang menjangkau hampir di seluruh wilayah Indonesia mempercepat penyebaran paham, melampui cabang-cabang organisasi itu sendiri. Masyarakat perkotaan dengan karakteristik yang individual lebih gampang terpengaruh.
Proses pendidikan bukan berarti tidak berjalan dalam suatu komunitas yang tertutup, namun kebebasan berpikir masih terkungkung dalam doktrin-doktrin yang tidak pernah diuji secara obyektif.
Dampaknya bukan hanya menimpa kader pada suatu komunitas, namun juga mentor, senior, guru, ustad, atau pembinanya. Kader atau anggota komunitas hanya mendapatkan pemahaman dari sumber yang terbatas, sementara mentor terlanjur nyaman disanjung oleh anggota yang tidak pernah menyanggah. Di atas mimbar tidak ada garis pembatas antara wibawa dan jumawa.
Politik Identitas dan Buruknya Pendidikan Politik
Celakanya komunitas yang tertutup dengan berbagi doktrinnya, seringkali dianggap sebagai potensi kantong-kantong massa oleh politikus, untuk memperoleh konstituen pada saat pemilihan atau pendukung kebijakan saat mendapatkan kekuasaan. Mencitrakan diri sebagai bagian dari komunitas itu, merupakan cara instant mendapatkan dukungan massa. Alih-alih bertarung gagasan melalui negative campaign, black campaign pada lawan politik lebih dipilih untuk menjaga solidaritas massa yang telah dikumpulkan.
Politik identitas tersebut diperparah dengan pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat oleh para politisi. Kerapkali politisi berdebat secara kasar pada layar kaca ataupun jejaring internet. Di balik layar, segera setelah tayangan itu selesai mereka bersalaman, berpelukan, atau bahkan ngopi bareng.
Terlebih pada satu titik seiring berjalannya waktu, politikus yang tadinya berbeda pendapat memiliki kepentingan yang sama. Segera mereka lupakan caci maki dalam perdebatan itu, kemudian dengan gagah dan bangga mengatakan “kita tetap bersahabat”.
Sikap di atas telah mendegradasi kriteria kekerasan hanya pada verbal saja, padahal terdapat kekerasan non-verbal yang justru lebih berdampak negatif. Politikus memiliki “vaksin” dari “virus intoleransi”, yakni persamaan kepentingan, namun tidak pada rakyat di akar rumput.
Kata-kata kasar, tudingan, dan justifikasi serta saling membunuh karakter akibat perbedaan pandangan, sudah terlanjur disaksikan oleh mereka. ibarat pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, alih-alih mendapatkan gagasan dari perdebatan politikus, malah mendapatkan inspirasi baru untuk mencaci. Rakyat mendapatkan guru yang buruk.
Vaksin untuk Virus Intoleransi
Jika dianalogikan sebagai wabah penyakit menular, virus intoleransi telah lama menjadi pendemik dengan tingkat penyebaran yang massif. Ia tidak membunuh secara langsung individu, melainkan menggerogoti tatanan sosial melalu konflik horizontal maupun vertikal.
Oleh karena itu, setiap individu sebagai bagian dari masyarakat harus meningkatkan “kekebalan tubuhnya” untuk mencegah “infeksi”. Sama halnya dengan vaksin untuk virus, vaksin intoleransi ada yang diproduksi secara alamiah dalam tubuh manusia, yaitu “kaidah emas dalam diri” dan vaksin yang disuntikkan dari luar yakni “pendidikan agama berlandaskan cinta”.
Menggali Kaidah Emas dalam Diri
Syair indah Jalaluddin Rumi : “Sekalipun orang mampu melihat seratus ribu cahaya, niscaya cahaya itu tidak akan turun kecuali menuju asalnya”, dalam penjelasannya : meskipun dunia penuh dengan cahaya, tak akan ada seseorang yang mampu melihat cahaya itu, jika di matanya tidak ada percikan cahaya. Asal ketidakmampuan itu berada dalam dirinya sendiri (Rumi, Abdul Latif, 2016: 138). Dalam diri manusia telah diselipkan sebuah keagungan, yakni hati nurani yang di dalamnya terdapat cahaya ilahi. Cahaya yang hanya dapat diperoleh dari pengenalan manusia terhadap diri sendiri, yang ditemui dalam perenungan melalui syahdunya doa dan pujian untuk Sang Pencipta
Mengenal diri tidaklah membutuhkan pendidikan tinggi, tidak pula harus memiliki kesaktian mandraguna, cukup menjadi manusia saja, “lihat ke dalam diri apa tidak disukai, kemudian jangan lakukan itu kepada orang lain”, inilah kaidah emas untuk menjadi manusia. Manusia yang mampu menerima dirinya, berada di dalam dunia yang penuh dengan perbedaan.
Pendidikan Agama berlandaskan Cinta
Diskursus diskusi agama belakangan ini, justru memisahkan agama dengan persoalan dunia yang sesungguhnya. Setiap permasalahan yang ada pun mengambil jalan instant untuk penyelesaiannya. Indoktrinasi dalam pengaderan setiap komunitas yang tertutup, khususnya kelompok radikal, tidak mau pusing (atau tidak memiliki kemampuan?) untuk menilik substansi dan menyusun konsep terhadap suatu fenomena sosial yang dianggap abnormal.
Tatanan ekonomi misalnya, alih-alih menganalisis ekonomi kapitalis dan berbagai eksesnya serta ketidakmampuan Marxis bertahan di era ilmu pengetahuan dan teknologi, indoktrinasi justru mengambil jalan pintas dengan langsung menudingnya sebagai produk iblis. Sebagai penghubung antara kebencian hasil doktrinasi, digunakan teori konspirasi dengan segala “cocoklogi” agar tampak ilmiah. Ayat-ayat suci dibacakan untuk menambah keyakinan, bahwa mereka adalah satu-satunya golongan yang benar.
Faktor utama yang membuat orang gampang menerima doktrin tersebut adalah, glorifikasi kesatria perang lebih ditonjolkan dibanding nilai yang sesungguhnya dalam materi sejarah pendidikan agama. Dalam pelajaran agama Islam yang diterima oleh penulis sejak Sekolah Dasar misalnya, peristiwa Fathul Mekkah (Penaklukkan kota Mekkah) oleh Rasulullah lebih menonjolkan pada kekuatan dan kegagahan pasukan Islam yang mengepung kota Mekkah, bukan pada wujud “Belas Kasih” Rasulullah untuk memaafkan perilaku lampau masyarakat jahiliah, yang sangat tidak manusiawi bagi umat Islam di awal penyebarannya.
Kemampuan memberi maaf di saat yang sangat rasional dan manusiawi serta superior untuk melakukan pembalasan, adalah ajaran cinta yang sesungguhnya dalam Islam. Mencapai hakikat cinta sesungguhnya, adalah ketika trauma masa lalu tidak menghalangi terbukanya uluran tangan untuk hidup bersama dalam satu tatanan masyarakat Madani.
Penulis meyakini, ajaran belas kasih ada pada setiap agama yang ada di dunia, tidak hanya pada agama samawi, namun pula agama kepercayaan. Tentunya hal itu vaksin yang sangat efektif membunuh virus bernama intoleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H