Mayority rules merupakan ekses yang muncul dari demokrasi, alih-alih perlindungan terhadap kaum minoritas, arogansi kelompok mayoritas cenderung lebih menonjol, khususnya di Indonesia.
Daya tawar yang tinggi dalam politik demokrasi dengan sistem one person-one vote, telah menempatkan kelompok mayoritas merasa memiliki privelege dalam kehidupan sosial. Kebebasan tanpa batas seakan-akan dimiliki oleh kelompok ini, sehingga seringkali merasa terganggu apabila hak-hak minoritas disamakan dengan hak- hak kelompok mayoritas.
Mengerdilkan makna pepatah “di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung” untuk menuntut kepada minoritas agar “tahu diri” dan mengalah pada mayoritas, seringkali digaungkan apabila dihadapkan pada sebuah fenomena yang dirasa memereteli halusinasi kebebasan tanpa batas itu.
Di sisi lain, pemerintah yang lahir dari proses pemilihan langsung, seringkali memilih kebijakan menurut kehenak mayoritas. Baik dan buruk suatu kebijakan tidak lagi menjadi pertimbangan utama, namun bagaimana penerimaan kelompok mayoritas.
Di Indonesia, arogansi kelompok mayoritas selalu terjadi pada setiap agama, tidak hanya terbatas pada muslim. Daerah yang kelompok mayoritas adalah pemeluk agama selain Islam, juga cenderung merasa memiliki privilege di bidang kehidupan sosial. Dalam survei yang dilakukan LSI (Rilis Survei Nasional, 3 November 2019) terdapat sebanyak 37.2 % warga muslim dan 14,8 % warga non-muslim yang memiliki kecenderungan tersebut.
Komunitas yang Tertutup dan Indoktrinasi
Ternyata hidup berdampingan yang seringkali kita gaungkan hanya sebatas retorika semata. Faktanya dari survei yang dilakukan Komnas HAM dan Litbang Kompas pada tahun 2018 lalu, sebesar 89% masyarakat Indonesia lebih nyaman hidup dalam keturunan yang sama, 83,1 % lebih nyaman hidup kelompok etnis yang sama, dan sebesar 82,7 % lebih nyaman hidup dalam kelompok ras yang sama.
Survei yang dilakukan CSIS lebih merinci mengenai hidup berdampingan antara agama, bahwa terdapat 33% masyarakat Indonesia tidak nyaman hidup berdekatan dengan orang yang berbeda agama. Tampaknya kebiasaan merantau sejak dulu tidak berpengaruh banyak, sebab di tanah rantau orang-orang tersebut juga membentuk komunitasnya sendiri, serta menganggap yang lain sebagai orang luar.
Kebiasaan itu tentunya telah memengaruhi cakrawala berpikir tentang takdir perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dampaknya, perbedaan-perbedaan yang tidak lazim dalam komunitasnya dianggap mengganggu eksistensinya.
Akibatnya, terbentuklah kelompok belajar, organisasi massa, atau perkumpulan biasa yang bersifat sangat tertutup. Jajaring media sosial yang menjangkau hampir di seluruh wilayah Indonesia mempercepat penyebaran paham, melampui cabang-cabang organisasi itu sendiri. Masyarakat perkotaan dengan karakteristik yang individual lebih gampang terpengaruh.
Proses pendidikan bukan berarti tidak berjalan dalam suatu komunitas yang tertutup, namun kebebasan berpikir masih terkungkung dalam doktrin-doktrin yang tidak pernah diuji secara obyektif.