Mohon tunggu...
Fakhrisya Zalili
Fakhrisya Zalili Mohon Tunggu... Notaris - Hukum-Puisi-Dan Non fiksi

PPAT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguak Tabir Intoleransi di Indonesia

14 Juli 2020   19:35 Diperbarui: 12 Agustus 2020   13:11 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenal diri tidaklah membutuhkan pendidikan tinggi, tidak pula harus memiliki kesaktian mandraguna, cukup menjadi manusia saja, “lihat ke dalam diri apa tidak disukai, kemudian jangan lakukan itu kepada orang lain”, inilah kaidah emas untuk menjadi manusia. Manusia yang mampu menerima dirinya, berada di dalam dunia yang penuh dengan perbedaan.

Pendidikan Agama berlandaskan Cinta

Diskursus diskusi agama belakangan ini, justru memisahkan agama dengan persoalan dunia yang sesungguhnya. Setiap permasalahan yang ada pun mengambil jalan instant untuk penyelesaiannya. Indoktrinasi dalam pengaderan setiap komunitas yang tertutup, khususnya kelompok radikal, tidak mau pusing (atau tidak memiliki kemampuan?) untuk menilik substansi dan menyusun konsep terhadap suatu fenomena sosial yang dianggap abnormal. 

Tatanan ekonomi misalnya, alih-alih menganalisis ekonomi kapitalis dan berbagai eksesnya serta ketidakmampuan Marxis bertahan di era ilmu pengetahuan dan teknologi, indoktrinasi justru mengambil jalan pintas dengan langsung menudingnya sebagai produk iblis. Sebagai penghubung antara kebencian hasil doktrinasi, digunakan teori konspirasi dengan segala “cocoklogi” agar tampak ilmiah. Ayat-ayat suci dibacakan untuk menambah keyakinan, bahwa mereka adalah satu-satunya golongan yang benar.

Faktor utama yang membuat orang gampang menerima doktrin tersebut adalah, glorifikasi kesatria perang lebih ditonjolkan dibanding nilai yang sesungguhnya dalam materi sejarah pendidikan agama. Dalam pelajaran agama Islam yang diterima oleh penulis sejak Sekolah Dasar misalnya, peristiwa Fathul Mekkah (Penaklukkan kota Mekkah) oleh Rasulullah lebih menonjolkan pada kekuatan dan kegagahan pasukan Islam yang mengepung kota Mekkah, bukan pada wujud “Belas Kasih” Rasulullah untuk memaafkan perilaku lampau masyarakat jahiliah, yang sangat tidak manusiawi bagi umat Islam di awal penyebarannya. 

Kemampuan memberi maaf di saat yang sangat rasional dan manusiawi serta superior untuk melakukan pembalasan, adalah ajaran cinta yang sesungguhnya dalam Islam. Mencapai hakikat cinta sesungguhnya, adalah ketika trauma masa lalu tidak menghalangi terbukanya uluran tangan untuk hidup bersama dalam satu tatanan masyarakat Madani.

Penulis meyakini, ajaran belas kasih ada pada setiap agama yang ada di dunia, tidak hanya pada agama samawi, namun pula agama kepercayaan. Tentunya hal itu vaksin yang sangat efektif membunuh virus bernama intoleransi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun