Dampaknya bukan hanya menimpa kader pada suatu komunitas, namun juga mentor, senior, guru, ustad, atau pembinanya. Kader atau anggota komunitas hanya mendapatkan pemahaman dari sumber yang terbatas, sementara mentor terlanjur nyaman disanjung oleh anggota yang tidak pernah menyanggah. Di atas mimbar tidak ada garis pembatas antara wibawa dan jumawa.
Politik Identitas dan Buruknya Pendidikan Politik
Celakanya komunitas yang tertutup dengan berbagi doktrinnya, seringkali dianggap sebagai potensi kantong-kantong massa oleh politikus, untuk memperoleh konstituen pada saat pemilihan atau pendukung kebijakan saat mendapatkan kekuasaan. Mencitrakan diri sebagai bagian dari komunitas itu, merupakan cara instant mendapatkan dukungan massa. Alih-alih bertarung gagasan melalui negative campaign, black campaign pada lawan politik lebih dipilih untuk menjaga solidaritas massa yang telah dikumpulkan.
Politik identitas tersebut diperparah dengan pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat oleh para politisi. Kerapkali politisi berdebat secara kasar pada layar kaca ataupun jejaring internet. Di balik layar, segera setelah tayangan itu selesai mereka bersalaman, berpelukan, atau bahkan ngopi bareng.
Terlebih pada satu titik seiring berjalannya waktu, politikus yang tadinya berbeda pendapat memiliki kepentingan yang sama. Segera mereka lupakan caci maki dalam perdebatan itu, kemudian dengan gagah dan bangga mengatakan “kita tetap bersahabat”.
Sikap di atas telah mendegradasi kriteria kekerasan hanya pada verbal saja, padahal terdapat kekerasan non-verbal yang justru lebih berdampak negatif. Politikus memiliki “vaksin” dari “virus intoleransi”, yakni persamaan kepentingan, namun tidak pada rakyat di akar rumput.
Kata-kata kasar, tudingan, dan justifikasi serta saling membunuh karakter akibat perbedaan pandangan, sudah terlanjur disaksikan oleh mereka. ibarat pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, alih-alih mendapatkan gagasan dari perdebatan politikus, malah mendapatkan inspirasi baru untuk mencaci. Rakyat mendapatkan guru yang buruk.
Vaksin untuk Virus Intoleransi
Jika dianalogikan sebagai wabah penyakit menular, virus intoleransi telah lama menjadi pendemik dengan tingkat penyebaran yang massif. Ia tidak membunuh secara langsung individu, melainkan menggerogoti tatanan sosial melalu konflik horizontal maupun vertikal.
Oleh karena itu, setiap individu sebagai bagian dari masyarakat harus meningkatkan “kekebalan tubuhnya” untuk mencegah “infeksi”. Sama halnya dengan vaksin untuk virus, vaksin intoleransi ada yang diproduksi secara alamiah dalam tubuh manusia, yaitu “kaidah emas dalam diri” dan vaksin yang disuntikkan dari luar yakni “pendidikan agama berlandaskan cinta”.
Menggali Kaidah Emas dalam Diri
Syair indah Jalaluddin Rumi : “Sekalipun orang mampu melihat seratus ribu cahaya, niscaya cahaya itu tidak akan turun kecuali menuju asalnya”, dalam penjelasannya : meskipun dunia penuh dengan cahaya, tak akan ada seseorang yang mampu melihat cahaya itu, jika di matanya tidak ada percikan cahaya. Asal ketidakmampuan itu berada dalam dirinya sendiri (Rumi, Abdul Latif, 2016: 138). Dalam diri manusia telah diselipkan sebuah keagungan, yakni hati nurani yang di dalamnya terdapat cahaya ilahi. Cahaya yang hanya dapat diperoleh dari pengenalan manusia terhadap diri sendiri, yang ditemui dalam perenungan melalui syahdunya doa dan pujian untuk Sang Pencipta